
Eni Lestari, pekerja migran Indonesia pertama yang berbicara di PBB
keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) resmi dimulai pekan ini. Namun tahun ini, PBB secara khusus akan mengangkat isu pengungsi dan pekerja migran.
Pemerintah setempat kemudian memilih beberapa orang untuk berbicara mengenai kedua isu tersebut di KTT PBB. Salah satunya Eni Lestari, perempuan asal Kediri, Jawa Timur.
Eni adalah pemimpin Aliansi Migran Internasional (IMA), sebuah aliansi formal pekerja migran yang dibentuk di Hong Kong pada tahun 2008. IMA beranggotakan 120 organisasi pekerja migran dari 19 negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Lantas bagaimana kisah Eni menjadi pembicara di forum bergengsi tersebut? Ia mengaku juga tidak menyangka bisa terpilih.
“Saya mengajukan lamaran atas nama IMA. Ada panitia seleksi yang dibentuk oleh PBB untuk menyeleksi kurang lebih 400 pelamar. “Dari 400 pelamar, yang diambil hanya 30 nama,” kata Eni kepada Rappler melalui telepon, Minggu malam, 18 September.
Dari 30 nama tersebut, panitia kemudian mengurangi jumlahnya menjadi 9 orang saja. Kepastian Eni diundang menjadi pembicara disampaikan melalui surat elektronik yang dikirimkan pada 25 Agustus lalu.
Eni mengatakan, dirinya sudah berada di New York, Amerika Serikat, sejak 15 September. Ada berbagai kegiatan terkait tema buruh migran yang wajib ia hadiri.
“Bahkan, pada Minggu sore terjadi demonstrasi pembelaan hak buruh migran yang diadakan oleh IMA cabang AS. “Mereka berjalan dari depan Times Square Garden hingga depan markas PBB,” ujarnya.
Sementara itu, pada Sidang Umum PBB yang digelar Senin, 19 September, Eni diberi waktu berpidato selama 3 menit. Ia bergiliran berbicara dengan dua aktivis Irak, Nadia Taha dan aktivis Suriah, Mohammed Badran.
Eni mengatakan, ada tiga poin besar yang akan disampaikannya dalam pidatonya. Pertama, mengenai pengalamannya sebagai pekerja migran, aspirasi komunitasnya, dan tantangan PBB dalam mencari solusi atas permasalahan tersebut.
“Kami menginginkan pelayanan dan perlindungan dari pemerintah. Sejauh ini, kita menyelesaikan masalah ini sendirian melalui sistem yang tidak mengakui hak-hak pekerja migran. “Ke mana pun kami pergi, kami masih dipandang hanya sebagai barang dagangan dan tenaga kerja murahan,” kata Eni menceritakan realita sebagai buruh migran.
Masyarakat, kata Eni, tidak ingin terus berada dalam kondisi rentan dan berharap hak-haknya diakui.
“Kami ingin ada perubahan yang signifikan,” imbuhnya.
Lantas, apakah dia optimistis PBB bisa memberikan solusi tersebut? Ia mengaku masyarakatnya sangat antusias saat mengetahui dirinya akan berbicara pada sesi pembukaan KTT PBB tentang pekerja migran dan pengungsi. Apalagi dia merupakan seorang TKI yang sangat memahami situasi di lapangan.
“Setelah berbicara di forum PBB, tidak serta merta mengubah segalanya. PBB juga bukan merupakan forum yang dapat secara otomatis dan langsung mengikat para anggotanya. “Namun, untuk pertama kalinya ada mekanisme yang menangani pengungsi dan pekerja migran,” ujarnya.
Hal ini, lanjut Eni, memberikan harapan baru bagi komunitas pekerja migran. Karena akhirnya persoalan ini sudah dibicarakan di tingkat tertinggi dan tidak lagi diselesaikan sendirian.
Untuk membantu orang tua
Eni kemudian mengenang pengalaman pertamanya menginjakkan kaki di Hong Kong untuk menjadi TKI. Dia tiba di kota administratif Tiongkok pada tahun 1999.
