Di reruntuhan Bukit Duri mereka teringat kembali
keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Langit semakin gelap saat puluhan orang bergerak ke Jalan Bukit Duri, Tebet, Jakarta, Selatan pada Rabu, 5 Oktober. Ada yang membawa gitar, mikrofon, dan speaker.
Namun sebagian besar hanya bermodal sendiri, serta semangat solidaritas terhadap warga Bukit Duri yang sebelumnya direlokasi oleh Pemprov DKI Jakarta.
“Negeri ini negeri perjuangan, setiap plot ada korbannya,” demikian lirik yang dibawakan pendiri Sanggar Ciliwung Merdeka, Sandyawan Sumardi, sebagai pembuka acara bertajuk Nyanyian Sunyi Bukit Duri.
Sepekan lalu, 400 personel gabungan polisi dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) meratakan RW 09-12 di Bukit Duri yang berada tepat di Kali Ciliwung. Pemprov DKI berencana melakukan normalisasi sungai untuk mencegah banjir yang setiap tahunnya harus melanda wilayah Tebet dan sekitarnya.
Aksi penggusuran ini menuai protes dari warga yang mengajukan tindakan kelas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan memasuki sidang ke-9. Selain itu, Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dinilai mengabaikan warga yang enggan pindah karena sudah memiliki sertifikat kepemilikan tanah.
Suara perlawanan menghantam dinding batu; backhoe terus dikerahkan, dan 68 petak lahan milik 68 kepala keluarga (KK) yang menolak direlokasi rata dengan tanah.
Tindakan spontan
Sekitar pukul 19.00, Rabu malam lalu, empat api unggun dinyalakan diiringi pembacaan puisi dan nyanyian yang tak henti-hentinya. Warga dan aktivis berbaur menjadi satu, larut dalam liris lagu perjuangan, atau sekedar berbincang tentang masa lalu.
“Ini gerakan solidaritas, semua berkumpul di sini,” kata Mikael alias Mike, vokalis band Marjinal. Didirikan pada tahun 1996, kelompok ini aktif dalam mencari keadilan bagi masyarakat tertindas.
Menurut Mike, warga Bukit Duri, Kampung Pulo, Kampung Akuarium, dan wilayah tergusur lainnya merupakan korban ketidakadilan pemerintah. Hal ini terlihat dari Pemprov DKI yang mengabaikan opsi selain pemukiman kembali yang telah dihadirkan; juga terus melakukan pembongkaran bangunan meskipun proses hukum telah berjalan.
Pilihan menyewa unit di Rumah Susun (Rusunawa) Rawa Bebek, Jakarta Timur juga bukan sebuah jawaban karena lokasinya berjarak sekitar 16 kilometer dari tempat tinggal aslinya di Bukit Duri. Kebanyakan warga keberatan karena harus mengeluarkan biaya lebih untuk transportasi.
“Banyak orang bilang mereka lebih memilih masuk penjara daripada Bebek Rawa,” kata Mike sambil tertawa. Belum lagi, biaya sewa hanya gratis untuk 3 bulan pertama.
Mike menilai warga yang digusur adalah korban kepentingan pribadi pemerintah. Meski mengadvokasi pembangunan, namun tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat.
“Terakhir bagi investor, juga bagi dunia usaha,” kata Mike.
Membantu di bawah tekanan
Memang, setelah pembongkaran Bukit Duri santer dibicarakan, banyak gerakan sosial yang diorganisir untuk membantu mereka yang masih selamat. Seperti inisiatif penggalangan dana yang digagas Gema Demokrasi melalui situs penggalangan dana Kita Bisa.com, serta tenda dan posko kesehatan di sekitar reruntuhan.
Sayangnya, tenda kesehatan sukarela tersebut dibongkar pada Senin, 3 Oktober. Camat Tebet Mahludin memimpin sekitar 50 personel dan membongkar rumah-rumah yang masih berdiri, termasuk tenda. Emosi para relawan berkobar dan nyaris terjadi perkelahian dengan petugas, namun Sandyawan berhasil menenangkannya.
Tadi malam didirikan lagi tenda yang lebih kecil, bukan tenda komando, kata Sandyawan kepada Rappler, Selasa, 4 Oktober. Menurut dia, situasi di Bukit Duri masih mencekam pasca relokasi besar-besaran.

Sejak Senin, pejabat Pemerintah Kota Jakarta Selatan kembali melakukan pengukuran. “Ternyata hasil pengukurannya berbeda dengan sebelumnya. “Banyak yang tidak terdampak, akhirnya terdampak,” kata Sandyawan.
Salah satu warga, Amaru, bahkan memprotes perubahan tersebut. Namun pihak Camat, Dinas Pekerjaan Umum, dan kontraktor PT Adhi Karya yang melakukan pengukuran tidak dihiraukan.
Menanggapi hal tersebut, Wali Kota Jakarta Selatan Tri Kurniadi menyebut klaim tersebut merupakan kesalahpahaman. “Itu benar-benar hits, makanya kami datang lagi,” kata Tri, Rabu.
Selain itu, tanah tersebut juga milik PT Kereta Api Indonesia sehingga seharusnya tidak layak huni. Dia meyakinkan pembongkaran akan terus dilakukan hingga selesai.
Namun posko kemanusiaan akan tetap ada. Penggalangan dana juga akan berlanjut hingga Jumat, 7 Oktober.
“Nanti kami transfer, tapi kami akan keluarkan tanda terima sebagai bentuk pertanggungjawaban. “Juga akan ada serah terima secara simbolis bersama warga,” kata Dhyta Caturani, Juru Bicara Gemademocracy, di lokasi.
Bagi mereka, harus ada yang menjaga semangat warga pengungsi tetap hidup. Sekalipun rumah tua itu rata dengan tanah, perlawanan akan terus berlanjut.—Rappler.com