• September 22, 2024

Dari latar belakang hingga siapa yang bisa terjerat

JAKARTA, Indonesia — Surat Edaran yang mengatur Kebencian, atau ujaran kebencian, disebarkan oleh Kapolda RI Jenderal Badrodin Haiti. Surat Edaran (SE) No. SE/6/X/2015 diterbitkan pada 8 Oktober dan dikirimkan ke Kepolisian Sektor dan Resor di seluruh tanah air.

Apa itu ujaran kebencian?

Menurut surat edaran tersebut, ujaran kebencian adalah tindak pidana yang berupa penghinaan, pencemaran nama baik, pencemaran nama baik, perbuatan keji, provokasi, penghasutan, penyebaran berita bohong, dan semua tindakan tersebut di atas mempunyai tujuan atau dapat berdampak pada tindakan diskriminasi. . , kekerasan, penghilangan orang, kehidupan dan/atau konflik sosial.

Aspek yang dimaksud antara lain suku, agama, aliran agama, keyakinan dan keyakinan, ras, antargolongan, warna kulit, suku, gender, penyandang disabilitas, dan orientasi seksual.

Ujaran kebencian dapat dilakukan melalui kegiatan kampanye, spanduk atau media lainnya spandukjaringan media sosial, public speaking atau demonstrasi, ceramah agama, media massa cetak dan elektronik, serta pamflet.

Baca selengkapnya tentang ujaran kebencian di dokumen ini.

Tapi sungguh Kebencian Apakah solusinya untuk melindungi hak-hak warga negara? Apakah poin-poin yang terkandung di dalamnya benar? Kebencian bukankah itu melanggar kebebasan berekspresi?

Latar belakang diterbitkannya surat edaran tersebut

Menurut Badrodin, diskusi Kebencian Bermula sejak Wakil Kapolri Nanan Soekarna menjabat pada periode Maret 2011 – Agustus 2013.

“Kami mengadakan diskusi di seminar,” kata Badrodin kepada Rappler, Jumat, 30 Oktober.

Setelah berdiskusi selama lebih dari lima tahun, Polri akhirnya mengambil kesimpulan bahwa surat edaran ujaran kebencian harus segera dikeluarkan. “Lebih cepat lebih baik,” katanya.

Alhasil, Badrodin akhirnya menandatanganinya dan mengirimkan surat tersebut ke tingkat kantor polisi. Keputusan ini juga diambil setelah jajaran di bawah masih enggan menerapkan pasal tersebut berdasarkan evaluasi Kebencian sebelumnya diatur dalam KUHP.

Ujaran kebencian diatur dalam pasal 310, pasal 311, 315, 317, dan 318 KUHP.

Apa latar belakangnya?

Menurut Kapolri, banyak contoh ujaran kebencian yang menjadi bibit konflik. Seperti yang terjadi kemarin, terjadi kericuhan saat JakMania, ujarnya.

Polda Metro Jaya sebelumnya menangkap 10 orang diduga pelaku perusakan JakMania, sebutan suporter Persija Jakarta, dan satu orang lagi diduga penghasut massa lewat pesan singkat, dalam lanjutan final Piala Presiden antara Persib Bandung kontra Sriwijaya. FC.

Persib merupakan rival berat Persija yang harus bertanding di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta.

Kejadian seperti ini, menurut Badrodin, terus berulang dan kerap menimbulkan keresahan di masyarakat.

Siapa yang bisa ditangkap?

Badrodin mengatakan, surat edaran ini untuk memperjelas perbedaan dimensi ujaran kebencian dan kebebasan berekspresi.

“Ujaran kebencian mengarah pada pengrusakan, penghasutan, dan sebagainya,” ujarnya.

Dengan demikian, menurut Badrodin, hanya mereka yang melakukan penghasutan yang berujung pada kehancuran saja yang bisa dijerat.

Dalam salah satu poin surat edaran tersebut, Kapolri juga menegaskan bahwa salah satu media ujaran kebencian adalah ceramah agama. Ceramah Keagamaan Seperti Apa Yang Dimaksud Kapolri?

“Semua pembacaan mengundang gerakan penghancuran,” katanya.

Jika ada ajakan bertindak, hasutan, maka ujaran tersebut dapat digolongkan sebagai ujaran kebencian.

Bagaimana dengan khatib salat Jumat yang sering berbicara tentang kafir pada agama lain? “Itu tidak masuk hitungan Kebencianitu menyampaikan apa yang ada di kitab suci,” ujarnya.

Lalu bagaimana dengan ceramah yang diberikan oleh tokoh agama di kelompok agama seperti Front Pembela Islam (FPI) yang kerap mengkritik kelompok lain atau presiden?

“Itu adalah tuntutan pidana jika dia menghina presiden. Hanya saja, jangan menghasut,” katanya.

Campuran artikel fitnah dan fitnah

Namun benarkah pasal ini benar-benar memisahkan kebebasan berekspresi dan ujaran kebencian? Apakah ada poin yang dianggap ganjil?