Eni terpaksa meninggalkan Indonesia karena krisis 1997/1998 membuat orang tuanya terlilit hutang. Orang tua Eni hanya seorang pedagang kecil sehingga tidak mempunyai cukup dana untuk menyekolahkan putri sulungnya hingga perguruan tinggi.
Hong Kong dipilih sebagai tempat mengadu nasib karena orang tuanya tidak mengizinkannya bekerja di negara Timur Tengah, Singapura, dan Malaysia.
“Mereka merasa lebih aman ketika saya pergi ke Hong Kong karena mereka tahu penegakan hukum di sini lebih aman bagi pekerja migran. Selain itu, banyak juga kasus yang melibatkan pekerja migran di ketiga negara tersebut, ujarnya.
Namun, perjalanannya sebagai buruh migran sungguh memilukan. Setibanya di Hong Kong, paspor Eni diambil oleh agen penempatan TKI. Selama 3 bulan pertama dia tidak pernah menerima gaji.
“Selama 4 bulan pertama bekerja, majikan saya tidak pernah memberi saya hari libur. “Saya dilarang keluar rumah, tidak boleh menggunakan telepon, dan harus tidur sekamar dengan anak remaja mereka yang berusia 14 tahun,” kata Eni menceritakan kisahnya.
Seolah belum cukup, ketika akhirnya gajinya diterima di bulan keempat, jumlahnya dipotong. Majikan berdalih sebagian gajinya diserahkan kepada agen tenaga kerja.
“Saya berulang kali menghubungi agen untuk mengajukan keluhan, namun tidak tertolong. “Mereka bilang ‘sabar, ini masih baru’,” ujarnya.
Akhirnya setelah bekerja selama 7 bulan, Eni mengaku tak sanggup. Ia pun memilih kabur dengan membawa uang di dompetnya. Eni kemudian ditampung di a tempat berlindung khususnya bagi pekerja migran.
“Di sana saya bertemu dengan para pekerja migran asal India, Nepal, Filipina dan WNI lainnya. “Saya baru menyadari bahwa permasalahan ini tidak hanya saya alami saja,” kata Eni.
Akar masalahnya
Selama 17 tahun bekerja di Hong Kong, Eni mengaku berganti majikan sebanyak 5 kali. Dengan majikan terakhirnya, Eni merasa lebih nyaman karena mengetahui hak-hak buruh migran.
“Majikan saya saat ini bekerja sebagai misionaris. “Dia kebanyakan tinggal di luar Hong Kong dan tidak pernah melarang saya menjadi aktivis,” ujarnya.
Diakui Eni, berdasarkan pantauannya, TKI merupakan komunitas pekerja migran terbesar kedua setelah pekerja asal Filipina. Jumlahnya mencapai sekitar 40 ribu orang.
Namun, TKI jugalah yang paling banyak mengalami permasalahan. Menurut Eni, ada dua penyebab buruh migran sering mendapat masalah di Hong Kong.
“Pertama, karena kami diutus sejak awal, agen Pemberi Kerja Jasa TKI (PJTKI) tidak pernah memberikan edukasi yang baik kepada kami untuk mengetahui seperti apa medan tempat kami akan bekerja. “Kami yang buta secara hukum tidak diberikan pemahaman tentang budaya dan adat istiadat setempat,” ujarnya.
Parahnya, nasib mereka seakan-akan berada di tangan majikan karena minimnya informasi.
Alasan kedua karena pemerintah telah melimpahkan seluruh tanggung jawab kepada PJTKI. “Mereka hanya ingin menerima data bersih berupa data jumlah orang yang diekspor dan menerima devisa,” kata Eni.
Sementara sebagian besar PJTKI menganggap pengiriman TKI hanya sekedar bisnis dan hanya fokus pada keuntungan.
Oleh karena itu, di New York, Eni akan mencoba menemui Jusuf Kalla yang mewakili pemerintah Indonesia di forum PBB. Jika tidak bisa, ia ingin bertemu dengan Wakil Tetap Indonesia di PBB, Dian Triansyah Djani, untuk membahas isu perlindungan pekerja migran. – Rappler.com