• November 26, 2024

Hal ini dilarang, namun pengiriman pekerja migran ke Timur Tengah terus berlanjut

JAKARTA, Indonesia – Fenomena pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Timur Tengah masih terus terjadi. Padahal, sejak tahun 2011, pemerintah telah mengeluarkan moratorium pengiriman pekerja migran ke dua negara di kawasan tersebut.

Larangan ini kembali diulangi pemerintah setelah dua TKI bernama Siti Zainab dan Karni Tarsim dieksekusi pada April 2015. Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri melarang pengiriman pekerja migran ke 21 negara di kawasan Timur Tengah, antara lain Arab Saudi, Aljazair, Irak, Iran, Kuwait, Lebanon, Mesir, Oman, Bahrain, Palestina, Uni Emirat Arab, Yaman, Yordania dan Suriah.

Negara lain yang menjadi tujuan pengiriman TKI ilegal adalah Suriah. Hal itu diungkapkan Diplomat Informasi Sosial Budaya dan Protokol Konsuler KBRI Damaskus, AM Sidqi.

“Sampai saat ini masih sering terlihat pekerja migran ilegal dan korban perdagangan manusia dikirim ke Suriah. Faktanya, Suriah masih mengalami krisis, kata Sidqi kepada Rappler melalui pesan singkat, Selasa, 19 Januari.

Sidqi mengatakan KBRI Damaskus akhirnya memulangkan pekerja migran ilegal ke negara asalnya. Ia mengatakan, sekitar 13 ribu pekerja migran asal Suriah telah dipulangkan ke Indonesia sejak September 2011. Namun, selalu ada pekerja migran yang kembali ke Suriah.

“Berdasarkan data resmi, WNI yang berada di Suriah masih sekitar 1.000 orang. Namun karena belum ada data pasti, kami perkirakan jumlahnya lebih tinggi dari itu, kata Sidqi.

KBRI, kata Sidqi, juga mengirimkan pesan singkat, informasi kontak orang-orang yang bisa dihubungi di masing-masing kota, dan pengacara.

Sindikat perdagangan manusia terorganisir

Lalu di mana mereka bisa masuk ke Suriah? Menurut Sidqi, para pekerja migran ilegal tersebut masuk ke Suriah melalui jalur Jakarta-Batam-Malaysia-Uni Emirat Arab atau Oman-Suriah. Semua ini diatur oleh sindikat perdagangan manusia.

“Mereka datang dengan visa turis atau visa pekerja. Bahkan tidak jarang dokumen TKI sengaja dipalsukan demi mendapatkan izin kerja dan visa, jelas Sidqi.

Mereka tidak dikirim oleh agen, melainkan individu yang bekerja sama dengan sindikat perdagangan manusia. Para pekerja migran ini diberitahu bahwa mereka akan mendapatkan pekerjaan di UEA. Namun, mereka malah dikirim ke Suriah yang tengah dilanda konflik.

Yang lebih memilukan lagi, para pekerja migran yang dikirim ke Suriah seringkali menderita penyakit serius seperti TBC, hepatitis, dan HIV. Pemerintah Suriah yang diminta berhenti memberikan visa kerja mengabaikannya. Hal ini jelas menunjukkan bahwa kebutuhan akan pekerja migran tersebut sangat tinggi.

Padahal, rata-rata pemberi kerja harus membayar US$7.000 – US$9.000 atau setara Rp97 juta-Rp124 juta dengan kontrak tiga tahun. Seringkali pekerja migran kabur dari majikannya sebelum kontraknya berakhir. Kemudian majikan menuntut ganti rugi kepada KBRI karena telah membayar mahal kepada TKI tersebut.

Sidqi mengatakan, pembicaraan tingkat tinggi antara kedua pemerintah sebenarnya sedang berlangsung. Namun, hal ini selalu terhambat oleh masalah keamanan di Suriah.

“Yang mempunyai kewenangan untuk menghentikan pemberian visa kepada pekerja migran adalah kewenangan perdana menteri Suriah dan bukan menteri tenaga kerja,” kata Sidqi.

Duta Besar Indonesia di Damaskus, Djoko Harjanto, bertemu dengan Dirjen Imigrasi Suriah yang baru pada Rabu pekan lalu. Dalam pertemuannya, Djoko meminta mereka berhenti memberikan visa kepada pekerja migran.

Tapi Dirjen Imigrasi menjawab, kalau mau berhenti (memberikan visa), tolong berhenti mengirim TKI dari Indonesia, kata Sidqi menirukan jawaban petinggi itu.

Pemain lama

KBRI Damaskus mengaku sudah mengetahui nama-nama pengirim TKI ke Suriah.

Berdasarkan informasi dari TKI di shelter KBRI Damaskus, calo yang mengirimkan orang masih pemain lama seperti Bungawati di wilayah Jawa Barat, Evi di wilayah NTB, dan Cucu di Bandung. Ketiga calo tersebut menyetor. TKI tersebut direkrut Mario alias Iyad Mansur di Kuala Lumpur agar bisa dikirim ke negara-negara di Timur Tengah,” jelas Sidqi.

Bungawati, kata Sidqi, ditangkap di Jakarta pada Maret 2015. Namun, tidak lama setelah tahun itu, dia kembali menghirup udara bebas. Sebelum menjadi TKI, Bungawati diketahui pernah bekerja sebagai TKI di Yordania pada tahun 1998.

Cara yang dilakukan perempuan asal Ponorogo ini adalah dengan merekrut pekerja migran di daerah tersebut dan kemudian mengirimkannya ke Malaysia. Ada mantan suaminya, Iyad Mansour, yang akan menampungnya dan kemudian mengirimnya ke berbagai negara di Timur Tengah.

Menurut sumber Rappler, Bungawati adalah pemain besar yang mendapat untung besar dari usaha ini.

“Dia sangat halus. “Saat dia ditangkap, sulit menemukan bukti konkrit yang secara langsung menghubungkan dia dengan kejahatan perdagangan manusia,” kata sumber tersebut.

Belum lagi, tim TPPO kepolisian jumlahnya sangat sedikit. Menurut sumber tersebut, staf Mabes Polri yang menangani permasalahan tersebut hanya berjumlah sembilan orang.

Hal ini diperparah dengan pengetahuan hakim yang terkadang kurang mengenai TPPO sehingga dapat meringankan hukuman bagi pelaku, kata sumber tersebut.

Lalu apa upaya pemerintah untuk mencegah pekerja migran dipulangkan ke Timur Tengah?

Menurut Sekretaris Jenderal Badan Nasional Penempatan dan Penanganan TKI (BNP2TKI), Hermono mengatakan lembaganya tidak mempunyai kewenangan untuk menegakkan hukum.

“Polisi dan otoritas imigrasi harus bertindak. Khusus bagi imigrasi, mereka bisa lebih teliti dalam memeriksa dokumen, apakah memang ingin melakukan perjalanan. “Di sinilah mereka melakukan tindakan pencegahan,” kata Hermono melalui telepon, Kamis malam, 21 Januari.

Sementara itu, BNP2TKI bisa melakukan pencegahan dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar tidak tergiur dengan janji manis oknum yang menawarkan pekerjaan bergaji tinggi.

Atau bisa juga berkoordinasi dengan pihak kepolisian setelah mendapat informasi dari KBRI mengenai adanya agen pengirim TKI yang bermasalah, imbuh Hermono. – Rappler.com

BACA JUGA:

Data Sidney