Dalam persidangan terhadap 26 aktivis buruh, jaksa salah menggunakan pasal dalam surat panggilan
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Jaksa didakwa melakukan pelecehan dan perzinahan, setelah sebelumnya didakwa tidak patuh kepada pejabat.
JAKARTA, Indonesia – Jaksa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memasukkan berbagai pasal dalam dua somasi ke pengadilan kepada dua pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan 26 aktivis buruh yang menjadi tersangka kasus demonstrasi buruh di depan kantor. Istana Merdeka, 30 Oktober 2015.
Tigor Gemdita Hutapea, salah satu pengacara LBH Jakarta yang berstatus tersangka, Senin, 28 Maret, mengatakan, dalam pemanggilan pertama mereka dijerat pasal 216 dan 218 KUHP, sedangkan pemanggilan kedua dengan pasal 286 dan 288 KUHP.
Pasal 286 dan 288 KUHP mengatur tentang pelecehan dan perzinahan, untuk sementara pasal 216 dan 218 tentang Kebebasan berekspresi.
Pengacara LBH Jakarta Tigor dan Obed Sakti Andre Dominika dan 26 aktivis buruh menjadi tersangka dalam acara protes buruh terhadap Peraturan Pemerintah 78 Tahun 2015 tentang pengupahan di depan Istana Merdeka, 30 Oktober 2015.
Kekeliruan dakwaan ini terungkap setelah Tigor dan terdakwa lainnya menerima dua surat panggilan sekaligus. Panggilan pertama memuat pasal 216 dan 218, sedangkan panggilan kedua memuat pasal 286 dan 288 KUHP.
Berikut surat yang dimaksud:
Apa tanggapan jaksa? Jaksa sendiri mengaku melakukan kesalahan dalam menggunakan pasal tersebut untuk mendakwa terdakwa.
Sidang akan dilanjutkan Senin depan. Tigor dan Obed akan membacakan pengecualian mereka.
Pengecualian atau keberatan apa yang diajukan Tigor dan terdakwa lainnya?
“Kami akan mengajukan dakwaan yang tidak jelas, banyak pelanggaran proses hukum sehingga dakwaan tersebut tidak dapat diterima,” Tigor ditemui usai sidang 26 aktivis buruh dan 2 pengacara LBH dengan agenda mendengarkan dakwaan jaksa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin 28 Maret.
Jaksa juga belum mampu menjelaskan pasal yang didakwakan. “Jaksa mendakwa kami dengan pasal 216 dan 218 KUHP serta pasal 55 KUHP, namun dalam catatan kami kami melihat JPU tidak profesional, tidak bisa menjelaskan pasal yang dipaparkannya, terutama pasal 216 dan 218 KUHP. 218 dan 55 KUHP,” ujarnya.
Selain kesalahan pasal dakwaan, Tigor dan Obed akan mencantumkan klausul bahwa mereka tidak pernah diperiksa sebagai tersangka, hanya sebagai saksi pada 30 Oktober 2015.
Mereka khawatir persidangan terhadap dirinya dan rekan-rekannya dengan temuan di atas hanya dipaksakan oleh pihak tertentu. “Jadi itu melanggar hak kami sebagai warga negara untuk tampil di depan umum,” ujarnya.
Tigor dan Obed adalah dua orang pengacara yang membantu sebagai kuasa hukum pada saat buruh melakukan protes dan mendokumentasikan jalannya aksi.
Keduanya ditangkap polisi karena dianggap sebagai anggota massa aksi, padahal sebelumnya mereka telah melapor ke polisi sebagai kuasa hukum LBH Jakarta yang mendampingi para pekerja.
Kedua pengacara tersebut ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya dan dijerat pasal 216 ayat 1, pasal 218 KUHP juncto Pasal 15 UU Kebebasan Berekspresi, dan pasal 7 ayat 1 huruf a Peraturan Kapolri 7 /2012 , yang pada dasarnya ditujukan terhadap petugas.
Kasus ini masih terus berlanjut, dan menurut LBH Jakarta, ini merupakan pukulan telak bagi penyedia bantuan hukum dan merupakan kemunduran bagi demokrasi.
Sebab, Tigor dan Obed yang juga berstatus pengacara berhak mendapatkan kekebalan dalam menjalankan profesinya sehingga tidak bisa dituntut secara pidana.
Sebagaimana tercantum dalam pasal 11 Undang-Undang nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan pasal 16 Undang-undang nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Juncto Putusan Mahkamah Konstitusi No.26/PUU-XI/2013.
Saat di lapangan, Tigor dan Obed merupakan aparat penegak hukum yang kedudukannya sama dengan aparat kepolisian. —Rappler.com
BACA JUGA