• November 28, 2024
Cobalah memahami kerusuhan Mei ’98 dari sudut pandang milenial

Cobalah memahami kerusuhan Mei ’98 dari sudut pandang milenial

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Seberapa luas pengetahuan mereka mengenai kerusuhan Mei 98? Beberapa warga sekitar rumahnya menjadi korban

JAKARTA, Indonesia — Ketika mahasiswa mulai melakukan mobilisasi pada 12 Mei 1998, dan Suharto akhirnya lengser dari kursi presiden pada 21 Mei 1998, sejumlah masyarakat Indonesia masih terlalu muda untuk memahaminya. Saat itu, mereka belum paham bagaimana jatuhnya Orde Baru yang dipimpin jenderal tangan besi itu membawa harapan baru bagi bangsa Indonesia.

Mereka juga tidak bisa menggambarkan kekerasan yang terjadi selama 10 hari tersebut. Misalnya saja bagaimana ada oknum tak bertanggung jawab yang membakar dan menjarah toko. Ada juga preman yang secara khusus mengincar etnis Tionghoa untuk disakiti, diperkosa, atau bahkan dibunuh.

Empat mahasiswa ditembak oleh pihak berwenang pada 12 Mei 1998. Sejumlah aktivis yang memperjuangkan reformasi juga menghilang pada periode tersebut. Ada dugaan kuat bahwa mereka diculik.

Kekerasan yang terjadi pada Mei 1998 dinilai sejumlah pihak sebagai sebuah tragedi. Sejumlah nama yang diyakini menjadi dalang tragedi tersebut pun bermunculan. Namun, belum ada tindakan serius pemerintah untuk melacak, mengungkap, dan mengadili para pelakunya.

Selain itu, upaya agar masyarakat lebih memahami peristiwa Mei 1998, termasuk tragedi pelanggaran HAM yang terjadi didalamnya juga dilakukan.

Lucu Di bawah panji reformasi dibuat untuk memudahkan mempelajari peristiwa Mei 1998 dan Reformasi. Pembelajaran yang terlibat terutama di dalam kelas, antara guru dan siswa.

Sekolah menjadi tempat menyebarkan pemahaman tentang peristiwa Mei 1998. Jovi Carina Handoko yang baru saja lulus SMA di Jakarta Utara mengaku mengetahui peristiwa Mei 1998 dari sekolah, orang tua, dan pemberitaan media.

Saat ditanya apa yang diketahuinya terkait peristiwa Mei 1998, perempuan kelahiran 1999 itu mencoba menjawab. “Peristiwa Mei 98 menyebabkan krisis ekonomi pada masa Orde Baru. “Kemudian terjadi protes mahasiswa dan empat mahasiswa Trisakti tewas ditembak,” kata Jovina.

Netta Anggraini menghabiskan masa kecilnya di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Lahir tahun 1997, usianya baru 9 bulan saat peristiwa Mei 1998 terjadi.

“Waktu kecil saya tanya (orang tua) apakah ada kekerasan terhadap etnis Tionghoa dalam kejadian itu. Kekerasan tersebut seperti perempuan yang diperkosa dan ada pula yang dibunuh atau dibakar. Saya tidak tahu alasannya. “Waktu saya SMA atau SMA, saya sadar itu karena pergantian presiden,” kata Netta saat ditanyai hal serupa.

Ia kini belajar sinematografi di salah satu universitas di Kabupaten Tangerang, Banten. Dalam proses belajar mengajar, film dibahas tentang peristiwa Mei 1998. Ia juga belajar bagaimana film bisa dibuat untuk advokasi atau menyadarkan penonton akan suatu hal.

Saat peristiwa Mei 1998 terjadi, Wenny Mulyadi masih menikmati masa kecilnya sebagai siswa TK. Namun, ia mengaku samar-samar teringat bagaimana kebakaran yang menghanguskan toko keluarganya di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Sejumlah warga di lingkungannya pun menjadi korban.

Pengalaman tersebut mendorongnya untuk melakukan penelitian untuk skripsinya. Topik yang diambil adalah ketahanan korban peristiwa Mei 1998.

“Resiliensi berarti kemampuan seseorang untuk bangkit kembali setelah mengalami peristiwa atau bencana yang traumatis. “Saya ingin melihat apakah potensi (untuk bangkit kembali) itu ada dalam diri masyarakat dan apakah ada faktor lain yang mempengaruhinya,” kata perempuan kelahiran 1995 itu.

Setelah mewawancarai sesama penyintas peristiwa Mei 1998, Wenny dapat menyimpulkan bahwa mayoritas responden pesimistis dalang kekerasan tersebut akan terungkap dan diadili.

“Mayoritas hanya berharap kejadian serupa tidak terulang lagi. “Dengan ‘kondisi yang terjadi’ saat ini, mereka khawatir hal ini akan terulang kembali,” ujarnya merujuk pada semakin maraknya tindakan diskriminasi terhadap kelompok minoritas, khususnya etnis Tionghoa, pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta.

Wenny mengatakan, pemerintah sepertinya masih menatap keterbukaan hingga saat ini. Memang menurut teori psikologi yang dipelajarinya, keadaan psikologis penyintas belum tentu lebih baik jika pelakunya diadili. Namun, ia menekankan pentingnya keadilan yang merupakan hak para penyintas. Akankah itu terjadi? Wenny hanya bisa berharap. —Rappler.com

Data SGP Hari Ini