Dalam ‘Women Change Makers’, perempuan HIV-positif menceritakan kisah mereka
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Seorang ibu rumah tangga, pengacara pekerja seks, dan perempuan transgender – apa kesamaan mereka? Ketiganya hidup dengan HIV.
Ayu Oktariani, Hanna dan Liana berbagi pengalaman mereka sebagai perempuan HIV-positif dalam acara tersebut Perempuan Pembuat Perubahan diselenggarakan oleh UN Women Indonesia di The Warehouse, Plaza Indonesia pada Kamis, 1 Desember. Sebelum sesi diskusi dimulai, diputar terlebih dahulu film dokumenter pendek yang menceritakan kisah ketiganya.
Acara ini merupakan rangkaian kegiatan kampanye global 16 hari anti kekerasan terhadap perempuandari Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang jatuh pada tanggal 25 November hingga Hari Hak Asasi Manusia pada tanggal 10 Desember 2016.
Selain itu ada juga Planet 50-50 yang merupakan pameran komik dan kartun untuk kesetaraan gender hasil kolaborasi UN Women Indonesia dengan Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Kedutaan Besar Negara Anggota Uni Eropa. Karya-karya yang dipamerkan merupakan karya para pemenang dan semi finalis kompetisi yang diadakan pada bulan Agustus 2016.
Melawan stigma dan diskriminasi
Pada tahun 2015, sebanyak 30.935 orang terinfeksi HIV dan 40,6% diantaranya adalah perempuan. Perempuan yang hidup dengan HIV merupakan populasi yang rentan terhadap kekerasan, stigma dan diskriminasi.
Ketiganya sama-sama berharap agar stigma dan diskriminasi terhadap perempuan pengidap HIV bisa dihilangkan. “Saya tidak berbeda dengan wanita lain. “Saya masih bisa berkarya dan berkreasi,” kata Ayu yang tergabung dalam Ikatan Wanita Positif Indonesia (IPPI).
“Wanita pengidap HIV tetap bisa mempunyai anak asalkan berkonsultasi ke dokter terlebih dahulu. Proses hamil dan menyusui yang kami jalani sama seperti perempuan lainnya, kata Ayu. Berdasarkan pengalamannya, Ayu harus menjalani prosedur medis sebelum merencanakan kehamilan dan saat memutuskan proses persalinan.
Liana aktif di Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI), sebuah komunitas yang mengadvokasi hak-hak perempuan pekerja seks dan mendidik mereka tentang HIV. ““Kami memberikan informasi kepada para pekerja seks, meski tertular HIV, mereka tetap bisa meningkatkan kualitas hidupnya,” jelas Liana.
Dalam video yang ditayangkan sebelum sesi diskusi, Hanna menceritakan pengalaman pahitnya saat ibunya mengetahui dirinya mengidap HIV positif. Peralatan makannya dipisahkan karena sang ibu takut terkontaminasi oleh Hanna.
Hanna pun mengaku gagal melakukan tes HIV karena profesinya yang berisiko. Namun, ia tetap bisa melanjutkan hidupnya berkat dukungan teman-teman terdekatnya.
Lokalisasi
Hanna dan Liana juga menyayangkan kebijakan pemerintah yang menutup lokalisasi. “Pemerintah tidak memikirkan dampak jangka panjangnya,” kata Liana. “Mereka mengira dengan hilangnya lokalisasi, prostitusi juga akan hilang.”
“Pekerja seks akan selalu ada meski warga sekitar digusur.”
Liana juga menilai penutupan wilayah justru dapat memperburuk tingkat penularan HIV. “Karena lokasi setempat tutup, kondom semakin sulit didapat oleh para pekerja seks,” lanjutnya.
“Bagaimana kita bisa mengurangi penularan HIV jika kondom sulit ditemukan?”
Hanna mengatakan, bahkan ada imbauan kepada pemilik dan pengelola salon untuk tidak mempekerjakan perempuan transgender. “Apakah pemerintah mengetahui definisi manusia? Saya mungkin tidak tahu.”
Kurangnya konseling seks
Saat ditanya apakah ingin menjadi akademisi, ketiganya mengaku tertarik. Sayangnya, terdapat pembatasan pada lembaga pendidikan untuk membicarakan pendidikan seks.
“Setiap kali kami pergi ke sekolah, sekolah memperingatkan kami untuk tidak membicarakan kondom, orientasi seksual, dan lain-lain. untuk tidak berbicara,” jelas Ayu. “Padahal mereka perlu dibuka matanya agar bisa menghargai orang lain. Jadi kami hanya bisa melakukannya dengan setengah hati.”
Liana mengaku tertarik memasuki bidang akademik. Katanya anak-anak sebenarnya ingin tahu lebih banyak tentang seks. “Pendidikan dini tentang seks itu penting, tapi peraturan yang mengaturnya belum ada.”
Hanna mengatakan kurangnya konseling seks terlihat dalam sistem penegakan hukum. “Yang paling mengkhawatirkan adalah ketika kondom masih dijadikan alat bukti,” kata anggota tersebut Gaya warna lentera ini.
“Untuk sahabat transgender atau LSL (laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki), ada laporan bahwa ARV (obat antiretroviral yang digunakan dalam pengobatan HIV/AIDS) digunakan sebagai bukti.”
Harapan
Apa harapan Ayu, Liana dan Hanna terhadap masyarakat dan pemerintah, terhadap perempuan HIV-positif seperti mereka?
“Kami ingin terlihat seperti diri kami sendiri,” lanjut Ayu. “Ini menyakitkan karena kami tidak bisa jujur kepada keluarga kami sendiri mengenai status kami. Dan kami juga ingin terlibat dalam program-program yang dicanangkan pemerintah.”
““Saya ingin segala bentuk diskriminasi dan stigma negatif diakhiri,” kata Hanna.
Sama seperti kedua rekannya, Liana berharap jSaya berharap akan ada lebih banyak diskriminasi terhadap perempuan dengan HIV. Ia juga mempunyai pesan khusus: ““Bagi perempuan, apalagi laki-laki, jika suka selingkuh, lebih baik jujur pada pasangannya daripada menularkan HIV.”Liana pun berharap tidak ada lagi penutupan lokalisasi.
Pameran Komik dan Kartun Kesetaraan Gender Planet 50-50 berlangsung hingga 10 Desember 2016 di The Warehouse, Plaza Indonesia level 5 pukul 10.00-22.00 WIB. —Rappler.com