Di manakah politisi perempuan ketika kekerasan seksual merupakan hal biasa?
- keren989
- 0
Kapolri berpidato di hadapan masyarakat. “Saudara-saudara, banyak sekali kasus pemerkosaan yang terjadi saat ini. Beberapa waktu yang lalu di kecamatan kami, seorang anak perempuan dibawa ke perkebunan tebu, lalu dia diberi minuman beralkohol dan kemudian diperkosa. Oleh karena itu, bapak-bapak, apalagi ibu-ibu, jika mempunyai anak perempuan harus dalam pengawasan, dan kalau sudah waktunya pulang harus mencarinya. Jangan biarkan saja. Cook mempunyai seorang putri di Jarno.”
Saya yang awalnya diam mendengar imbauan Kapolri dan langsung tergerak untuk berbicara.
“Benar apa yang dikatakan Kapolri, bahwa kita harus mengawasi anak-anak kita. Namun yang perlu ditegaskan, bukan hanya anak perempuan yang diawasi, tapi juga anak laki-laki. Pemikiran pemerkosaan bukan berasal dari korbannya, melainkan dari pelakunya. Jadi bukan hanya perempuan saja yang menjadi korban yang perlu diawasi, anak laki-laki kita juga harus diawasi, mereka harus diajari bagaimana menghormati perempuan, bagaimana memperlakukan perempuan. Intinya adalah baik anak laki-laki maupun perempuan harus sama-sama dididik tentang cara melakukan hal tersebutbagaimana bersikap, bagaimana menghormati satu sama lain dan bagaimana menjaga hubungan. Lainnya, tugas mengasuh anak“Itu hanya tugas ibu, tapi tugas orang tua adalah ayah dan ibu.”
Sontak terdengar tepuk tangan meriah dari para ibu-ibu. Saya hanya ingin menyeimbangkan cara berpikir Kapolri, agar pandangan diskriminatif tidak lagi merajalela di masyarakat. Jangan sampai perempuan menjadi korban ganda.
Status di atas saya baca di dinding akun Facebook Nihayatul Wafiroh, anggota DPR-RI dari Fraksi Kebangkitan Nasional. Status ditulis pada 21 Mei 2016. Saya tidak ingin membahas isinya. Pro dan kontra mengenai bagaimana seharusnya pemerintah menangani keadaan darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak telah banyak dibicarakan. Rappler melaporkan secara intensif.
Yang ingin saya bahas adalah betapa pentingnya peran politisi perempuan dalam mendorong dan mengawal peraturan perundang-undangan yang pro perempuan dan pro anak. Tentu saja saya mendukung semangat seperti itu Dia Untuk Dia dan bahwa masalah ini harus berdampak pada semua orang, baik perempuan maupun laki-laki. Sebagaimana pengasuhan anak merupakan tugas bersama dalam sebuah keluarga. Seperti status Facebook di atas.
Malam sebelumnya, Jumat 20 Mei, saya berbincang dengan puluhan politisi perempuan yang sebagian besar anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Barat. Tema diskusi yang diadakan di sebuah hotel di Kota Padang adalah bagaimana meningkatkan kapasitas dan kemampuan politisi perempuan dalam menyikapi isu-isu terkini dan menyampaikannya kepada media.
“Kami ingin mempengaruhi masyarakat. Tapi agak malas berurusan dengan media. “Selain itu, media jarang mempublikasikan pernyataan kami, padahal jurnalis mengejar kami demi uang,” keluh seorang politisi lokal yang mengaku aktivis di sebuah lembaga swadaya masyarakat.
Soal masih adanya media dan jurnalis yang meminta imbalan atas penerbitan berita, memang menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi media di Indonesia. Saya mendorong mereka membicarakan hal ini dengan organisasi profesi jurnalis dan/atau Dewan Pers.
Kegiatan peningkatan kapasitas politisi perempuan ini difasilitasi oleh B-Trust, lembaga pendidikan politik bagi perempuan, dan Konrad Adenauer Stiftung, dari Jerman. Pelatihan ini dilakukan di berbagai daerah. Politisi perempuan juga menghadapi dilema dalam menghadapi stigma.
Saya tertarik untuk menelusuri seberapa besar kepedulian mereka terhadap isu-isu nyata, terutama yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan. “Saat ini sedang marak perbincangan publik mengenai kekerasan terhadap perempuan dan anak. Apakah saudara-saudara ini juga membahas masalah ini di rapat DPRD? Untuk menyampaikan sudut pandang? Saran bagi pemerintah daerah agar hal ini tidak terjadi di wilayahnya? Apakah Anda memikirkan peraturan perundang-undangan di tingkat lokal?” saya bertanya kepada mereka.
Kebanyakan tidak menjawab. Mereka yang menjawab, dengan menggunakan alasan di atas, enggan untuk berhubungan dengan media. Merasa tidak terakomodasi oleh media arus utama seperti surat kabar lokal, radio atau televisi. Saya katakan permasalahan yang mereka hadapi juga terjadi di tingkat nasional. Jarang sekali media menampilkan politisi perempuan dalam menanggapi isu-isu terkini. Padahal isu tersebut erat kaitannya dengan perempuan dan anak.
saya memberi semangat. Di era digital, ketika semua orang bisa memiliki akun media sosial, maka akun tersebut bisa menjadi sarana untuk menyampaikan pendapat, opini, bahkan aktivitas kerja sebagai wakil rakyat. “Jika pendapat, pemikiran, dan kegiatan yang Anda sampaikan menarik dan penting, maka jurnalis akan tertarik untuk mempublikasikannya, termasuk media nasional,” saran saya.
