Empat hal tentang Patrialis Akbar, hakim Mahkamah Konstitusi yang terlibat kasus suap
keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Patrialis diangkat langsung oleh Presiden SBY sebagai hakim mahkamah konstitusi. Penunjukan tersebut memicu kontroversi dan protes masyarakat.
JAKARTA, Indonesia – Nama Mahkamah Konstitusi (MK) kembali tercoreng setelah salah satu hakimnya, Patrialis Akbar, terjerat operasi tangkap tangan (OTT) terkait suap pada Rabu 25 Januari. Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu terjerat kasus uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang menjadi kewenangan lembaganya.
Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Patrialis kedapatan bersama seorang wanita di Mall Grand Indonesia. Meski tak memberikan keterangan resmi, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Arief Hidayat, meminta maaf kepada masyarakat. Sebab, ini merupakan kasus penangkapan kedua yang terjadi di Mahkamah Konstitusi setelah Akil Mochtar.
Berikut empat hal penting yang perlu Anda ketahui tentang Patrialis Akbar:
1. Lahir dari keluarga veteran
Patrialis lahir pada tanggal 31 Oktober 1958 di Padang, Sumatera Barat. Ia dilahirkan dalam keluarga kaya dan merupakan seorang veteran militer. Setelah lulus STM, Patrialis memutuskan merantau ke Jakarta dan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Profesi pengacara sempat ia geluti selama beberapa waktu dan kemudian memutuskan terjun ke dunia politik dan bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN). Karir Patrialis semakin cemerlang di dunia politik dengan menjabat sebagai anggota DPR selama dua periode, yakni 1999-2004 dan 2004-2009 dari daerah pemilihan Sumatera Barat.
2. SBY terpilih menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi
Patrialis Akbar diangkat menjadi hakim Mahkamah Konstitusi periode 2013 – 2018. Namanya mencuat setelah dilantik oleh SBY.
Pengangkatannya pun menuai kontroversi karena diangkat tanpa melalui proses pemeriksaan di DPR. Namun, pemerintah saat itu bersikeras mengangkat Patrialis meski mendapat protes dari masyarakat.
“Itu wakil pemerintah di mahkamah konstitusi, jadi pemerintah berhak mengambil keputusan,” kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto saat itu. media.
3. Sebelumnya menjabat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Patrialis merupakan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) ke-28. Ia menjabat mulai 22 Oktober 2009 hingga 19 Oktober 2011.
Saat menjabat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, kinerja Patrialis mendapat pujian dari Wakil Presiden Boediono. Dalam acara pelatihan notaris yang digelar pada 2010 lalu, Boediono mengatakan Patrialis telah melakukan banyak terobosan.
“Saya tidak akan memberikan pujian terlalu banyak, tapi ini benar-benar kejutan bagi kita semua. Saya senang mendengar langkah dan strategi baru Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, kata Boediono. media.
Pengakuan ini juga diberikan oleh Museum Rekor Indonesia (MURI). Terobosan tersebut antara lain membebaskan paspor bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI), penggantian sideminbakum yang akhirnya menjadi milik negara, visa on Arrival di pesawat, dan memperpendek proses perizinan dari satu bulan menjadi tujuh hari.
4. Melawan kasus perzinahan
Patrialis Akbar juga menangani kasus pengajuan uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 284 ayat (1) hingga ayat (5) yang dilakukan oleh Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA). ) telah dimulai. ). Dalam gugatannya, mereka ingin mengubah pasal mengenai perbuatan zina agar tidak hanya berlaku bagi pasangan suami istri, namun juga bagi pasangan yang belum menikah dan kaum homoseksual.
Meski sejumlah pihak, termasuk Komisi Nasional Perempuan dan Institute of Criminal Justice Reform (ICJR), menentang gagasan tersebut, Patrialis tampaknya mendukung gagasan AILA. Ia menilai perzinahan yang dilakukan atas dasar suka sama suka dan tidak merupakan tindak pidana justru menimbulkan banyak kerugian bagi perempuan.
“Padahal eksploitasi terhadap perempuan atau kejahatan terhadap perempuan seringkali disebabkan oleh perzinahan yang awalnya bersifat suka sama suka,” kata Patrialis dalam persidangan, 30 Agustus 2016.
Patrialis mencontohkan pola yang sering terjadi di masyarakat, yakni perbuatan zina suka sama suka yang diawali dengan rayuan terhadap seorang perempuan. Perbuatan ini berlanjut hingga perzinahan dan terkadang jika pihak laki-laki tidak bertanggung jawab akan berakhir dengan pembunuhan. – Rappler.com