• November 27, 2024
Hal inilah yang menyebabkan hakim menolak permintaan suntikan mematikan korban tsunami

Hal inilah yang menyebabkan hakim menolak permintaan suntikan mematikan korban tsunami

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Suntikan mematikan belum dikenal di Indonesia dan bertentangan dengan ketentuan KUHP.

BANDA ACEH, Indonesia – Pengadilan Negeri Banda Aceh menggelar sidang terakhir pada Jumat 19 Mei 2017 atas perkara permohonan suntik mati (eutanasia) yang diajukan Berlin Silalahi (46 tahun).

Sidang yang dipimpin hakim tunggal Ngatemin, SH, MH ini dimulai pukul 11.00 WIB tanpa kehadiran Berlin yang diwakili kuasa hukumnya dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Mila Kesuma, SH dan Yusi Muharnina, SH.

Sidang pembacaan putusan merupakan kali ketiga perkara ini digelar. Sidang perdana dilaksanakan pada 15 Mei 2017 untuk mendengarkan keterangan saksi dan sidang kedua pada 18 Mei 2017 untuk melihat rekam medis mengenai kondisi Berlin Silalahi.

Dalam putusan setebal 24 halaman itu, hakim menyebut Berlin telah mengajukan permohonan euthanasia atau suntikan mematikan karena kondisinya yang tidak berdaya pada 3 Mei 2017 melalui kuasa hukumnya.

Jika ditelaah faktanya, Berlin merupakan korban tsunami yang berpindah barak. Ia kemudian mengalami kelumpuhan pada tahun 2013 dan menjalani pengobatan di rumah sakit dan tradisional. “Sejak tahun 2013, dia sama sekali sudah tidak bisa bekerja lagi,” kata hakim.

Berlin semakin putus asa sejak diusir dari barak pengungsi oleh pemerintah Aceh Barat dan hingga kini tidak mempunyai tempat tinggal. Saat ini beliau tinggal sementara di kantor YARA. Permintaan euthanasia tersebut disebabkan karena ketidakberdayaan atas kondisi yang dialaminya.

Hakim Ngatemin kemudian membacakan puluhan poin pertimbangan terkait perkara yang dimohonkan Berlin. Salah satunya, euthanasia atau suntik mati belum dikenal di Indonesia dan bertentangan dengan ketentuan KUHP.

Euthanasia juga dikatakan melanggar hak asasi manusia mengenai hak untuk hidup dan yang lebih penting lagi haram dalam Islam, sesuai dengan Al-Qur’an dan pendapat para ulama. “Agama Islam sesuai dengan agama pemohon,” kata hakim.

Pemohon diharapkan terus mencari solusi atas kondisinya, dan harus mendapat perhatian dari pemerintah. Selain itu, saat ini terdapat program Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA) yang menjamin setiap warga negara mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. “Berpihak, tapi kita masih bisa mencoba cara untuk menyembuhkan,” kata hakim.

Oleh karena itu, hakim kemudian memutuskan dua hal dalam putusannya. “Pertama menolak permohonan pemohon dan kedua pemohon dikenakan biaya perkara sebesar Rp. 179.000 dibayar,” kata hakim sambil mengetuk palu.

Sementara itu, kuasa hukum pemohon, Mila Kesuma mengatakan Berlin tidak bisa dihadirkan ke ruang sidang karena tidak bisa bergerak.

Atas putusan hakim, kata Mila, pihaknya untuk sementara menerima putusan yang dikeluarkan hakim. Selanjutnya keputusan tersebut akan disampaikan kepada Ketua YARA Safaruddin yang saat ini sedang berada di luar daerah. “Langkah selanjutnya akan kita transfer nanti, sambil menunggu ketuanya,” ujarnya.

YARA pun mengkomunikasikan keputusan hakim tersebut kepada Berlin dan pihak keluarga. “Selanjutnya kami akan mengambil langkah terbaik,” kata Mila. —Rappler.com

Pengeluaran SDY