• November 24, 2024
Di Yogyakarta masih terdapat orang tua yang menolak imunisasi

Di Yogyakarta masih terdapat orang tua yang menolak imunisasi

Yogyakarta – Pemerintah mencanangkan kampanye imunisasi MR (measles rubella) secara nasional untuk menanggulangi penyakit campak dan rubella, khususnya pada anak usia dini mulai usia 9 bulan hingga 9 tahun.

Gerakan ini rencananya akan diresmikan secara simbolis pada 1 Agustus 2017 di Yogyakarta. Kanwil Kemenag DIY awalnya mencatat ada delapan sekolah yang menolak imunisasi, namun jumlahnya kemudian menurun setelah dilakukan sosialisasi lebih lanjut.

Pemprov DIY sendiri menargetkan imunisasi mencapai 95 persen di setiap titik, yakni di sekolah dan posyandu. Meski demikian, belajar dari pengalaman tahun lalu, tidak semua sekolah mampu memenuhi target tersebut.

Permasalahannya adalah sebagian orang tua merasa ragu terhadap bahan vaksin yang tidak halal, khawatir akan dampak buruk setelah imunisasi, serta melarang anaknya mendapatkan vaksin di sekolah.

Enggan melakukan imunisasi karena khawatir dampaknya

“Sekolah sama sekali tidak menolak (imunisasi), itu sama sekali tidak benar. “Sekolah memfasilitasi, saya sendiri menyarankan dan mendorong, karena menurut Al-Qur’an dan Sunnah itu (imunisasi) adalah hal yang diperbolehkan,” kata Abdul Haq, Kepala Madrasah Ibtidaiyah Ar Ridho, di Dusun Taruddan Wetan, Kecamatan Sewon. , Bantul, kata. Kabupaten Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin 31 Juli 2017.

Abdul Haq membantah santer pemberitaan yang sebelumnya menyebut sekolahnya menolak vaksinasi MR dari pemerintah. Sekolah yang berdiri sejak tahun 2006 ini mengaku selalu bekerjasama dengan Puskesmas Sewon terkait imunisasi. Namun Abdul Haq belum memberikan jawaban pasti terkait informasi adanya orang tua siswa yang tidak memperbolehkan anaknya divaksin. “Nah, kalau saya yang tidak bisa, yang jelas kita fasilitasi,” ujarnya.

Tak jauh dari tempat tinggal Ar Ridho, terdapat Pondok Pesantren Ibnu Taimiyyah, di Dusun Tanjung, Desa Bangunharjo, Kecamatan Sewon Bantul. Sebelumnya diberitakan, sekolah ini menolak imunisasi data Kanwil Kemenag Yogyakarta. Farhan, kepala sekolah setempat, kemudian meluruskan hal tersebut.

“Sekolah memperbolehkan, memfasilitasi, terakhir kemarin kami difasilitasi oleh Prof. Dr. Suroyo dari Puskesmas, dokter spesialis penyakit anak. Kami memfasilitasi pemberian konseling. “Semua yang berkaitan dengan kesehatan, kami kembalikan kepada orang tua,” kata Farhan saat ditemui di sekolahnya, Senin, 31 Juli 2017.

Namun, masih banyak orang tua yang menolak imunisasi pada tempatnya. “Tahun ini dari hasil wawancara, 80 persen masih menolak,” ujarnya. Sekolah ini dibangun pada tahun 2009. Pertanyaan mengenai imunisasi juga ditanyakan pada saat proses wawancara tahun ajaran baru, karena pihak sekolah mendapat beberapa peringatan dari Puskesmas mengenai pelayanan kesehatan dan imunisasi.

“Awalnya kami menyebarkan kuesioner kepada orang tua pada saat bias (bulan imunisasi anak sekolah). “Dari situ kami mengetahui ada kecenderungan takut dan khawatir, dan akhirnya kami melakukan wawancara seperti itu setiap tahun ajaran baru,” lanjutnya.

Dalam wawancara tersebut, mereka juga ditanya alasan menolak imunisasi, riwayat kesehatan anak, dan cara pengobatan yang dilakukan orang tua saat anak sakit.

Menurutnya, ada beberapa alasan orang tua siswa menolak imunisasi, antara lain orang tua siswa yang meragukan kehalalan bahan vaksin, lebih percaya pada metode pengobatan herbal, dan khawatir dengan dampak negatif setelah imunisasi.

“Orang tua siswa lebih banyak menggunakan metode pengobatan thibun pulih, cara menjaga kesehatan menurut Rasulullah antara lain bekam, konsumsi madu, sari kurma, puasa, sedekah. Lalu ketika sudah maksimal ternyata tidak ada hasil, mereka baru ke dokter. Mereka pun memilih dokter, dokter yang juga sependapat dengan syariah. “Ada istilah dokter Barat yang menggunakan medis dan dokter Timur juga menggunakan konsep thibun nabawi,” ujarnya. Tahun lalu, kenang Farhan, ada 7 siswa yang mengikuti imunisasi, dari seluruh siswa kelas 1 dan 2.

Fatwa MUI merupakan produk politik

Farhan melanjutkan, tidak mudah meyakinkan orang tua siswa tentang kandungan vaksin dalam imunisasinya. Meski Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa halal tentang imunisasi pada tahun 2016, namun banyak orang tua yang tidak percaya dengan kebenaran fatwa tersebut.

Orang tua siswa masih ragu karena mengetahui halal dan haram bukanlah hal yang mudah. “MUI itu lembaga negara, tapi bagi sebagian masyarakat MUI juga lembaga politik, ada unsur politiknya. Kalau di ranah politik, kalaupun Kemenag punya kepentingan politik, bisa saja berubah. “Jadi mereka lebih yakin dengan apa yang mereka ketahui,” kata Farhan.

Kepala Dinas Kesehatan DIY Pembayun Setyaningastutie didampingi Suyano Hartono, Staf Pelaksana Survei dan Imunisasi Dinas Kesehatan DIY membenarkan banyaknya penolakan imunisasi karena informasi kandungan bahan tidak halal dalam vaksin. Sementara MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa vaksin tersebut halal.

Fatwa halal dikeluarkan karena hanya ada satu vaksin yang diragukan kehalalannya, yaitu IPV, suntikan vaksin Polio. Logikanya, selain IPV, semuanya halal. Vaksin MR ini dibuat oleh Biofarma. Vaksin tersebut telah diekspor ke 120 negara, termasuk negara-negara Muslim (mayoritas beragama Islam). “Di negara lain diterima, di sini masaknya, malah seperti itu,” ujarnya.

Imunisasi adalah hak anak

Menurut dia, pemerintah menargetkan target vaksinasi MR mencapai 95 persen di setiap titik, baik di sekolah maupun posyandu. Hasil imunisasi tahun lalu, cakupan target bahkan mencapai 98 persen di setiap titik, dengan kendala yang umum adalah perbedaan pendapat mengenai bahan vaksin.

Kepala dinas perempuan itu kemudian melanjutkan, pihaknya terus melakukan sosialisasi dan memberikan informasi mengenai imunisasi, bahan-bahan dan fungsinya.

“MR ini merupakan vaksin yang ekonomis. Salah satunya imunisasi campak dan rubella. Sebelumnya, Rubella tidak termasuk dalam program pemerintah sehingga aksesnya tidak diberikan secara gratis. “Imunisasi ini juga tidak ditanggung oleh BPJS,” jelasnya.

Mengobati Rubella pada usia dini penting dilakukan karena pada kondisi tertentu, seperti kekurangan gizi, virus Rubella dapat menyebabkan kebutaan, meningitis, bahkan kematian. Ibu hamil juga berpotensi mengalami kondisi fatal jika terpapar virus Rubella pada trimester pertama dan kedua kehamilan.

“Anak-anak berpotensi menularkan virus Rubella ke ibu hamil, akibatnya janin yang dikandungnya berpotensi mengalami gangguan pendengaran, katarak, pneumonia, dan radang otak saat lahir,” ujarnya.

Melihat besarnya ancaman penyakit Rubella, menurutnya orang tua wajib melindungi anaknya dari kemungkinan tertular virus ini. Kewajiban ini diatur dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

“Salah satu cara pemerintah memberikan kesehatan pada anak adalah melalui imunisasi. Sekarang kita harus lihat, anak punya hak. Orang tua tidak boleh hanya menuntut kewajiban anak saja. “Undang-undang sudah mengatakan demikian,” katanya. Secara tidak langsung, menurutnya, orang tua yang menolak imunisasi juga berpotensi melanggar hukum.

Pada data tahun 2016, terdapat 1.929 anak yang diduga tertular Rubella, dan 463 anak di antaranya positif Rubella. Sedangkan pada Januari hingga Juli 2017, terdapat 7 kejadian luar biasa (ECB) campak di DIY, dengan 60 hingga 70 persen diantaranya positif Rubella.

Vaksinasi MR rencananya akan dilakukan dalam dua tahap, pada Agustus mendatang dengan sasaran 571.398 anak sekolah. Petugas akan mengunjungi sekolah formal mulai dari PAUD, TK/RA, SD/MI, SMP/MTs yang ada di DIY. Tahap selanjutnya, imunisasi MR akan dilakukan serentak pada bulan September 2017 dengan sasaran 199.201 anak prasekolah di lima kabupaten atau kota di DIY.

“Jika imunisasi MR mencapai target di Pulau Jawa, maka upaya selanjutnya adalah menggulirkan program tersebut ke luar Pulau Jawa dan memasukkannya ke dalam cakupan BPJS,” ujarnya. —Rappler.com

taruhan bola online