Dari rakyat jelata menjadi raja
- keren989
- 0
Sang raja mulai menjadi idaman banyak klub besar karena rentetan golnya yang terus mengalir
JAKARTA, Indonesia – “Keajaiban itu ada, jika Anda percaya” Begitulah ungkapan salah satu orang diva Amerika Serikat. Namun kebanyakan keajaiban hanya terjadi dalam buku dongeng anak-anak dan jarang menjadi kenyataan. Dari yang langka, salah satunya muncul di cerita pencetak gol Leicester City, Jamie Vardy.
Vardy bukanlah produk akademi sepak bola klub-klub besar seperti Lionel Messi atau Cesc Fabregas yang lahir dari akademi legendaris La Masia milik Barcelona. Ia juga bukan pesepakbola jalanan yang dibenci klub-klub besar Eropa saat bermain di kampung halamannya seperti Ronaldinho atau Ronaldo Luis Nazario.
Vardy tinggal di negara besar dengan sistem sepakbola yang kompleks dan terorganisir dengan baik. Namun dia tidak pernah mendapat kesempatan bermain di level profesional. Bahkan saat berusia 25 tahun, pemain kelahiran 11 Januari 1987 itu hanya bisa tampil di klub non-liga, Fleetwood Town.
Klub Non-Liga adalah klub yang bukan anggota Football League. Liga Sepak Bola adalah sistem Liga Inggris yang banyak kita kenal.
Sistem ini memiliki delapan kabinet utama. Setiap kasta memiliki jumlah klub yang berbeda-beda dengan sistem promosi dan degradasi. Kasta tertinggi adalah Liga Inggris yang hampir setiap minggu kita tonton.
Klub non-liga adalah klub yang bukan bagian dari sistem. Akibatnya, manajemen klub, kualitas permainan, dan budaya sepak bola tersingkir dari mereka yang tergabung dalam Football League.
Dalam catatannya saat melihat klub non-liga, kolumnis ESPN Michael Cox mengatakan bahwa klub non-liga adalah tim sepak bola dengan partisipasi publik langsung. Tidak ada senjata kapitalisme seperti di Premier League (harga tiket melambung, transfer pemain dengan harga dan penjualan fantastis barang dagangan yang gila).
“Untuk menarik penonton, ada klub yang menawarkan setengah lusin telur kepada 50 penonton pertama,” kata Cox.
Banyak “atraksi” yang hanya bisa ditemukan di pertandingan non-liga. Misalnya bola tendangan seorang pemain bertahan melambung tinggi hingga mendarat di atap stadion. Maklum, stadion yang digunakan sangat kecil.
Atau, kata Cox, ada kalanya pelatih memindahkan posisi bek kanan ke posisi bek kiri. Pasalnya, penonton di tribun meneriakinya setiap kali dia menggiring bola. Penonton juga terbiasa berbaur dengan pemain di pinggir lapangan.
Suasana “amatir” dan “keistimewaan” ini adalah bagian dari kehidupan Vardy saat bermain untuk Halifax Town (2010-2011) dan Fleetwood Town (2011-2012).
Kesempatan baginya untuk naik ke level profesional baru datang pada tahun 2012 ketika klub Football League Leicester City merekrutnya dengan rekor transfer terbesar dalam sejarah klub non-liga: 1 juta pound sterling.
Sekadar gambaran, angka itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Angel Di Maria yang direkrut Manchester United dari Real Madrid seharga £44 juta – meski hanya bertahan setahun.
Kepindahan Leicester (saat itu masih berada di lemari di bawah Premier League, Championship) adalah sebuah pertaruhan besar. Apalagi, Vardy bukan lagi pemain muda yang bisa dilatih permainannya.
Usia 25 tahun adalah saat seorang pesepakbola berada pada performa akhir atau masa keemasannya. Rupanya Vardy adalah tipenya boomer yang terlambat alias “lambat mekar”.
Dan hal itu baru ia buktikan pada musim keempatnya di Leicester tahun ini saat usianya masih 28 tahun. Di Liga Premier ia mencetak 14 gol Hari pertandingan tanggal 14. Musim lalu dia hanya mencetak 5 gol.
Bukan hanya jumlah golnya yang luar biasa, tapi juga konsistensinya. Vardy memecahkan rekor salah satu striker terbaik sepanjang sejarah Manchester United, Ruud van Nistelrooy. Rekor Ruudtje—julukannya—adalah mencetak gol dalam sepuluh pertandingan Liga Inggris berturut-turut. Vardy menyalipnya dengan mencetak gol dalam sebelas pertandingan berturut-turut.
Menariknya, gol Vardy tercipta pada laga ke-11 melawan United, mantan klub Nistelrooy, saat Leicester menghadapi Setan Merah -julukan United- pada Minggu 29 November.
Dengan konsistensi yang luar biasa tersebut, produk sepak bola “amatir” ini kini menjadi raja pencetak gol Liga Inggris. 14 golnya merupakan yang terbanyak di antara gol lainnya. Pesaing terdekatnya adalah Romelu Lukaku (Everton) dengan sepuluh gol.
Banyak klub yang mulai tertarik
Rekor Vardy dirayakan di ruang ganti. Manajer Claudio Ranieri secara khusus menandatangani tanda tangannya baju kaosdan melengkapinya dengan beberapa mutiara kebijaksanaan.
“Selamat kepada Vardy karena telah menciptakan rekor. Semoga lebih banyak gol yang bisa dicetak.” Kata Ranieri.
Pada laga tersebut, Ranieri memberikan dua tugas kepada pemainnya. Pertama, menangkan permainannya. Kedua, bantu Vardy memecahkan rekor.
“Kami tidak memenangkan pertandingan, tapi permainan kami luar biasa! Fokus kami adalah pada hasil pertama dan catatan kedua. Jangan menjatuhkannya. “Tapi pada akhirnya kami sama-sama merah,” ucapnya.
Manajer asal Italia itu masih memenuhi targetnya: meraih 40 poin untuk mempertahankan Leicester di Liga Inggris. Kini mereka telah meraih 29 poin.
“11 untuk pergi!” kata mantan pelatih Juventus, AS Roma, dan Chelsea itu. “Setelah kami mendapat target itu, kami kemudian memikirkan hal lain. Sedikit demi sedikit,” tambahnya.
Kecemerlangan Vardy kini menarik minat klub-klub besar. Sejumlah media Inggris menyebut Manchester United dan Chelsea mengantre untuk mendapatkan tanda tangannya. Apalagi kedua klub ini punya masalah produktivitas gol.
Sekarang terserah Vardy. Tinggalkan dan lanjutkan dongeng tentang orang-orang biasa yang menjadi kaya dan bermain-main dengan kekayaan bersama klub-klub besar. Atau bertahan di Leicester, klub yang memberinya kesempatan dan dia membayar penuh beserta bunganya. — Rappler.com
BACA JUGA: