Film Bertema Transgender Menang di ‘FFI 2017’
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
‘Bulu Mata’ menjadi film transgender pertama yang meraih penghargaan sepanjang sejarah ‘Festival Film Indonesia (FFI)’.
SOLO, Indonesia – bulu mata menjadi film transgender pertama yang memenangkan penghargaan dalam sejarah Festival Film Indonesia (FFI). Film karya Tonny Trimarsanto ini terpilih sebagai film dokumenter panjang terbaik pada Malam Penghargaan FFI 2017 di Manado, Sabtu malam, 11 November.
Keputusan ini cukup mengejutkan karena para juri berani memilih film yang mengangkat isu sensitif dan kontroversial di masyarakat. bulu mata menggambarkan kehidupan kelompok minoritas yang kerap luput dari sorotan kamera industri hiburan, bersaing dengan lima film dokumenter lainnya yakni. Balada Bala Sinema (Yudha Kurniawan), Banda: Jejak Gelap yang Terlupakan (Jay Subyakto), Ibu (Patar Simatupang), Negeri dongeng (Anggi Frisca), dan Tarling adalah Sayang (Ismail Fahmi Lubis).
“Ini adalah pilihan yang sulit. Saya tidak menyangka film ini akan menang. “Teman-teman juga berpikiran sama bahwa isu-isu sensitif cenderung diabaikan di panggung formal seperti FFI,” kata Tonny Trimarsanto kepada Rappler, Minggu.
“Tetapi kenyataannya berbeda. Ini merupakan terobosan yang berani dan saya salut kepada para juri FFI. “Mudah-mudahan ini membawa perubahan di masa depan,” lanjut sutradara film dokumenter yang berdomisili di Klaten, Jawa Tengah ini.
bulu mata menyoroti kehidupan sekelompok transgender dalam masyarakat di provinsi yang dikenal paling religius di Indonesia: Aceh. Tak hanya mengalami diskriminasi dan kekerasan fisik dan verbal, kaum transgender juga hampir tidak mempunyai tempat tinggal di kawasan berjuluk Serambi Mekkah yang ditegakkan hukum syariah secara ketat.
(Membaca: Film ‘Bulu Mata’ mengupas diskriminasi transgender di Aceh)
Secara sinematografi, film dokumenter yang diproduksi tahun 2016 ini kurang menawarkan gambar-gambar yang menarik. Adegan spontan tanpa pengaturan pencahayaan dan suara yang buruk – sebagian wawancara dilakukan di sebuah salon di Bireun yang terletak tepat di pinggir jalan utama dengan kebisingan kendaraan yang keras – tidak menjanjikan sisi artistik sebagai hiburan.
Yang ditawarkan film ini hanyalah sudut pandang baru dalam memandang kehidupan transgender, yakni kisah hidup mereka sendiri. Dengan menghabiskan enam bulan di Bireun, Tonny berhasil membuat para waria mau berbagi cerita dan tidak merasa risih jika diawasi kamera dalam aktivitas sehari-hari.
Hingga saat ini, film yang awalnya dibuat untuk menginspirasi keluarga yang memiliki anak transgender ini belum pernah dirilis di Aceh, dengan alasan melindungi komunitas transgender yang semakin terancam. bulu mata hanya diputar di ruang diskusi terbatas, forum kajian gender dan berbagai festival film.
“Saya mengambil sikap tegas dalam masalah ini, saya harus berada di pihak mereka. “Jangan sampai film ini menyebabkan salon yang menjadi satu-satunya sumber penghidupan mereka ditutup,” ujar pria yang mengawali karir di dunia film sebagai peneliti dan direktur artistik film-film karya Garin Nugroho seperti Bulan dipenuhi rumput liar Dan Daun di atas bantal Itu.
(Membaca: Daftar lengkap pemenang FFI 2017)
Menurut Tonny, kelompok transgender yang ‘membintangi’ filmnya merasa puas dengan hasil film tersebut bulu mata, karena mereka melihatnya sebagai media untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara yang tidak pernah diakui. Mereka berharap melalui film ini stigma negatif terhadap kaum transgender bisa perlahan terhapus.
“Mereka sudah tahu (filmnya menang di FFI), tapi tidak akan merayakannya secara terang-terangan,” kata pengelola Rumah Dokumenter itu.
Di samping itu bulu mataTonny juga pernah memproduseri sejumlah film tentang transgender seperti Renita Renita Dan Manggadan sedang menyelesaikan film tentang asrama Islam waria Al-Fatah di Yogyakarta, Hanyadan para pendeta suci Bone yang tidak memiliki jenis kelamin, Bissu. —Rappler.com