Gerilya “Che Guevara” mela dengan Tiqui Taca
keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Surat kabar olahraga Italia La Gazzetta dello Olahraga Edisi 29 April lalu langsung terlihat pelatih (Pelatih) Atletico Madrid, Diego Simeone. Wajahnya telah diubah secara digital agar menyerupai gerilyawan sayap kiri Che Guevara.
Kebetulan kedua sosok tersebut sama-sama berasal dari Argentina.
Harian olah raga terbesar di negara Pisa memberi judul: Cholisme dan pemberontakan melawan Tuqi Taca. Kurang lebih maksudnya, revolusi Il Cholismo melawan tiki taka.
Kolisme adalah metode yang lekat dengan mantan pemain Lazio dan Inter Milan itu. Istilah ini diambil dari namanya: Cholo itu.
Metode ini mendasarkan filosofinya tidak hanya pada kerja kolektif bawahannya. Tapi juga upaya putus asa. Terlihat gigih dan sangat fisik. “Usaha keras adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar,” ujarnya Sepak Bola Dunia.
Simeone juga menambahkan bahwa kolektif harus berada di atas individu. Para pemain meraih kemenangan untuk tim. TIDAK kemuliaan pribadi. Kolektivitas di atas segalanya,” katanya.
Filosofi tersebut sebenarnya sudah ia terapkan sejak melatih di Argentina, kampung halamannya. Dari Racing Club, Estudiantes, River Plate, hingga San Lorenzo. Kolektivitas ini diwujudkan melalui serangan habis-habisan. Cetak gol sebanyak mungkin.
Tetapi, Cholisimo dikembangkan dengan pengalaman Simeone. Apalagi saat pelatih berusia 46 tahun itu menyelamatkan Catania dari ancaman degradasi ke Serie B, kasta kedua Liga Italia.
Alasan memilih Catania bukan karena ingin berkarier di Eropa. Saat itu dia merasa ini bukan waktunya. Ia sengaja menerima pinangan klub kecil tersebut karena ingin kembali mempelajari budaya sepak bola Italia.
Maklum, sebelum terjun ke dunia kepelatihan, Simeone pernah bermain untuk dua klub papan atas Tanah Air, Inter Milan dan Lazio. “Saya pergi ke sini karena saya ingin berkembang,” katanya.
Itu benar. Cholisimo juga “sempurna”.
Cholo itu tidak lagi berpikir tim perlu membombardir lawan dengan banyak gol. Tim yang bagus adalah tim yang pertahanannya solid. Simeone pun mulai berpikir lebih konservatif dan defensif.
Faktanya, dunia sepak bola sedang berada pada puncaknya saat itu permainan lewat alias sepak bola sendiri. Mereka terbuai dengan permainan indah Barcelona mendapatkan tiket.
Meski demikian, Simeone tak tergiur dengan permainan yang dipimpin Josep “Pep” Guardiola. Bahkan, ia menahbiskan dirinya sebagai antitesis dari pelatih yang kini menangani Bayern Munich.
“Saya lebih memilih tim bermain bagus daripada bermain atraktif,” ucapnya.
Tim yang terus mengejar lawan
Namun Simeone baru saja mendapat kesempatan untuk benar-benar melakukannya kepala ke kepala dengan Pep pada tahun 2011 ketika dia menjalin kemitraan kepelatihan Merah Putih— Nama panggilan Atletico.
Mantan klubnya saat masih aktif bermain menyebutnya “rumah”. Rumahnya terancam tidak bisa berkembang. Mereka hanya finis di posisi kesembilan pada akhir musim 2009-2010 dan hanya terpaut empat poin dari zona degradasi.
“Saya ingin tim yang penuh komitmen,” ucapnya saat mengungkapkan apa visinya untuk Atleti – sebutan Atletico.
“Tim yang bermain dengan terus berlari, berlatih, menghormati lawan dan melihat pertandingan dengan cerdas,” jelasnya.
Tak lama kemudian, koneksi itu menjadi nilai tambah Kolisme apa yang sempurna juga menjadi cetak biru Atlet baru.
Hanya dalam satu musim, Simeone langsung mengembalikan kewibawaan Atleti. Mereka finis di lima besar. Musim berikutnya mereka memimpin klasemen sebelum berakhir di peringkat ketiga.
Puncaknya, pada musim 2013-2014, Atleti pertama kali menjuarai Divisi Primera sejak 1995-1996 atau 18 tahun lalu. Dalam dua musim sejak kedatangan Simeone, Atleti tidak pernah melewatkan Liga Champions. Faktanya, mereka selalu bisa lolos ke perempatfinal.
Setelah menjuarai Divisi Primera, Cholo itu penasaran saja dengan satu judul lagi. Apalagi kalau bukan Si Kuping Besar, trofi Liga Champions. Dua tahun lalu, dia hanya tinggal selangkah lagi dari trofi itu sebelum dikalahkan oleh Real Madrid dengan skor telak 4-1.
Musim ini mereka tidak bisa mengulangi tragedi yang sama.
Dua tim tiki taka hancur
Sekalipun itu adalah antitesis mendapatkan tiket, Simeone tidak selalu bisa mengalahkan mereka. Faktanya, rekor head-to-head mereka masih didominasi oleh kemenangan Barcelona. Musim ini mereka dikalahkan dua kali oleh Barcelona di Divisi Primera dengan skor 2-1.
Namun situasi di level domestik tidak menjalar ke Liga Champions. Bahkan peristiwa ini menjadi balas dendam mereka.
Dua kali mereka mengantar Barcelona pulang. Pertama pada musim 2013-2014 dan kedua pada musim ini dengan total skor 3-2 (1-2, 2-0).
Kesuksesan Kolisme jangan berhenti di situ. Simeone juga bisa membuat frustrasi tim dengan filosofi tiki taka lainnya, Bayern Munich. Tim asuhan Josep “Pep” Guardiola itu dipulangkan dengan skor gol 2-2 (1-0, 1-2).
Namun menumbangkan kedua raksasa itu belum cukup bagi Atleti. Ada satu wabah lagi. Dia adalah Real Madrid. Itu juga merupakan tim yang menghancurkan impian mereka untuk menang di final Liga Champions terakhir. Mereka masih akan menghadapi Manchester City di Santiago Bernabeu pada Kamis 5 Mei dini hari.
Tentu saja, jika bisa memilih, Simeone pasti lebih memilih bertemu Manchester City. Apalagi, tipe permainan tim asuhan Manuel Pellegrini mengandalkan penguasaan bola seperti Bayern dan Barca.
“Kami mengalahkan dua dari tiga tim terbaik Eropa. “Sekarang kami berada di final dan kami ingin memenangkannya,” katanya.—Rappler.com
BACA JUGA: