Fredrich Yunadi dan Setya Novanto ‘berkumpul’ di Rutan KPK
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Pengacara Fredrich Yunadi akhirnya resmi ditahan selama 20 hari oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia ditempatkan di Rutan yang sama yang saat ini ditempati Setya Novanto, mantan kliennya di belakang gedung KPK.
Pria 67 tahun itu resmi mengenakan jaket oranye setelah diperiksa penyidik KPK selama kurang lebih 10 jam. Fredrich ditangkap penyidik di kawasan Gatot Subroto setelah tidak hadir pada panggilan pertama sebagai tersangka.
KPK mencurigai kuat dan memiliki bukti kuat bahwa Fredrich bersama dokter Bimanesh Sutarjo menghalangi penyidik saat ingin mengusut kasus korupsi yang melibatkan Setya.
Lantas apa komentar Fredrich usai resmi ditahan KPK?
“Saya difitnah dan diberitahu bahwa saya telah melakukan pelanggaran. Sedangkan pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat sudah sangat jelas menyatakan bahwa advokat tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana, kata Fredrich kepada media, Sabtu, 13 Januari di Kantor KPK.
Ia kembali menuding dirinya diperlakukan tidak adil dan dikriminalisasi oleh lembaga antikorupsi. Namun kali ini, dia menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ingin menghancurkan profesi hukum.
“Saya diperlakukan seperti itu oleh KPK hari ini, artinya semua pengacara di masa depan bisa diperlakukan seperti itu. “Bisa juga ditiru oleh pihak kepolisian dan kejaksaan,” ujarnya lagi.
Penangkapannya dinilainya aneh karena hanya satu kali tidak hadir saat dipanggil penyidik, padahal sudah ditangkap. Fredrich pun membantah keras dirinya menghalangi kerja penyidik yang ingin mengusut kasus Setya. Selain itu, ia disebut-sebut sebagai orang yang memesan ruang perawatan satu lantai di RS Medika Permata Hijau pada 16 November 2017.
“Sama sekali tidak ada (usaha menghalangi). Buktikan saja jika itu benar. “Itu serangkaian skenario karena kami ingin membakar profesi hukum,” ujarnya.
Jangan menyerang pendukung
Pernyataan Fredrich langsung dibantah Komisioner KPK Laode M. Syarif melalui pesan singkat. Ia mengatakan, penahanan Fredrich bukan merupakan serangan terhadap profesi hukum. Segala tindakan dan keputusan didasarkan pada bukti-bukti dan keterangan saksi.
Syarif mengacu pada pasal 17 KUHAP tentang penangkapan, yang menyebutkan bahwa surat perintah penangkapan dikeluarkan terhadap seseorang yang diduga kuat melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Ia juga menyinggung pasal 112 ayat 2 KUHAP yang berbunyi; “Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik, dan apabila ia tidak datang maka dipanggil kembali oleh penyidik, dengan perintah agar petugas membawanya kepadanya.”
Artinya, menurut Syarif, langkah yang diambil penyidik tidak sembarangan dan berdasarkan aturan hukum.
KPK mengetahui banyak advokat yang profesional dan baik, yang dalam menjalankan profesinya selalu berpedoman pada etika profesi dan tidak berusaha menghalangi proses penegakan hukum dalam pekerjaannya, kata Syarif, Sabtu sore, Januari. 13. .
Dijelaskannya, baik dokter maupun pengacara merupakan profesi yang mulia dan bertujuan untuk melindungi hak klien dan mengobati orang sakit. Meski demikian, bukan berarti mereka bisa menghambat penanganan kasus korupsi.
Sebab, akan ada akibat hukum sebagaimana tertulis dalam pasal 21 UU Tipikor, ujarnya.
Mempengaruhi citra advokat
Sementara itu, advokat senior yang juga Ketua DPN PERADI Luhut Pangaribuan menilai perbuatan Fredrich justru dapat mencoreng citra profesi hukum. Faktanya, tidak semua pengacara berperilaku seperti ini saat membela kliennya.
“Dia (Fredrich) adalah manusia. Memang benar selalu ada individu di dalam lembaga atau badan. Apalagi, rekam jejaknya saat ini masih diragukan. “Ijazahnya sekarang diragukan, begitu pula advokasinya,” ujarnya saat dihubungi Rappler melalui SMS, Sabtu sore.
Fredrich sendiri diketahui berada di bawah perlindungan DPN PERADI yang beralamat di SOHO. Organisasi tersebut adalah Fauzi Yusuf Hasibuan. Sedangkan kepengurusan PERADI terpecah menjadi tiga. Selain dipimpin Fauzi, ada juga PERADI yang dipimpin Luhut dan Juniver Girsang.
Luhut menjelaskan, dirinya tidak berwenang memproses Fredrich sesuai kode etik.
“Karena yang bersangkutan ada di Peradi SOHO, tentu berhak memprosesnya. Namun, apa yang saya dengar telah disampaikan kepada Dewan Kehormatan. Yang perlu digarisbawahi, isi pemeriksaan dewan kehormatan dan KPK adalah dua hal yang berbeda. Jadi tidak perlu diperdebatkan,” ujarnya.
Luhut menjelaskan, banyak pihak yang justru mengernyitkan dahi saat Peradi SOHO justru memberikan pekerjaan kepada Fredrich. Sebab, saat ini ia juga terlibat kasus dugaan ijazah palsu. Ada keluhan dari istrinya beberapa waktu lalu.
Namun pengaduan tersebut tidak diproses karena Peradi dengan cepat terpecah menjadi tiga kubu pada tahun 2015.
Luhut mengatakan, kasus yang menimpa Fredrich merupakan peristiwa hukum biasa. Namun hal ini tidak biasa karena banyak komentarnya yang tidak pantas dan tidak sesuai dengan hukum.
“Misalnya soal penyakit SN (Setya Novanto), dia menjelaskannya kepada media. Padahal, ia bukan seorang dokter sehingga muncullah julukan bakpao. Ia pun selalu menegur dan melaporkan ke polisi jika pernyataannya dibantah. “Dari Mahfud MD hingga JK, katanya malah tidak paham hukumnya,” ujarnya.
Hal inilah yang justru memperburuk citra pengacara. Faktanya, advokat tidak membela siapa yang membayar. Pada saat yang sama, mereka juga memiliki semangat pro bono, sehingga meski tidak dibayar, mereka tetap perlu dipertahankan.
Luhut tak menampik apa yang menimpa Fredrich sebagai pengalaman berharga. Apalagi, baru kali ini seorang pengacara ditangkap lembaga antirasuah karena diduga menghalangi proses penyidikan.
“Di PERADI yang saya pimpin, setiap pengurus harus menandatangani perjanjian integritas,” ujarnya. – Rappler.com