Gajah liar mengoyak sawah di Pidie
- keren989
- 0
KEUMALA, Indonesia – Puluhan hektare sawah milik warga di kawasan Blang Lhok, Desa Jijiem, Kecamatan Keumala, Pidie, Aceh, dijarah kawanan gajah liar dalam dua hari terakhir.
Kawanan gajah pertama kali turun ke sawah pada Rabu malam 15 Maret. Akibatnya, padi yang akan memasuki masa panen dua minggu lagi itu rusak karena terinjak-injak.
Seorang pemilik sawah, Idris Abdullah (60), menceritakan kepada Rappler, sawahnya diserang gajah liar pada Kamis malam lalu.
“Sebenarnya dua minggu lagi padi saya akan panen, tapi hari ini semuanya rata dengan tanah setelah diinjak gajah liar,” kata Idris, Jumat, 17 Maret 2017.
Meski begitu, Idris mengaku belum tahu apa yang harus dilakukan untuk mengatasi permasalahan gajah liar tersebut. Saat ini ia bahkan terpaksa bermalam di sawah untuk mencegah gajah masuk ke sawah. Ia berharap pemerintah mengambil langkah nyata agar petani tidak selalu merugi.
Petani lainnya, Abdurrahman, mengungkapkan, gajah liar bahkan masuk ke sawah di kawasan Blang Maleh tadi malam. Sawahnya hanya berjarak ratusan meter dari desa.
Bulir padi milik Gus Dur penuh, bahkan ada yang menguning. Kehadiran gajah mengancam hasil panen padinya. Gajah-gajah itu sudah tidak ada lagi di kebun, tapi sudah turun ke sawah, kata Abdurrahman.
Sawah yang dirusak gajah ini sangat dekat dengan areal kebun warga yang diserbu gajah liar sejak Desember 2015.
Jumlah gajah liar perusak sawah di kawasan Blang Lhok Desa Jijiem, Kecamatan Keumala, Pidie sejak dua hari terakhir diperkirakan mencapai 25 ekor.
Berdasarkan pantauan Rappler pada Jumat sore, kawanan gajah liar kembali turun ke sawah warga dan memakan padi yang tinggal beberapa hari lagi memasuki masa panen.
Relawan Keumala Ranger, Kausar, mengatakan kepada Rappler bahwa jumlah gajah yang memakan nasi tersebut berjumlah 17 ekor. Beberapa anak gajah kecil terlihat di dalam kawanan tersebut.
“Ini belum semuanya, karena gajah yang dipasangi kalung GPS tidak terlihat dalam kawanannya,” kata Kausar.
Seekor gajah liar dikalungkan kalung GPS di lehernya saat digiring di Desa Lala, Pidie, dua bulan lalu. “Jadi dengan alat ini kita bisa memantau ke mana saja pergerakan gajah liar tersebut,” kata Kausar.
Pihak berwenang berdiam diri
Camat Keumala, Basri Yusuf mengatakan, pihaknya sudah melaporkan kawanan gajah liar yang merusak sawah warga ke instansi terkait, namun hingga saat ini belum ada tindak lanjutnya.
“Masyarakat Keumala sangat kecewa dengan permasalahan gajah liar ini, karena tidak ada tindak lanjut dari dinas atau otoritas provinsi terkait mengenai hal tersebut,” kata Basri.
Upaya mengusir warga, lanjut Basri, dilakukan dengan cara membakar kembang api. Namun hewan besar ini sepertinya kebal terhadap suara kembang api.
“Upaya penggusuran secara adat kami lakukan bersama masyarakat. Namun gagal dan gagal lagi. Kawanan gajah liar semakin brutal dan terus merusak tanaman warga, lanjut Basri.
Konflik antara gajah liar dan warga tidak hanya terjadi dengan warga di Keumala, tapi juga dengan warga di tiga kecamatan lainnya, seperti di Kecamatan Sakti, Mila, dan Padang Tiji. Konflik satwa ini sudah berlangsung sejak Desember 2015.
BKSDA menjelaskan penyebab gajah liar merusak sawah
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo mengaku kesulitan mengusir gajah liar yang merusak sawah di Keumala, Pidie. Sebab, habitat gajah di hutan sudah terganggu.
“Sehingga sulit untuk dibawa kembali ke kawasan hutan sebagai habitatnya. Oleh karena itu, solusi permanennya harus komprehensif, artinya habitatnya tidak boleh diganggu, kata Sapto kepada Rappler, Jumat malam, 17 Maret 2017.
Dari temuan tim BKSDA pada Februari lalu, jelas Sapto, penyebab penurunan jumlah gajah liar ini di areal perkebunan dan persawahan terus berkurang karena adanya gangguan habitatnya di hutan berupa pembalakan liar. Alhasil, setiap kali mereka diusir ke dalam hutan, mereka akan kembali lagi ke sawah warga.
BKSDA, lanjut Sapto, pernah mengejar gajah liar dengan gajah peliharaan. Namun gajah-gajah tersebut hanya mau dikejar hingga ke bukit yang berbatasan dengan Aceh Besar. “Ini berdasarkan data GPS collar yang kami pasang pada kelompok gajah tersebut,” lanjut Sapto.
“Karena kita masih melihat perkembangan selanjutnya apakah bisa diusir dengan tangan harus menggunakan gajah, karena menggunakan gajah membutuhkan biaya yang tidak sedikit,” jelas Sapto.
Sebelumnya, BKSDA Aceh sudah dua kali menurunkan gajah jinak untuk mengusir gajah liar yang hinggap di kebun dan sawah warga di Pidie.
Sementara sebagai langkah jangka panjang, BKSDA berencana memindahkan Mane Conservation Response Unit (CRU) ke Kecamatan Mila, Pidie.
“Kami akan pindah dari distrik Mane ke lokasi yang lebih tepat dan strategis untuk seluruh wilayah, yakni di Mila,” kata Sapto.
Kecamatan Mila dipilih karena berada di kawasan strategis yang mewakili empat kecamatan yang sering terjadi konflik gajah liar. Diantaranya, Kecamatan Mila, Keumala, Sakti, dan Padang Tiji.
Tim akan mengecek kelayakan lokasi CRU di distrik Mila Selasa depan, kata Sapto.
Sapto mengaku hanya memindahkan CRU dari Mane ke Mila dan tidak membuat CRU baru karena terbatasnya gajah terlatih yang sudah cukup umur dan juga terbatasnya mahout gajah. —Rappler.com