• September 9, 2025
BPOM mendukung RUU Pengawasan Obat dan Makanan

BPOM mendukung RUU Pengawasan Obat dan Makanan

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Adanya UU Pengawasan Obat dan Makanan memberi kewenangan lebih kepada BPOM untuk mencegah terulangnya kejadian peredaran virus palsu.

JAKARTA, Indonesia – Plt. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Bahdar Johan berharap lembaga yang dipimpinnya bisa diberikan kewenangan lebih besar untuk mencegah peredaran obat palsu dan makanan kadaluwarsa. Jika izin ini diberikan sejak awal, besar kemungkinan peredaran virus palsu bisa dicegah.

Menurut Bahdar, kasus vaksin palsu sudah ada sejak 2008. “Tapi tidak sebesar sekarang,” ujarnya saat memberikan siaran pers di kantor BPOM, Selasa, 28 Juni.

Kasus hal serupa juga telah muncul beberapa kali sejak tahun 2013 2015. BPOM pun mengejar dan menghukum pelanggar dengan denda Rp1 juta karena vaksin yang ditemukan tidak palsu melainkan kadaluwarsa.

Kini kasus serupa kembali muncul. Karena itu, Bahdar mendukung rancangan undang-undang (RUU) pengawasan obat dan makanan dan berharap rancangan tersebut memberikan kewenangan lebih besar kepada BPOM.

Otoritas yang menakutkan

Menurut Bahdar, permasalahan obat palsu atau kadaluarsa panjang disebabkan keterbatasan kewenangan BPOM. “Ada beberapa hal yang tidak bisa kami lakukan seperti penyadapan atau penangkapan langsung,” ujarnya.

Oleh karena itu, keterlibatan Bareskrim Polri dalam kasus vaksin palsu ini sangat bermanfaat. Pelakunya bisa segera ditangkap dan dituntut secara hukum.

Tak hanya itu, BPOM hanya bisa bertindak jika ada yang melaporkannya.

Setelah mendapat laporan, yang bisa dilakukan hanyalah mengusut dan membekukan izin praktik, serta menyita barang-barang yang tidak memenuhi standar. Selain itu, itu kewenangan aparat keamanan.

Oleh karena itu, dalam rapat kerja dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin, 27 Juni, Ketua Komisi IX Dede Yusuf meminta BPOM menyiapkan draf RUU ini.

Haruskah ada penguatan kelembagaan? “Tentunya dampaknya sangat besar,” ujarnya.

Selain itu, DPR meminta BPOM meningkatkan pengawasan yang baik pasar awal juga tidak perangkot secara intensif melakukan pendistribusian vaksin untuk memenuhi prinsip Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB).

Laporan tertulis hasil pemeriksaan penanganan kasus peredaran vaksin palsu harus disampaikan kepada DPR paling lambat tanggal 30 Juni 2016. Turut hadir dalam rapat kerja ini Menteri Kesehatan Nila Moeloek, BPOM, Biofarma dan Ikatan Dokter Anak Indonesia ( IDAI).

Selain itu BPOM juga mempunyai permasalahan ketenagakerjaan. Pada tahun 2016, mereka membutuhkan 10 ribu pengawas di seluruh Indonesia. Namun, jumlahnya hanya 1.200.

“Masih tersisa kurang dari 8 ribu,” ujarnya.

Cerita lama

Pada kasus 2008, Bahdar mengatakan, cara yang dilakukan pelaku adalah dengan menjual vaksin yang sudah melewati tanggal kadaluarsa. Pada tahun 2013, kasus yang sama rupanya terulang kembali setelah mendapat laporan dari perusahaan Glaxo Smith Kline.

Perusahaan melaporkan adanya pemalsuan produk vaksin merek Glaxo Smith Kline yang dilakukan oleh dua fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak berwenang melakukan praktik kefarmasian. Tindak lanjutnya, ada satu fasilitas yang terbukti mendistribusikan vaksin ilegal, kata Bahdar.

Kemudian pada tahun 2014, jelas Bahdar, Badan POM menghentikan sementara aktivitas pedagang besar farmasi resmi yang terlibat dalam pendistribusian produk vaksin ke fasilitas pelayanan kesehatan ilegal. Lokasi ini diduga menjadi sumber masuknya produk vaksin palsu.

Sayangnya, pelaku utama berhasil melarikan diri. Sedangkan lainnya didenda Rp1 juta. Masalahnya vaksin itu sepertinya asli, bukan palsu, katanya.

Setahun kemudian, Badan POM kembali menemukan kasus serupa. Produk vaksin ilegal ditemukan di beberapa rumah sakit di wilayah Serang. Hingga saat ini, menurut Bahdar, kasus tersebut sedang dalam proses tindak lanjut hukum. – Rappler.com

BACA JUGA:

Hongkong Pools