Beberapa contoh saya contohkan di antaranya Nihayatul Wafiroh, politikus Partai Keadilan Sejahtera Ledia Hanifa, politisi Partai Demokrat Indonesia Eva Sundari dan beberapa nama lain yang aktif di media sosial.
Apalagi jika pendapat yang disampaikan disertai dengan data, misalnya tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di wilayah tersebut. Data memberikan kredibilitas pada informasi. Perlu adanya koreksi dari pihak berwenang seperti yang dilakukan Nihayatul. Ambil langkah nyata yang mendesak.
Selanjutnya kita bahas langkah konkrit Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas yang membentuk gugus tugas perlindungan anak: Balai Anak Banyuwangi. Azwar Anas mengirimi saya informasi ini melalui pesan WhatsApp. BCC merupakan satuan tugas terpadu mulai dari pengaduan hingga penanganan kasus kekerasan terhadap anak yang melibatkan lintas sektor: pemerintah daerah, aparat penegak hukum, tokoh masyarakat dan agama, hingga guru, pelajar, dan tenaga kesehatan.
“Masyarakat yang mengetahui adanya kasus kekerasan terhadap anak, baik di lingkungan tetangga, sekolah, atau dimanapun berada, dapat melaporkannya ke SMS center,” kata Azwar Anas. Saluran khusus pengaduan kekerasan terhadap anak terhubung langsung dengan grup WA (WhatsApp) yang meliputi Bupati, Kapolri, Kepala Kejaksaan, dan Ketua Pengadilan.
Tingkat kekerasan terhadap anak di Banyuwangi meningkat pada tahun 2015 dibandingkan tahun sebelumnya.
Kami membahas bahwa politisi perempuan di daerah harus mengambil inisiatif untuk memastikan adanya lembaga yang menangani pengaduan, serta bantuan bagi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sebagai wakil rakyat, mereka juga bisa mendorong pemerintah daerah untuk mengambil langkah nyata seperti yang dilakukan di Banyuwangi. Saya tahu di setiap kepolisian daerah ada unit pelayanan perempuan dan anak. Permasalahannya adalah sebagian besar masyarakat enggan menghubungi pihak berwajib, terutama dalam kasus kekerasan seksual. Ada kecenderungan pihak berwenang menyalahkan korban.
Menurut saya, jika politisi perempuan turun tangan di daerah untuk memberikan bantuan dalam kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, maka hasilnya akan lebih efektif. Pendekatan antar wanita. Wakil rakyat mempunyai posisi yang strategis untuk mengakses dukungan terhadap tata kelola pemerintahan yang baik dari pihak yang berwenang, akses terhadap pengobatan jika diperlukan, dan mendorong para pengelola daerah untuk mengambil tindakan nyata.
Politisi perempuan dapat bekerja sama dengan aktivis sipil, badan-badan advokasi, termasuk Komnas Perempuan dan Komnas Perlindungan Anak. “Saudara-saudara ada di sini, di daerah ini, berinteraksi erat dengan masyarakat, dengan perempuan. “Sangat strategis untuk memantau langsung keadaan di lapangan dan melakukan pencegahan dan pengobatan dengan cepat,” kata saya.
Jika politisi perempuan ingin mendapatkan perhatian publik melalui media, maka respon yang cepat dan nyata terhadap kejadian terkini adalah kuncinya.
Indonesia mempunyai keadaan darurat mengenai kekerasan terhadap perempuan. Pro dan kontra mengenai solusi penalti terus berlanjut.
Pada tahun 1996, Ibu Negara Amerika saat itu menerbitkan buku berjudul Dibutuhkan sebuah desa isinya perlunya keterlibatan banyak pihak dalam membesarkan dan mendidik anak. Keluarga saja tidak cukup.
Banyaknya kekerasan terhadap perempuan dan anak yang kita terima dari media dalam dua bulan terakhir membuat saya berpikir demikian Hal ini membutuhkan sebuah kabupaten, kota, bahkan Negara bersatu untuk memastikan situasi darurat ini segera berakhir.
Sementara perdebatan mengenai hukuman masih berlangsung, rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual mulai dibahas, tindakan harus segera diambil.
Saya tidak tahu persis jumlah wakil perempuan di daerah. Dari pelatihan yang saya ikuti, rata-rata pesertanya berkisar 15 – 25 orang, tergantung jumlah di tiap provinsi. Pada Pilkada serentak Desember 2015, ada 35 kepala daerah perempuan yang menang.
Kerja sama antara politisi perempuan dengan legislatif dan eksekutif, baik di pusat maupun daerah, dirasa bisa menghasilkan terobosan besar. Bisakah saya optimis?
Tentu saja saya sedih membaca pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yambise yang menyalahkan orang tua dalam kasus mendiang “YY”. Saya berharap para politisi perempuan, khususnya laki-laki, bisa belajar dari pernyataan-pernyataan yang menuai kontroversi dalam dua bulan terakhir.
Sebab kita tidak sabar menunggu pembahasan undang-undang tersebut selesai, sementara korban berjatuhan setiap hari.
Bagaimana caranya? Saya tidak dalam posisi untuk mengatakannya. Saya yakin saudara perempuan politisi tersebut mempunyai saran untuk solusi dan tindakan nyata. Saya hanya memberi semangat. Sebagai bagian dari media, saya siap melaporkan kepada masyarakat, jika ada inisiatif yang baik dan konkrit – Rappler.com