Hari Ayah Nasional: Kenangan Bersama Ayah
- keren989
- 0
Waktu sudah menunjukkan pukul 17.15 WIB, seorang siswi SMA salah satu kota Bandung masih berdiri di depan gerbang sekolah. Waktu pemberhentian pelajaran adalah 15 menit yang lalu. Sekolah mulai sepi, meski masih ada beberapa siswa di kantin. Dia melihat ke depan dan ke belakang dari kanan ke kiri, mencari sesuatu, menunggu seseorang. Ketika dia menyerah, dia akhirnya pergi.
*
“Ri, pertama-tama ya?” ucap seorang laki-laki berkumis cukup tebal kepada orang terakhir di ladang. “Ya, Tuan. Hati-hati.” Pria itu menjawab, dengan sedikit kegelisahan di hatinya dan tentu saja di wajahnya. Dia melihat jam di tangannya, hari sudah hampir malam. Langit gelap karena mendung sejak pukul 15.00. Tapi, kini kegelapan itu adalah kegelapan malam. Dia masih di sana, dia sedang menunggu sesuatu, menunggu seseorang. Yang kami tunggu akhirnya tiba 30 menit kemudian.
*
Sepulang dari praktek kerja lapangan, ia bergegas keluar dari bengkel tempatnya magang. Tidak banyak percakapan seperti biasanya dengan seniornya. Pukul 17.00 bel rumah berbunyi, ia segera mencuci tangan, berganti pakaian dan langsung menuju tempat parkir sepeda motornya. Ritual pulang cepat ini telah ia lakukan selama sebulan terakhir. Itu mengejar sesuatu, mengejar seseorang untuk ditemukan.
*
Ketiga peristiwa di atas hanyalah sebagian dari peristiwa yang dialami bocah bernama Fakhri bersama ayahnya sebelum meninggal.
Jika ditanya siapakah orang yang lebih sering bercerita, ibumu atau ayahmu, maka pilihan pertama adalah jawabannya. Sebagai laki-laki, aku sebenarnya lebih nyaman mencurahkan semua keluh kesahku pada ibuku. Ayah bukanlah orang yang asyik diajak bicara, mungkin itu sebabnya. Selama aku bercerita kepada ayahku, jarang sekali bapak memberikan masukan atau jawaban atas ceritaku. Dia lebih cenderung menjadi pendengar yang baik. Hal itulah yang kemudian diwariskan kepada saya sebagai anaknya.
Anda bukanlah seseorang yang dapat Anda andalkan untuk dipercaya, tetapi Anda adalah orang yang tepat jika ingin mempelajari seperti apa tanggung jawab dan pengertian. Ayah adalah orang yang sangat menepati janjinya dan menepatinya semaksimal mungkin.
Sepenggal cerita di awal paragraf menjadi bukti sahih bahwa Ayah berjanji akan selalu menjemputku dari sekolah setiap hari Sabtu. Saat itu aku lelah menunggu, kupikir Ayah tidak akan menjemputku. Kamu juga belum pernah begitu bersemangat sebelumnya. Jadi, aku memutuskan untuk pulang sendiri.
Sesampainya di rumah, aku langsung mengetahui kalau Ayah sebenarnya sudah menjemputku. Ayah marah, “Kalau kamu berjanji datang menjemputku, tunggu saja, dia pasti datang.”
Itulah yang dia katakan ketika Ayah akhirnya sampai di rumah. Kejadian ini tidak terjadi satu dua kali, melainkan berulang kali. Tapi, Ayah tidak pernah benar-benar marah. Sesering apapun kamu dikecewakan dan diberi harapan palsu, kamu tak pernah bosan datang menjemputku kembali.
Peristiwa yang paling berkesan bagi Anda adalah saat Anda menemaninya ke rumah sakit. Saat itu bulan Ramadhan dan saya sedang melakukan latihan kerja lapangan. Pagi harinya ibu atau kakak perempuanlah yang menjaga ayah. Siang sampai besok pagi adalah kuota saya.
Ayah saya terkena stroke sejak awal ramadhan, hampir sebulan di rumah sakit kami tidak bisa banyak bicara. Satu-satunya hal yang saya ingat adalah ketika saya berangkat ke PKL, ayah saya menatap saya, mulutnya bergerak dan ingin mengatakan sesuatu. Setelah berkali-kali mencoba, saya akhirnya mengerti apa yang Anda maksud.
Ayah berkata, “Mau kemana?” Seingatku, itulah kalimat pertama yang ayahku ucapkan kepadaku saat dia berada di rumah sakit.
Ketika saya mendengar kabar ayah saya diperbolehkan pulang, saya sangat senang. Melihat Anda di rumah, rasa optimisme Anda terhadap kesembuhan Anda jauh lebih besar saat Anda berada di rumah sakit. Ada aura segar di wajah Anda yang tidak pernah Anda dapatkan saat berada di rumah sakit.
Di rumah, Ayah semakin semangat, semangatnya semakin menonjol karena kini semua anaknya bisa memberikan semangat secara langsung. Suatu ketika ketika Ramadhan telah usai, ibuku bertanya kepada ayahku apa yang dia inginkan. Ayah kemudian menjawab: “Saya ingin segera sembuh, agar kita bisa salat Idul Fitri bersama lagi.”
Sontak kejadian ini membuat kami menitikkan air mata.
Tapi, Tuhan punya skenario lain. Perkembangan ayah kami yang kami pikir sudah dekat dengan kesembuhan, ternyata menjadi cara lain untuk bertemu dengan Tuhan. Tuhan sepertinya kasihan padamu jika kamu terus menahan rasa sakit yang kamu derita. Hari itu, 28 Agustus 2012, pukul 21.00, hembusan napas terakhirmu menghangatkan ruangan yang dingin itu.
Ibu, ibu, dan adikku yang sejak pukul 20.00 membaca ayat-ayat Al-Quran, serta adik-adikku yang mengelilingi tempat tidur ayahku tak kuasa berhenti menangis. Air mata yang kita tahu akan selalu bermuara pada satu alasan.
Ayah adalah sosok yang lebih suka memberi contoh melalui tindakan dibandingkan kata-kata. Ayah saya rajin datang ke masjid untuk mengaji. Kecil kemungkinannya Anda terpaksa absen karena alasan yang tidak bisa diabaikan. Kalau soal shalat, tak perlu bertanya bagaimana cara mengurusnya. Hal ini sepertinya juga yang kami warisi sebagai anak-anaknya, tanpa pernah disuruh oleh ibu kami untuk sholat atau pergi ke mesjid untuk mengaji, saya dan kakak saya berinisiatif untuk ikut meneladani apa yang dilakukan ayah kami. lakukan ketika dia masih hidup. .
Ayah harus memiliki kedamaian di alam lain, menyaksikan anak-anaknya tumbuh dari tempat paling damai di sisinya.
Selamat Hari Ayah, Pak! Semoga doa yang kami panjatkan selalu sampai padamu kepadamu —Rappler.com
Kenangan bersama Ayah merupakan pemenang lomba menulis dalam rangka Hari Anak Nasional yang diadakan oleh Rappler.