Fantasi Rekonsiliasi Pemerintahan Jokowi
- keren989
- 0
‘Ironis sekali pemerintahan Jokowi ngotot memaksakan rekonsiliasi dengan mengabaikan keinginan para korban’
Keberanian pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo patut diapresiasi. Melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Pandjaitan, Jokowi menargetkan penyelesaian enam kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk pembunuhan massal tahun 1965.
Yang paling mengesankan, pemerintah mengaku hanya membutuhkan waktu satu tahun untuk menyelesaikannya. Dianto Bachriadi meragukan target pemerintah tersebutsalah satu komisioner Komnas HAM yang juga memberikan kesaksian pada November lalu di Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) 1965 di Den Haag, Belanda.
Pemerintah sendiri rencananya akan mengumumkan skema penyelesaian tersebut pada 2 Mei mendatang. Belum ada yang tahu secara konkret. Namun, besar kemungkinan pemerintah akan menerapkan mekanisme rekonsiliasi sepihak ketimbang menutupi sejarah kelam tersebut.
Alasannya banyak. Misalnya, kurangnya bukti, tidak adanya saksi, atau berapa lama pelanggaran tersebut terjadi. “Siapa yang mau dihukum?tanya Luhut pada 17 Maret lalu.
Bagi saya, alasan ini tidak masuk akal dan tidak masuk akal. Genosida tahun 1965 merupakan masalah serius dan merupakan pelanggaran HAM tertua di antara pelanggaran HAM lainnya. Meski persoalan yang memilukan dan memalukan ini belum terselesaikan selama 50 tahun, namun persoalan ini masih terpelihara dengan baik dan rapi sebagai penopang utama kelangsungan kebencian kolektif hingga saat ini.
Peristiwa ini belum bisa disebut pembusukan. Buktinya berlimpah. Saksinya berkisar dari benua Eropa hingga benua Australia dan siap memberikan buktinya. Ada ratusan korban di Indonesia yang juga masih hidup dan menderita dalam waktu yang lama – menunggu keadilan ditegakkan secara bermartabat.
Jokowi – jika mau – bisa menelpon atau mengunjungi ibunda Tintin Rahayu, perempuan Jawa pemberani yang bersaksi mewakili salah satu korban saat Pengadilan Rakyat Internasional digelar pada tahun 1965. Ia pun menangis tersedu-sedu dan menyebut salah satu dosen Universitas Gadjah Mada sebagai pelaku kekerasan terhadap dirinya saat itu.
Padahal, pilihan rekonsiliasi yang dilakukan Jokowi merupakan hal yang mulia – jika dilakukan dengan benar. Dalam Islam, penebusan identik dengan istilah tersebut perdamaian, arti umumnya adalah memecah konflik. Al-Qur’an sendiri meyakini bahwa perselisihan harus diselesaikan agar perdamaian dapat terwujud, sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Hujurat 10 dan An-Nisa’ 128.
Setidaknya ada empat komponen internal perdamaian Dia; ada pihak-pihak yang bersengketa (Muslim), masalah yang disengketakan (mushalalih ‘anhu), tawaran yang akan diberikan salah satu pihak kepada lawannya (sangat bagus), dan berjanji perdamaian diucapkan di depan umum.
Dalam konteks genosida tahun 1965, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik sudah sangat jelas; Negara (saat itu) yang orang-orangnya dituduh sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI). Oleh karena itu, negara merasa berhak melakukan praktik kekerasan tanpa adanya keputusan pengadilan (kekerasan di luar hukum).
Praktik ini menjadi bahan perdebatan. Ada banyak literatur yang membahas berbagai jenis kekerasan. Namun, agar lebih mudah, mari kita doakan saja temuan Komnas HAM tersebut. Lembaga resmi ini melancarkan 9 jenis kekerasan yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif sepanjang tahun 1965-1966.
Kesembilan jenis kekerasan tersebut antara lain:
- Pembunuhan
- Penghancuran
- Perbudakan
- Penggusuran paksa atau relokasi warga
- Perampasan kebebasan atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang
- Menyiksa
- Pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya
- Penuntutan
- Penghilangan orang secara paksa
Alat penting lainnya di perdamaian adalah sebuah pengakuan. Pelaku pada dasarnya harus mempersiapkan diri jika korban menuntut pengakuan atas perbuatannya. Imam Syafii, madzhab fiqih Kebanyakan umat Islam Indonesia memerlukan pengakuan dalam setiap pengampunannya.
Jika seseorang ingin meminta maaf karena menyebabkan orang lain terbunuh, mereka tidak bisa hanya berkata, “Maaf, oke?”
Namun perlu diungkapkan secara utuh, apalagi jika ingin berdamai, “Saya menyesal telah membunuh ayahmu pada tanggal 28 Desember 1965 dan saya siap menebus kesalahan itu.”
Penebusan seperti ini termasuk dalam kategori Sulh ma’a al-iqrar, perdamaian disertai pengakuan. Tanpa pengakuan, menurut Muhammad Shalih al-Utsaimin (1925-2001), seorang ulama Salafi berpengaruh di Arab Saudi, hakikatnya adalah perdamaian akan terluka karena masih ada kebohongan.
Menariknya, tidak ada satupun literatur hukum Islam yang memperbolehkan pelaku untuk sewenang-wenang dalam memberikan penawaran kepada korbannya. Dalam artian, korban adalah satu-satunya pihak yang permintaannya harus didengarkan, apalagi nyawa dan kehormatannya menjadi taruhannya. Karena biasanya memang begitu.
Apabila seorang WNI dituduh membunuh anak majikannya di Arab Saudi, maka keluarga korban mempunyai kewenangan untuk memberikan pengampunan atau tidak. Mereka juga mempunyai wewenang penuh untuk menentukan dalam bentuk apa kesedihan dapat digantikan. Bukan pelaku yang memaksakan tawarannya.
Oleh karena itu, ironis jika pemerintahan Jokowi bersikeras memaksakan rekonsiliasi dengan mengabaikan keinginan para korban. Pemerintah seolah memperkosa atau berfantasi sambil memperkosa dirinya sendiri. —Rappler.com
Aan Anshori adalah koordinator Jaringan Anti Diskriminasi Islam (JIAD) Jawa Timur. Saya pernah mengantri di Tambakberas Jombang dan Kedungmaling Mojokerto.
BACA JUGA: