
Hak DPR untuk meminta keterangan KPK dilayangkan ke alamat yang salah
keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Hak penyidikan DPR yang baru bisa diserahkan kepada presiden, menteri, polisi, Panglima TNI, jaksa, dan lembaga nonkementerian.
YOGYAKARTA, Indonesia – Akademisi dan peneliti antikorupsi di Yogyakarta menilai permintaan hak penyidik DPR kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) salah sasaran. Sesuai aturan, DPR tak berhak mengajukan penyidikan ke lembaga antirasuah, apalagi menuntut agar rekaman Miryam S. Haryani dibuka.
Hak angket tidak bisa diajukan ke Komisi Pemberantasan Korupsi. DPR hanya dapat menyerahkan hak melakukan penyidikan kepada presiden, menteri, polisi, Panglima TNI, jaksa, dan lembaga nonkementerian.
“Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bisa (dikenakan hak penyidikan),” kata peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT), Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Fariz Fachryan dikatakan. pada hari Jumat, 28 April.
Jika DPR terus melanjutkan, kata Fariz, upaya tersebut akan melemahkan kewarasan upaya penegakan hukum lembaga independen tersebut. Selain itu, menurut PUKAT, permintaan catatan investigasi tidak diajukan hanya karena bukan informasi publik.
Berdasarkan Undang-Undang Informasi Publik (PIA), materi yang dimiliki KPK bersifat rahasia.
Rekaman itu merupakan bahan penyidikan yang dapat mengganggu proses penegakan hukum, kata Zaenur Rohman.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga bisa mengajukan sengketa kewenangan ke Mahkamah Konstitusi, jika DPR tetap bandel. Sebab, DPR sejak awal tidak berhak mengajukan hak penyidikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sebelumnya siang tadi, Komisi III DPR resmi mengajukan usulan hak angket dalam rapat paripurna terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka bersikeras diberi akses rekaman kamera saat Miryam S. Haryani diperiksa KPK. (BA: Fahri Hamzah menyetujui secara sepihak usulan hak penyidikan terhadap KPK)
Kepada penyidik KPK, Miryam mengaku mendapat tekanan dari rekan-rekannya di DPR agar tidak “bernyanyi” soal aliran dana proyek pengadaan KTP Elektronik. Dari anggaran sebesar Rp5,9 triliun, negara mengalami kerugian sebesar Rp2,3 triliun.
Saat keterangan tersebut dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (IRP), Miryam tiba-tiba mengubah keterangannya saat bersaksi di persidangan. Ia mengaku sebenarnya mendapat tekanan dari penyidik KPK untuk memberikan keterangan sesuai keinginan mereka. – Rappler.com