• September 25, 2024

Guru SD yang ditangkap dan diasingkan ke Pulau Buru

Saat diinterogasi saya dipukuli sampai pingsan, kemudian saya disiram air dingin, lalu dipukuli lagi

Nama saya Kayin Haryoto, saya lahir pada tanggal 20 Oktober 1932.

Seperti kebanyakan orang saat itu, untuk masuk sekolah negeri, tanggal lahir saya tercatat tahun 1935. Saya bersekolah di SR Magelang (sekarang SMP Negeri 2 Magelang), lulus SGA, lalu menjadi guru.

Saya menikah dengan istri pertama saya dan dikaruniai 3 orang anak. Kami tinggal di Wanadadi, Banjarnegara, Jawa Tengah. Saya bekerja sebagai guru kelas E2, beberapa tahun kemudian saya menjadi kepala sekolah SD Wanadadi Banjarnegara.

Saya tidak pernah terlibat dalam organisasi politik mana pun saat itu. Dan seperti kebanyakan orang Indonesia, saya mengagumi sosok Bung Karno dan ideologinya.

Hidup saya berubah pada tanggal 1 November 1965. Tiba-tiba saya ditangkap saat sedang mengajar dan dibawa ke kantor polisi Wanadadi. Saya ditangkap karena dicurigai terlibat gerakan komunis/PKI – yang baru saya ketahui setelah diinterogasi.

Saya ditahan di kantor polisi, hari ke 11 saya diinterogasi, saya dipukuli habis-habisan karena mengaku simpatisan PKI. Saya tegas pada pendirian saya karena saya bukan simpatisan PKI.

Setelah beberapa jam diinterogasi, polisi yang menginterogasi saya melemparkan kertas yang menyatakan bahwa saya sedang mempersiapkan pemberontakan dengan mengumpulkan Pemuda Rakyat dan menerima satu truk penuh senjata. Saya membaca laporan yang dibuat oleh Wedana Desa Wanadadi.

Saya diperiksa mulai pukul 22.00 malam hingga pukul 04.00 pagi. Saat diinterogasi saya dipukuli sampai pingsan, kemudian saya disiram air dingin, lalu dipukuli lagi. Saya beruntung karena saya kembali ke sel nanti. Biasanya narapidana yang dibawa untuk diinterogasi pada malam hari (jam 10 malam) tidak akan kembali (mati) ke selnya.

Saya ditahan di Banjarnegara sekitar 3 bulan. Interogasi tidak menghasilkan apa-apa dan saya tidak dibebaskan. Setelah itu saya dikirim ke Nusakambangan. Saya ditahan di Nusakambangan selama 5 tahun.


Setelah menjalani total 14 tahun penjara, saya dibebaskan karena masa hukuman penjara saya telah berakhir. Selama saya ditahan, saya masih beberapa kali mengirimkan kartu pos kepada keluarga saya selama berada di Nusakambangan dan Pulau Buru.
Kemudian saya dipindahkan ke Pulau Buru, di sebuah tempat bernama Kamp Pengasingan, Savana Jaya Unit 4. Saat itu, Pulau Buru hanya berupa hutan belantara dengan beberapa tiang penanda blok. Hutan belantara itu menjadi rumah saya selama 9 tahun berikutnya.

Tugas kami sebagai tahanan adalah menebang pangkalan dan kemudian membangun barak tempat kami tinggal. Selama di Pulau Buru, saya sudah biasa melihat jenazah sesama narapidana terdampar di pantai setelah beberapa hari sebelum dijemput oleh tentara yang bertugas di sana.

Setelah kamu bebas
Setelah saya bebas, saya kembali ke Banjarnegara dan menyadari bahwa apa yang saya miliki telah hilang. Istriku memulai sebuah keluarga baru dengan orang lain, anak-anakku bersamanya, dan aku dilarang bertemu mereka.

Akhirnya saya kembali ke Magelang. Sekitar tahun 80an saya bertemu dengan seorang janda dengan satu anak, kami memulai sebuah keluarga baru.

Kami kemudian pindah ke Wonosobo, saya memulai hidup baru sebagai peternak ayam. Meski bebas, saya tetap harus melapor ke Koramil setiap dua minggu sekali. Peternakan ayamku berakhir karena tetelo dan aku ditipu oleh sahabatku, sehingga usahaku bangkrut. Kemudian saya pindah ke Magelang, tinggal di rumah warisan orang tua saya di Desa Dompelan, Tegalrejo.

Saya pun terpaksa menjual rumah ini, akibat konflik kepemilikan tanah dengan keponakan saya. Saya mengalah, lalu saya pindah ke daerah lain di Magelang.

Saat itu saya tidak mungkin mencari pekerjaan kemana pun karena saya mantan tahanan politik. Menjadi mantan tapol juga berarti saya selalu kalah dimana-mana, termasuk dalam pengurusan hak waris atas tanah.

Karena segala keterbatasan ini, istri saya adalah tulang punggung keluarga. Saya membantu pekerjaan rumah tangga, dan sedikit demi sedikit membantu mencari uang tambahan dengan membuat dan menjual telur asin.

Pada tahun 2009 saya mengirimkan kronologi detail peristiwa yang saya alami kepada Komnas HAM dan Presiden SBY. Saya sangat berharap pemerintah dapat memberikan keadilan bagi saya dan keluarga. Tapi tidak ada jawaban.

Kini Pengadilan Rakyat Internasional telah merekomendasikan agar negara bertanggung jawab. Saya berharap rekomendasi tersebut dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah agar para korban mendapatkan rehabilitasi dan kompensasi, demi rasa keadilan, kebenaran dan kemanusiaan yang adil dan beradab. —Rappler.com

BACA JUGA:

Pengeluaran Sydney