Jaringan Kebebasan Berekspresi Pegiat Asia Tenggara (Safenet) Damar Juniarto pada dasarnya menyetujui dikeluarkannya surat edaran tersebut.

Terbitnya surat ini dinilai sejalan dengan Forum Demokrasi Digital. Forum tersebut ingin negara tersebut menerapkan prinsip ztoleransi ero tentang tindakan ujaran kebencian seperti yang dilakukan di negara lain.

“Hanya saja sudah ada catatannya, dan saya berharap Polri mengkaji surat edaran tersebut. “Pencantuman pasal pencemaran nama baik 310-311 KUHP bisa jadi kontraproduktif karena pasal tersebut merupakan pasal karet yang bernuansa tidak demokratis,” ujarnya.

Pasal 310 ayat 1 berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja merugikan kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhnya melakukan suatu perbuatan dengan maksud yang jelas agar tuduhan itu diumumkan, diancam karena penghinaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda. hingga Rp 4.500.”

Ketika bagian 311 baca, “Barangsiapa melakukan tindak pidana penodaan agama atau fitnah dengan cara tertulis, jika ia diperbolehkan untuk membuktikan tuduhannya, jika ia tidak dapat membuktikannya dan jika tuduhan yang ia nyatakan palsu, diancam karena pencemaran nama baik palsu dengan pidana penjara selama-lamanya. paling lama empat tahun.”

“Banyak sekali penindakan hukum dengan pasal karet ini yang tidak tepat sasaran,” kata Damar.

Artikel ini pun menarik perhatian Staf Divisi Pertahanan Hak Sipil dan Politik KontraS Satrio Wirataru. Menurutnya, definisi ujaran kebencian yang disampaikan Kapolri terlalu luas.

Kebencian “Kebebasan berpendapat jangan dibatasi, karena harus dibatasi secara tegas apakah ada dampak permusuhan, kebencian, terkait agama, ras, dan suku,” ujarnya.

Tidak bermaksud memfitnah. “Pisahkan antara undang-undang ujaran kebencian Dan hukum pencemaran nama baik (fitnah),” ujarnya.

Alih-alih memberikan batasan tegas, Kapolri justru terlihat menggunakan pasal pencemaran nama baik sebagai acuan.

“Itu bisa disalahgunakan oleh pihak berwenang,” katanya.

Wira mengimbau Polri tidak menggunakan pasal pencemaran nama baik melainkan fokus pada pasal kebencian.

Di sisi lain, Wira sepakat Polri tidak akan menangkap khatib salat Jumat tersebut. “Ini bukan ceramah agama tentang orang-orang kafir Kebenciantetapi jika Anda menyerukan agar orang-orang kafir itu halal darahnya, maka mereka harus diusir atau dibunuh, itu saja Kebencian,” dia berkata.

‘Ujaran kebencian’ harus menjamin kebebasan berekspresi

Selain perdebatan pasal pencemaran nama baik dan pencemaran nama baik, pengamat media Ignatius Haryanto mengingatkan Kapolri untuk berhati-hati dalam menerapkan pasal ujaran kebencian, terutama kepada masyarakat yang kritis terhadap pemerintah.

“Karena kritik terhadap penguasa akan dengan mudah masuk kategori Kebencian, “Kalaupun ada kritik serius di dalamnya, tujuannya bukan sekadar mengumpat,” kata Ignatius.

Ia juga mengingatkan, etika masyarakat dalam menggunakan media tidak bisa disamakan dalam semua hal, karena media mempunyai etika tersendiri.

“Polisi harus berhati-hati agar tidak menggunakan kategori dengan mudah Kebencian jika ada kritik dari masyarakat atau media, meskipun ditujukan kepada polisi sendiri. Perlu juga pengawasan dari masyarakat agar hal tersebut tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan,” dia berkata.

FPI: ‘Tidak perlu ditanggapi surat edaran ini’

Namun, bagaimana tanggapan kelompok masyarakat?

Dalam beberapa kampanyenya, FPI kerap mengkritik dan melontarkan pernyataan terkait kelompok lain dan pemerintah.

Misalnya, saat menonton bersama film Pengkhianan G30S/PKI pada akhir September lalu, FPI kembali mengkritik niat pemerintah untuk meminta maaf kepada keluarga korban pembantaian tahun 1965.

Salah satu Ketua FPI, Habib Rizieq, bahkan menyebut saudara komunis yang liberal, dan presiden lamban seperti “katak”. Rizieq juga mengungkit patung Tugu Tani yang dianggap sebagai simbol komunisme di ibu kota.

Menanggapi surat edaran tersebut, Munarman, Juru Bicara FPI, menilai surat edaran tersebut tidak perlu dianggap serius.

“Banyak yang melakukannya Kebencian di media sosial. Memangnya Ahok tidak melakukannya?” kata Munarman merujuk Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.

Munarman mengatakan FPI bebas berekspresi, tidak ada kaitannya dengan surat edaran.

“Polisi tidak bisa menghukum dengan surat edaran. Yang bisa menghukum adalah hukum. “Mana ada tindak pidana berdasarkan surat edaran,” ucapnya. —Rappler.com.

BACA JUGA:

SDY Prize