
Gugat ‘kelas’ dalam gugatan Ahok
keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Tim penasihat hukum terdakwa kasus dugaan penodaan agama, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama mempertanyakan soal ‘golongan’ yang tercantum dalam tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Menurut mereka, kelompok-kelompok tersebut masih terlalu luas dan tidak memberikan identitas yang jelas.
Anggota tim kuasa hukum Ahok, Sirra Prayuna mengatakan, dalam Pasal 156 KUHP yang digunakan untuk penuntutan, kata golongan merujuk pada sebagian masyarakat Indonesia yang berbeda dengan satu atau beberapa bagian lain karena ras, negara asal. , agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sedangkan apa yang disinggung Ahok dalam pidatonya di Kepulauan Seribu pada akhir tahun 2016 lalu merujuk pada elite politik. Oleh karena itu, kami berpendapat kelompok yang dibicarakan JPU tidak benar, ujarnya usai sidang.
Sebelumnya, jaksa menyebut pasal 156 a KUHP tidak terbukti dalam kasus Ahok. Mereka kemudian menggugat dengan pasal alternatif 156 KUHP, karena menilai ucapan Ahok menyinggung ulama dan umat Islam di Indonesia.
Pasal 156 KUHP menyebutkan, barang siapa di muka umum mengungkapkan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap satu atau lebih kelompok masyarakat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupee.
Di akhir pembelaannya, tim penasihat hukum menilai ‘kelompok’ korban yang disebutkan jaksa masih terlalu luas. “Dalam dakwaan perlu digarisbawahi permasalahannya yaitu tidak jelasnya siapa korbannya, kelompok mana yang merasa dirugikan secara kongkrit, jelas dan terbatas, tidak diuraikan dengan benar, jelas dan kongkrit sehingga tidak tepat sasaran. syarat materil yang dipersyaratkan KUHAP tidak dipenuhi dalam dakwaan.”Saudara JPU,” kata salah satu tim kuasa hukum Teguh Samudera dalam persidangan.
Dalam tuntutannya, jaksa menulis: “Agar orang-orang yang beragama Islam itu berada di kalangan masyarakat Indonesia, antara lain ulama, mubaligh/mubalighah, ustadz/ustadzah, da’i, dan/atau khatib serta orang-orang yang tergabung dalam kelompok yang mempunyai mentransfer isi ajaran Islam dalam Alquran,” selaku pihak yang tersinggung.
Mereka menilai ada lompatan logika dan pemikiran yang tidak ada kaitannya antara respons dan tudingan. Antara elit politik dengan umat Islam atau ulama dianggap tidak ada hubungannya.
Tak hanya itu, kuasa hukumnya juga mengatakan, tidak semua umat Islam merasa ucapan Ahok menyinggung perasaan mereka. Sementara itu, para wartawan dalam laporan polisi menuduh umat Islam di seluruh Indonesia dan bahkan dunia serta para ulama sebagai korban yang tersinggung.
Oleh karena itu, kami menilai tuntutan JPU hanya bersifat hipotesis, tidak berdasarkan fakta persidangan yang ada. Kelompok yang dibicarakan tidak tepat, (tuntutan mereka) tidak lagi berdasarkan tekanan publik, kata Sirra.
Oleh karena itu, mereka meminta hakim berani melepaskan Ahok karena selain dakwaan tidak terbukti, terdakwa tidak ada niat untuk menyinggung siapapun.
Namun, Ketua Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ali Mukartono menilai persoalan golongan tidak perlu dijelaskan. Pasal 156 KUHP sudah jelas bahwa yang dimaksud berdasarkan agama, maka termasuk Islam.
“Tidak perlu lagi kelompok Islam terpecah menjadi dewan taklim dan sebagainya,” ujarnya usai sidang.
Tidak pantas
Dalam pembelaannya, tim kuasa hukum juga mengutip /amicus curiae/ dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang menyebut kasus ini merupakan bentuk kriminalisasi terhadap Ahok. Namun yang dipermasalahkan dalam pembahasan kali ini adalah pasal 156 a. Sedangkan jaksa menggunakan pasal 156 KUHP dalam penuntutannya.
Terkait hal itu, Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa mengapresiasi jaksa yang tidak menggunakan pasal penodaan agama dalam kasus Ahok. Namun penggunaan artikel alternatif tidak benar-benar memperbaiki keadaan.
“Penggunaan pasal 156 tidak menghilangkan keanehan kasus atau kriminalisasi terhadap Ahok. Padahal, hal itu menunjukkan bahwa kasus ini sejak awal tidak layak untuk dibawa ke ranah hukum, ujarnya saat dihubungi Rappler. Konstruksi kasus ini sejak awal adalah penodaan agama, bukan golongan.
Menurutnya, tidak perlu ke pengadilan jika tidak terbukti. Selain itu, mantan Bupati Belitung Timur ini juga meminta maaf.
Selanjutnya pasal 156 KUHP merupakan pasal ujaran kebencian atau /hate ujaran/. Jadi sangat aneh jika artikel ini ditujukan kepada Ahok. Pasal ini hendaknya ditujukan kepada masyarakat yang rasis, mendorong kebencian terhadap SARA, bahkan mendorong kekerasan berbasis SARA.
“Dari pemahaman saya, kelompok minoritas seperti Ahoklah yang sering menjadi korban,” ujarnya.
Usai pembacaan pembelaan, JPU memilih tak memberikan tanggapan karena hanya akan mengulangi apa yang disampaikan dalam persidangan. Oleh karena itu, majelis hakim akan membacakan putusan Ahok bersalah atau tidak pada Selasa, 9 Mei 2017.
—Rappler.com