
Eksekusi sudah memasuki tahap akhir
keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Penerapan hukuman mati tahap ketiga ini ditentang oleh beberapa organisasi pembela hak asasi manusia. Mereka berpendapat bahwa hukuman mati tidak membuat pelaku kejahatan jera.
JAKARTA, Indonesia – Jaksa Agung Muhammad Prasetyo memastikan eksekusi mati tahap ketiga akan dilakukan pada pekan ini. Sebanyak 14 terpidana mati akan dieksekusi di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Prasetyo mengatakan, 14 terpidana mati tersebut sudah menjalani isolasi dan tidak bisa lagi dikunjungi keluarga. Saat ini, kata Prasetyo, tim algojo tinggal menyelesaikan tahap akhir pelaksanaan eksekusi. Aparat keamanan, regu tembak, dan polisi sudah berada di Pulau Nusakambangan.
Lantas siapa saja terpidana mati yang akan dieksekusi?
“Kalau tidak berubah (akan dieksekusi) 14 orang. Freddy (Freddy Budiman) masuk, Zulfiqar masuk, Merri Utami juga (akan dieksekusi), kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Rabu, 27 Juli.
Dia juga tak menampik, sebagian besar terpidana yang akan dieksekusi pekan ini merupakan warga asing. Mantan politikus Partai Nasional Demokrat ini mengaku mengirimkan surat pemberitahuan ke kedutaan asing tentang warganya yang akan dieksekusi.
“Saya harap semua pihak bisa memahami hal ini. “Termasuk kuasa hukum masing-masing terpidana, harusnya bisa membantu meski masih belum sepenuhnya sependapat dengan kita,” ujarnya.
Apa yang dilakukan pemerintah, kata Prasetyo, adalah untuk kepentingan bangsa Indonesia. Sejauh ini, Prasetyo mengakui pelaksanaan eksekusi mati jilid III masih sedikit bermasalah dari segi administrasi. Namun Prasetyo menampik hal yang menjadi kendala tersebut.
“Sekarang, tunggu saat terakhir. Semoga tidak ada kendala. “Kalau semuanya sudah final, kami tidak akan menundanya,” ujarnya.
Hukuman mati tidak memberikan efek jera terhadap kejahatan
Sementara itu, organisasi Amnesty International (AI) menyatakan penolakannya terhadap penerapan eksekusi jilid ketiga. Menurut Wakil Direktur Kantor AI Kawasan Asia Tenggara dan Pasifik, Josef Benedict, jika Presiden Joko “Jokowi” Widodo terus menjatuhkan hukuman mati, maka pemerintahannya akan berada di pihak yang salah.
Di saat pemerintahan Jokowi seharusnya menjadi awal baru penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), mantan Gubernur DKI Jakarta ini justru mampu mencetak rekor baru jumlah eksekusi mati tertinggi di Indonesia.
“Sementara itu, sebagian besar negara di dunia telah menghindari praktik kejam ini,” kata Benedict dalam keterangan tertulisnya.
Selain itu, AI mengetahui beberapa terpidana mati telah melalui proses peradilan yang tidak semestinya dan tidak mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. Beberapa diantaranya menyatakan bahwa mereka adalah korban penyiksaan atau penganiayaan selama berada dalam tahanan polisi. Tujuannya adalah agar mereka “mengakui” kejahatan yang dituduhkan kepada mereka.
“Sampai saat ini, klaim tersebut bahkan belum diselidiki oleh pihak berwenang,” ujarnya lagi.
Jelang eksekusi, sempat muncul reaksi dari pemerintah Pakistan, pasalnya salah satu warganya, Zulfiqar Ali, menjadi salah satu terpidana yang akan menghadapi regu tembak. Mereka meminta pemerintah Indonesia menghentikan eksekusi Zulfiqar.
Pria asal Pakistan tersebut mengaku disiksa saat berada dalam tahanan dan menghabiskan lebih dari satu dekade penjara karena pelanggaran narkoba.
“Terlepas dari apa yang kami pikirkan tentang hukuman mati, tidak ada nyawa seseorang yang diputuskan berdasarkan proses peradilan yang cacat,” katanya.
Untuk itu, AI meminta agar pemerintahan Jokowi memberlakukan moratorium eksekusi mati. Selain tidak memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan, kebijakan tersebut dapat merusak reputasi Indonesia di mata dunia.
“Jika Presiden Jokowi serius ingin meraih posisi di kancah internasional dan menjadi pemimpin di kawasannya, maka ia tidak bisa mengabaikan kewajiban hak asasi manusianya,” kata Benedict. – Rappler.com
BACA JUGA: