Dari pembebasan sepihak hingga kasus Freeport
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Usai dibebaskan dari penjara sebagai tahanan politik pada 19 November, aktivis kemerdekaan Papua Filep Karma buka suara.
Ia bercerita kepada Rappler tentang kronologi pembebasan paksa yang dilakukan pemerintah Indonesia dari Penjara Abepura, Jayapura.
Filep juga berbicara tentang perkembangan terkini di negara tersebut, yang ia ikuti di balik jeruji besi dari berita televisi.
Philep hanya punya waktu satu jam untuk berpikir
Pada 18 November, sekitar pukul 13.00-14.30 WIB, Filep dipanggil Kepala Bagian Pembinaan dan Pendidikan Lapas Hanafi Abepura oleh petugas Lapas, Irianto Pakombong.
Di ruang kerja, Hanafi membacakan petikan surat pengampunan satu dekade itu dan disaksikan sejumlah pejabat, mulai dari Kepala Lapas Abepura hingga Kepala Bagian Lapas Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Papua, dan Kepala Daerah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua.
“Tn. Hanafi membaca surat itu dengan tidak jelas, melompat-lompat, berpindah dari satu paragraf ke tengah, dan langsung menunjukkan kutipannya,” kata Filep kepada Rappler melalui telepon, Selasa, 1 Desember.
Membaca surat itu secara berurutan dari awal sampai akhir membuat Philep bingung dan tidak yakin. Dia kemudian berkata: “Saya tidak ingin keluar. Tanpa asimilasi saya tiba-tiba dikeluarkan.”
“Anda berobat, itu yang kami sebut asimilasi,” kata Filep menirukan apa yang dikatakan petugas penjara kepadanya.
“Lalu karena kepentinganmu perasaanku diabaikan? … Apakah saya, manusia Papua, tidak lebih berharga dari seekor binatang?”
Namun, menurut Filep, alasan tersebut hanya dibuat-buat. “Itu omong kosong. Asimilasi mempunyai program. Jika Anda menerima perawatan, itu akan berakhir dalam satu hari. “Asimilasi membutuhkan waktu 1-3 bulan,” kata Filep.
Kantor terus mendesak Philip untuk pergi. “Ya, panggil polisi untuk diseret keluar,” kata Filep lagi.
“Tidak, kami ingin menyerahkan Anda kepada keluarga Anda,” kata pejabat itu.
“Keluarga saya belum tahu. “Aku baru saja mendengarnya,” kata Filep.
Akhirnya terjadilah negosiasi antara Filep dan petugas penjara.
Tiba-tiba kepala penjara berkata, “Saya mau ke Jakarta untuk latihan. Karena itu saya tunda.”
Filep langsung marah, “Lalu karena kepentinganmu perasaanku diabaikan?”
Ia mengaku bingung karena sudah bulat menolak pengampunan, namun petugas lapas tetap nekat melepaskannya.
Kemudian petugas penjara berkata lagi: “Jika kami memperpanjang masa penahanan, hak asasi manusia akan menjadi sorotan bagi kami.”
Akhirnya, Filep setuju. Dengan berat hati, ia meninggalkan penjara tanpa membawa salinan surat itu.
“Iya sikapnya begitu, tidak senang dengan kita. Jika orang-orang serumah tidak bahagia, lalu bagaimana? Dipaksa. “Karena di sana sudah tidak nyaman lagi,” aku Filep.
Tapi masih ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. “Sampai saat ini saya ragu dengan surat keputusan yang menjadi dasar dikeluarkannya saya dari Lapas Abepura,” ujarnya.
Sebab, sejak ditahan hingga dibebaskan, surat-surat tersebut masih samar-samar baginya.
“Bahkan pada tahun 2005, putusan kasasi MA tidak pernah diserahkan kepada saya. Saya hanya menerima satu lembar menyalin dari faksimil hal-hal yang tidak jelas dan sangat dipertanyakan yang digunakan untuk menahan saya,” ujarnya.
Ia masih menilai proses penahanannya tidak manusiawi, begitu pula dengan pembebasannya.
“Proses pengusiran saya sangat tidak manusiawi. Karena hewan penangkaran pun memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri sebelum dilepasliarkan ke alam liar. “Saya sudah ditahan di penjara selama sebelas tahun, tapi saya belum diberi waktu untuk menyesuaikan diri,” ujarnya.
“Apakah saya manusia Papua tidak lebih berharga dari binatang?”
Bahkan setelah 10 hari keluar dari penjara, Filep masih bersikeras tidak akan menerima pembebasannya.
“Pembebasan saya tidak dilakukan dengan itikad baik. “Pembebasan saya terjadi karena tekanan internasional,” katanya.
Lanjutnya, “Saya tidak pernah takut dan tidak akan mundur dari hukuman penjara berapapun demi cita-cita pembebasan dan kemerdekaan bangsa dan negara saya.”
Filep sebelumnya divonis 15 tahun penjara karena pidato politiknya pada 1 Desember 2004. Ia ditahan setelah mengibarkan bendera Bintang Kejora saat aksi protes hari itu.
Filep menolak pembebasannya beberapa waktu lalu saat sejumlah tahanan politik di Papua mendapat amnesti pada Hari Kemerdekaan, 17 Agustus 2015.
Alasan dia menolak saat itu? “Saya bukan penjahat. Saya orang yang berpolitik. “Jika saya menerima pengampunan, sama saja dengan mengkriminalisasi diri saya sendiri,” kata Filep.
Freeport dan Setya Novanto
Usai bebas dari penjara, Filep mengaku mengikuti perkembangan pemberitaan politik terkini, seperti kasus dugaan pencatutan nama Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang dilakukan Ketua Dewan Rakyat (DPR RI) Setya Novanto dalam prosesnya. perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia di Papua.
Namun Filep menyebut Setya hanyalah tokoh sampingan. Tokoh utamanya sebenarnya adalah marga keluarga Sukarno dan Soeharto.
“Freeport pertama kali dibuka atas kesepakatan dengan keluarga Soeharto pribadi. Uang itu masuk ke keluarga. Tapi sekarang zamannya Sukarno, bukan zaman Soeharto, ujarnya.
“Sekarang ada perkelahian, tapi yang maju adalah anak buahnya, Setya Novanto,” ujarnya.
Lalu apa pentingnya hal ini bagi masyarakat Papua?
Sudah rahasia umum, hanya kalangan tertentu saja yang makan. Di sini, hanya disiram dalam keadaan mabuk saja,” ucapnya.
“Istilahnya kalau makan ayam, makan dagingnya. Kami hanyalah kulit, tulang, dan cakar.”
Filep melanjutkan, “Freeport harus bernegosiasi dengan masyarakat Papua. Dan jujur kami akan memberikan berapa persentasenya kepada pemerintah pusat.”
Ucapan selamat ulang tahun 1 Desember
Filep juga menyampaikan pendapatnya mengenai perayaan kebebasan berekspresi pada 1 Desember.
Rencananya LSM dan warga Papua se-Jawa Bali akan menggelar parade hari ini di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat.
“Mudah-mudahan ini bukan sekadar peringatan, tapi benar-benar diwujudkan dalam tindakan. “Orang yang berekspresi tidak ditangkap atau didakwa dengan pasal karet seperti saya,” ujarnya. —Rappler.com
BACA JUGA: