• April 20, 2025

Dilema jurnalis ketika meliput kegiatan militer

Di satu sisi, mereka diharapkan bisa menyampaikan berbagai informasi kepada masyarakat. Di sisi lain, mereka dibatasi oleh militer karena menyangkut keamanan negara.

JAKARTA, Indonesia – Sebagai penyampai pesan kepada masyarakat, jurnalis dituntut untuk meliput dan memberitakan berbagai peristiwa. Termasuk kegiatan yang bersentuhan dengan personel militer.

Sayangnya, tidak semua jurnalis bisa mendapatkan informasi dengan mudah. Salah satunya ketika kita berhadapan dengan perwira militer. Mereka seringkali membatasi informasi dengan alasan menyangkut rahasia dan keamanan negara.

Faktanya, tidak sedikit perwira militer yang terbukti melakukan tindakan kekerasan terhadap jurnalis yang tetap meliput isu-isu tertentu yang dianggap sensitif. Salah satunya ketika pesawat militer jatuh dan menimbulkan korban jiwa.

Data organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyebutkan pada tahun 2016 terdapat 78 tindak kekerasan yang dialami jurnalis. Laporan periode 2012-2016 menyebutkan enam kasus di antaranya melibatkan personel TNI AU.

Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) TNI AU Jemi Trisonjaya mengakui aturan yang berlaku di TNI kaku dan tidak fleksibel.

Makanya banyak anggota yang berusaha idealis dengan menerapkan aturan tersebut saat menangani pemberitaan jurnalis, kata Jemi saat ditemui di Forum Koordinasi dan Konsultasi Kemenkopolhukam (FKK), Selasa, 12 April.

Jemi menjelaskan, aturan tersebut harus dilaksanakan anggota karena banyak persoalan yang dianggap sensitif, misalnya terkait pengamanan aset pemerintah dan keselamatan banyak pihak.

Pesawat TNI AU yang jatuh dikhawatirkan meledak karena membawa amunisi. “Hal ini tentu dapat membahayakan jurnalis yang saat ini sedang berusaha memberitakan,” kata Jemi menjelaskan alasan mengapa aturan tersebut kaku.

Selain itu, TNI juga harus mempertimbangkan dampak psikologis bagi keluarga korban kecelakaan pesawat tersebut. Pasti sulit bagi mereka untuk menerima ada anggota keluarga yang terluka atau terbunuh akibat kejadian ini.

Pernyataan Jemi dibenarkan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo. Ia mengatakan, jurnalis terkadang lebih fokus pada tugas yang diberikan kantor dan mengabaikan keselamatan saat meliput kecelakaan pesawat.

“Terkadang jurnalis tidak mengetahui risikonya. (Yang penting) datang dan berfoto saja,” kata pria yang akrab disapa Stanley di lokasi yang sama.

Tunduk pada sanksi

Meski demikian, TNI AU berusaha untuk tidak menutup mata terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan personelnya. Setelah mendapat laporan adanya tindakan kekerasan, pelaku akan diproses secara internal oleh aparat pertahanan di bidang penerbangan. Namun proses internal seringkali tidak memuaskan jurnalis yang menjadi korban.

“Kami masih melakukan upaya hukum terhadap tuntutan AJI dan lainnya, namun tidak sesuai dengan harapan rekan-rekan jurnalis, ‘harus dipecat, dipenjara’. Tidak begitu. Tentu ada aturan hukum yang berlaku bagi TNI dan TNI AU, kata Jemi.

Sebelum memberikan sanksi, TNI akan mempertimbangkan penyebab terjadinya aksi kekerasan. Bisa jadi personel TNI sedang menjalankan tugasnya. Namun, tidak menutup kemungkinan juga faktor emosional menjadi penyebab terjadinya tindakan kekerasan tersebut.

Oleh karena itu, TNI AU ingin mengedukasi jurnalis media tentang hal-hal apa saja yang bisa mereka liput di masa depan. Jemi mengatakan TNI AU menggelar tur pers dan menjelaskan seluk beluk TNI AU. Tujuannya agar wartawan dapat mengetahui banyak informasi dan peraturan internal di lingkungan TNI AU.

Dilema aturan

Sayangnya, keterbatasan tersebut menimbulkan dilema bagi jurnalis itu sendiri. Mereka khawatir kebebasan mereka memperoleh informasi akan dibatasi.

Dalam Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang kebebasan pers, pasal 4 ayat 3 menyatakan “untuk menjamin kebebasan pers, pers nasional mempunyai hak untuk memperoleh dan menyebarkan gagasan dan informasi.” Sementara itu, dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi, terdapat bab yang mengatur tentang informasi yang dikecualikan, salah satunya terkait militer Indonesia.

Dalam undang-undang tersebut, pasal 17c bab 5 angka 3 mengatur tentang jumlah, susunan, pembagian, atau gangguan kekuasaan dan kemampuan dalam penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara serta rencana pembangunannya. Selain itu, ada juga poin yang mengatur gambar dan data tentang situasi dan kondisi pangkalan dan/atau instalasi militer sebagai informasi yang tidak boleh diungkapkan kepada publik.

Kedua aturan ini dinilai menjadi wilayah abu-abu dalam cakupan wilayah militer, termasuk TNI AU.

“Kebebasan pers adalah isu penting yang kita diskusikan hari ini. Memang terjadi sesuatu yang cukup dilematis, kata Menko Polhukam Wiranto saat membuka FKK yang digelar di Klub Eksekutif Persada Halim, Jakarta Timur.

Namun, di mata Yosep, kebebasan pers juga harus ada batasnya. Oleh karena itu, ia berencana membuat pedoman cakupan setelah berkonsultasi dengan TNI AU.

“Segala sesuatu yang bisa dan tidak bisa (ditutupi). Misalnya apa yang bisa dilakukan di Lanud Halim,” kata Yosep.

Sebelumnya, Dewan Pers juga mengusulkan panduan pemberitaan terorisme yang dikembangkan oleh AJI pada tahun 2013. Dewan Pers juga membuat pedoman untuk kegiatan yang sama. Pedoman tersebut, kata Yosep, diharapkan dapat mencegah kekerasan terhadap jurnalis dan mendorong mereka untuk turut serta menjaga stabilitas negara. – Rappler.com

keluaran hk hari ini