Di hadapan Raja Salman, Ketua DPR meminta pengampunan bagi buruh migran yang terancam hukuman mati
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Sementara dalam 11 nota kesepahaman yang ditandatangani Indonesia dan Arab Saudi, tidak ada yang membahas tentang perlindungan pekerja migran.
JAKARTA, Indonesia – Ketua DPR Setya Novanto meminta maaf kepada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang kini mendapat ancaman di Arab Saudi. Permintaan itu disampaikan Setya saat berpidato di gedung pertemuan yang juga dihadiri Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz, pada Kamis, 2 Maret.
“Kami mohon kemurahan hati Raja Salman untuk memberikan pengampunan jika ada di antara pekerja migran kami yang bersalah,” kata Setya di hadapan ribuan tamu undangan, termasuk Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dan mantan Wakil Presiden Try Sutrisno.
Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri, saat ini terdapat sekitar 20 WNI yang terancam dipancung di negeri Petro Dollar tersebut. Kebanyakan dari mereka terlibat dalam kasus pembunuhan. (BACA: Ratusan WNI masih menghadapi hukuman mati di luar negeri)
Sementara itu, dalam 11 nota kesepahaman yang ditandatangani pemerintah Indonesia dan Saudi, tidak ada satupun yang membahas tentang perlindungan WNI yang tinggal di sana. MoU tersebut sebagian besar membahas kerja sama di bidang ekonomi dan penanganan aksi teroris. (BACA: 11 MoU ditandatangani pada hari pertama kunjungan Raja Salman)
Pemerintah Indonesia sejak awal menyatakan tidak ingin memanfaatkan kunjungan Raja Salman hanya untuk membahas persoalan pekerja migran dan kuota haji. Sebab, mereka memang ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan hubungan di bidang perekonomian.
Selain membahas persoalan ketenagakerjaan, pria yang juga menjabat Ketua Umum Partai Golkar ini juga menyampaikan rasa terima kasihnya karena Saudi bersedia tidak hanya mengembalikan kuota haji ke angka normal tetapi juga menjadi 10.000 untuk ditingkatkan. Jadi, total kuota haji jamaah asal Indonesia sebanyak 221.000.
Meski begitu, Setya tetap berharap Arab Saudi bisa kembali menambah kuota haji jemaah Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mengurangi daftar tunggu jemaah yang ingin menunaikan rukun Islam yang ke 5.
“Di Indonesia, antrian haji bisa sampai 25 tahun. Bahkan ada yang meninggal saat menunggu. “Kami yakin, diiringi doa dan harapan seluruh masyarakat Indonesia, Yang Mulia akan menambah kuota haji bagi umat Islam (Indonesia).” kata Setya.
Bukan prioritas pemerintah
Kekecewaan pun menyelimuti aktivis buruh migran karena dari 11 MoU yang ditandatangani dengan Saudi, tidak ada satupun yang membahas tentang perlindungan buruh migran yang bekerja di sana. Dalam seluruh nota kesepahaman tersebut, terlihat jelas bahwa pemerintah Indonesia lebih fokus pada masalah perdagangan dan investasi.
Bahkan, diketahui sekitar 500 ribu TKI masih bekerja di sana. Agar persoalan ini tidak terlupakan, para aktivis yang tergabung dalam Solidaritas Perempuan melakukan aksi protes di depan gedung kedutaan Arab Saudi pada Kamis sore, 2 Maret. Sementara itu, Raja Salman mengunjungi gedung DPR dan Masjid Istiqlal secara bersamaan.
“Belum adanya penandatanganan MoU tentang perlindungan pekerja migran menunjukkan bahwa pemerintah tidak memprioritaskan permasalahan ini. “Kami juga heran bagaimana pemerintah bisa melupakan pekerja migran padahal pekerja migran di Saudi sangat banyak,” kata Koordinator Program Solidaritas Perempuan Nasional, Nisa Yura, saat dihubungi Rappler, Kamis, 2 Maret.
Sementara kata “titipan” yang diucapkan Jokowi saat berdialog dengan Raja Salman di Istana Bogor tidak akan dijadikan acuan pihak Saudi untuk memberikan perlindungan kepada WNI yang berada di sana. Hingga saat ini, Saudi tidak memiliki dasar hukum yang mewajibkan mereka untuk melindungi pekerja asing.
“Jadi kami sangat menyayangkan kesempatan ini dilewatkan untuk membicarakan peluang yang bisa lebih mengikat dan legal terkait dengan pekerja migran,” ujarnya.
Dalam pandangan para aktivis pekerja migran, posisi tawar Indonesia masih terlalu lemah, karena masih belum menganggap wajib untuk memberitahukan kepada KBRI atau KJRI jika ada warga negara Indonesia yang menghadapi permasalahan hukum di sana. Hal ini berarti, kata Nisa, Indonesia dipandang tidak setara oleh Saudi.
Sebab, jika kedua negara benar-benar setara, seharusnya Indonesia bisa memaksa Arab Saudi untuk membuat kesepakatan dimana Arab Saudi akan diberitahu ketika ada WNI di penjara, ujarnya. – Rappler.com