Dream School mendidik anak-anak pemulung di sudut kota Daeng
- keren989
- 0
MAKASSAR, Indonesia — Jauh dari kebisingan dan hiruk pikuk kota (Daeng) Makassar, puluhan anak berusia 3 hingga 9 tahun tampak asyik belajar membaca dan berhitung, terkadang diiringi nyanyian gembira dari mereka.
Di atas bangunan bambu dan balok kayu berukuran 5×6 meter, anak-anak pemulung belajar di Sekolah Impiannya, seolah tak peduli dengan bau sampah dan lingkungan kumuh di sekitarnya.
Sekolah yang dibangun oleh tim Komunitas Rumah Berdedikasi Indonesia (KRDI) Makassar di bawah naungan Yayasan Rumah Pintar ini telah berjalan sekitar lima bulan sejak Juni lalu. Hingga saat ini, terdapat 36 siswa Taman Kanak-kanak (K) dan empat siswa bimbingan khusus yang putus sekolah dasar.
Saat berkunjung ke sekolah tersebut, Rappler dijemput oleh pendiri Sekolah Dream yang juga Ketua Yayasan Rumah Pintar, Febriansyah. Maklum, posisi Sekolah Impian terletak jauh dari pusat kota, tepatnya di Jl Hertasning Baru, Kelurahan Kassi-Kassi, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Setelah berjalan kurang lebih dua menit menyusuri jalan lumpur yang dikelilingi permukiman kumuh, kami sampai di Sekolah Impian. Fasilitas yang sangat minim tidak menyurutkan semangat para siswa untuk menimba ilmu yang diberikan oleh gurunya.
“Antusiasme belajar anak-anak di sini sangat tinggi, berbeda dengan siswa sekolah formal di luar sana. “Kami awalnya mendirikan sekolah ini secara kebetulan,” kata Febri kepada Rappler, Kamis, 23 November 2017.
Awalnya, kata dia, tim KRDI Makassar yang dibentuk pada tahun 2003 membuat program Berbagi Pangan di Hari Jumat Berkah bagi para pemulung dan tukang becak. Pada awal tahun 2017, tim secara tidak sengaja menginjakkan kaki di kawasan kumuh.
“Kami melihat banyak anak-anak bermain di sana padahal saat itu jam sekolah. Kami juga bertanya kepada orang tuanya, mereka bilang tidak punya uang untuk menyekolahkan anaknya. “Dari situlah niat kami bermula,” jelasnya.
Sementara itu, salah satu orang tua siswa, Kasriani Kinang mengaku sangat bersyukur dengan adanya Sekolah Impian ini. Selain karena pendidikannya gratis dan tidak jauh, ilmu yang diberikan juga cepat diserap oleh anak-anak.
Ibu tiga anak ini pun mengaku kerap menemani anak bungsunya, Karmila, selama bersekolah di sana. Seperti pendidikan PAUD pada umumnya, siswa di sini juga diajarkan cara membaca, menulis, berhitung, dan mengaji.
“Mereka (siswa) sepertinya hanya bermain-main, tapi sepertinya menyerap semua yang diajarkan guru. “Kami sangat terbantu dengan adanya Sekolah Impian ini,” ujarnya sambil tersenyum.
Agar bisa diakui pemerintah, lanjut Febri, pihaknya mengajukan usulan izin ke Dinas Pendidikan Kota Makassar. Hingga saat ini izin tersebut disambut baik oleh pemerintah karena memenuhi dua poin dari 18 Revolusi Pendidikan yang diusung Wali Kota Makassar Ramdhan Pomanto.
“Sekarang prosesnya sudah 80 persen, tinggal menunggu Nomor Induk Sekolah Sekolah Impian ini. Mudah-mudahan berjalan lancar,” harapnya.
Tidak mandi demi belajar
Banyak cerita lucu dan unik selama proses pembelajaran di Sekolah Impian ini. Menurut Febriansyah, salah satu momen lucu yang sering ditemui di sekolah ini adalah banyak siswa yang bahkan tidak mandi untuk mengikuti proses pembelajaran.
“Kadang suara saya serak saat menegur siswa yang belum mandi. “Ada juga yang tidak mandi karena bangun kesiangan,” candanya.
Maklum, di permukiman tersebut jarang ditemukan air bersih untuk mandi dan mencuci. Bahkan tak jarang warga mandi atau mencuci di tempat tersebut dengan air kotor.
“Tapi untuk saat ini mereka boleh saja seperti ini, sambil menunggu gedung sekolah selesai dibangun. Nanti kalau gedung sekolah sudah selesai, kebersihannya diutamakan, lanjut Febri.
Di belakang area belajar siswa terlihat sebuah bangunan kayu yang belum selesai dibangun. Gedung ini disumbangkan oleh para donatur dermawan untuk mewujudkan impian anak-anak pemulung.
Bahkan tanah yang mereka tinggali merupakan tanah wakaf seorang dermawan. Sebuah musala dan gedung sekolah dari kayu juga akan dibangun di atas tanah tersebut.
“Kami tidak mau mengemis, tapi jika ada donatur yang mau berkontribusi untuk kelangsungan sekolah ini, kami akan sangat berterima kasih. “Kami sangat membutuhkan donor, tapi kami tidak akan meminta,” ujarnya.
Dapatkan bayaran yang mahal
Untuk mewujudkan impian anak-anak pemulung mendapatkan pendidikan, tim Komunitas Rumah Berdedikasi Indonesia (KRDI) Makassar perlu kerja ekstra.
Dengan tingkat kepedulian dan dedikasinya yang tinggi, mereka pun mendirikan sebuah yayasan pendidikan yang digunakan untuk tujuan hukum dan menawarkan les privat kepada masyarakat luas.
Bimbingan belajar privat ini ditawarkan dengan harga yang murah dibandingkan dengan layanan les privat lainnya. Segala upaya dilakukan tim KRDI agar Sekolah Impian tetap berjalan tanpa kendala.
“Ini bukan bisnis, hasil les privat ini akan kami kumpulkan dan dibagikan antara lain untuk gaji guru di Dream School dan untuk kebutuhan siswa kami di sana,” kata Febriansyah.
Meski digaji mahal, keempat staf pengajar Dream School tak pernah mengeluh, bahkan semangat mengajari anak-anak tentang pemulung di kawasan kumuh.
Keempat tenaga pengajar tersebut antara lain Dian Hardiyanti Ilyas, alumni Universitas Negeri Makassar (UNM), Nurfatih, alumni Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, serta Indri dan Eva, alumni Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar.
Kedepannya tim KRDI Makassar akan membuka kembali Sekolah Impian bagi anak-anak pemulung di dua lokasi di Makassar. Namun Febri menjelaskan, untuk membuka sekolah lain, pihaknya akan mencari tenaga pengajar yang memiliki komitmen tinggi, berapa pun gaji yang diberikan.
“Kami mencari mereka yang memang ingin fokus mendidik adik-adiknya yang pemulung tanpa melihat besaran gajinya. “Tetapi kita fokus dulu agar apa yang ada di sini bisa berkembang, karena saya ingin Sekolah Impian ini semakin besar,” ujarnya. —Rappler.com