• September 24, 2024

Hasil IPT 1965 dan Catatan untuk Jokowi

THE DEN HAAG, Belanda—Saat Anda menyentuh huruf-hurufnya brailleKetua Majelis Hakim Pengadilan Rakyat Internasional Zak Yacoob lantang mengumumkan keputusannya.

Sesuai dakwaan jaksa, sembilan pelanggaran HAM berat dinyatakan terjadi pasca peristiwa 1965. Indonesia bertanggung jawab, seperti halnya negara-negara lain yang terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pengadilan Rakyat Internasional menyimpulkan bahwa kejahatan berat terhadap kemanusiaan telah terjadi di Indonesia pada tahun 1965 dan melanggar hukum internasional. Pada saat itu, Indonesia mendorong pelanggaran hak asasi manusia ini melalui militernya, dengan rantai komando militer yang terorganisir dengan rapi dari atas hingga bawah.

“Terjadi pembunuhan massal, pemenjaraan orang tanpa pengadilan, perlakuan tidak manusiawi terhadap tahanan, penyiksaan dan kerja paksa yang menyerupai perbudakan. “Banyak terjadi kekerasan seksual yang sistematis dan rutin terhadap perempuan ketika para tahanan ditangkap dan diasingkan,” jelas Yakoob, Jumat 13 November di ruang sidang, Den Haag.

Hakim juga menilai rezim Orde Baru (Orba) mempunyai niat politik untuk menyingkirkan Partai Komunis Indonesia (PKI), anggota dan simpatisannya, loyalis Soekarno, serikat buruh, dan guru. Juga berupaya menghilangkan atau membatasi pihak-pihak yang menentang rezim Orde Baru.

Lebih lanjut, hakim mengamini propaganda Orde Baru dilakukan dengan sengaja untuk mendorong masyarakat melakukan dehumanisasi dan pembunuhan terhadap anggota PKI.

Misalnya propaganda agar Gerwani memotong penis beberapa jenderal di Lubang Buaya. Padahal dari hasil otopsi menyatakan hal tersebut tidak benar dan sudah lama diketahui pemerintah Indonesia, kata Yacoob.

Propaganda ini juga menyadarkan Indonesia akan sejarahnya yang dikuasai rezim diktator.

Keterlibatan negara lain

Resolusi tersebut juga menyatakan bahwa sejumlah negara lain telah membantu Orde Baru pada tahun 1965 dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam konteks Perang Dingin saat itu, Indonesia dikhawatirkan akan menjadi kekuatan komunis baru. Setidaknya tiga negara, Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Australia terlibat dalam operasi Orde Baru menumpas PKI.

Ketiganya memberikan bantuan terselubung kepada rezim Orde Baru berupa dana, teknologi komunikasi, senjata dan lain-lain. Bantuan ini penting karena kondisi perekonomian Indonesia saat itu sangat serius. Sebagai imbalan atas bantuan tersebut, Indonesia akan membayarnya nanti.

Menurut sejarawan Amerika Bradley Simpson, AS baru terlibat setelah para jenderalnya ditembak.

“Presiden Lyndon Johnson mengakui peluang untuk menghancurkan PKI. “Awalnya Kedutaan Besar AS di Jakarta menghubungi AH Nasution, hingga bersedia memberikan bantuan,” ujarnya.

Di sisi lain, Inggris memiliki kepentingan ekonomi. Perusahaan minyaknya di Indonesia akan terancam jika PKI menguat.

Tidak mengherankan, suatu hari di tahun 1965, “sebuah kapal Inggris muncul di laut menuju Sumatra bersama Sarwo Edhi dan pasukannya,” kata Bradley.

Ia berharap keputusan IPT tahun 1965 tentang keterlibatan negara lain dapat membuka mata dunia internasional. Secara khusus, negara-negara terkait dapat membantu dengan mengeluarkan dokumen rahasia terkait tahun 1965.

Kritik terhadap Jokowi

Seluruh keputusan yang dibacakan oleh Yacoob masih merupakan keputusan sementara. Majelis hakim masih membutuhkan waktu beberapa bulan untuk mengeluarkan keputusan akhir dengan argumentasi yang dapat menjelaskan.

Namun dalam keputusan awal ini terdapat beberapa catatan dan rekomendasi bagi pemerintah Indonesia. Catatannya berkisar dari lambatnya proses hukum dan rekonsiliasi hingga penolakan pemerintah terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang serius.

Hakim juga merekomendasikan agar pemerintahan Jokowi segera mengikuti rekomendasi Komnas HAM.

Jemaah menilai Presiden Jokowi (Joko Widodo) melakukan hal tersebut karena semangat memenuhi janji kampanyenya, kata Yacoob.

Untuk itu, arsip rahasia harus dibuka dan hasil investigasi kejahatan terhadap kemanusiaan harus dipublikasikan.

Selain itu, sudah saatnya pemerintah mengakui tragedi yang terjadi, meminta maaf atas kerugian yang ditimbulkan, dan menyelidiki pelaku yang masih hidup.

Setelah hakim membacakan putusannya, sidang ditutup. Ruangan itu langsung berisik.

Ketua IPT 1965 Nursyahbani Kartjasungkana menyampaikan terima kasih khususnya kepada para korban. “Semoga mereka sekarang beristirahat dalam damai,” katanya.

Antropolog Saskia Wieringa dan saksi ahli utama dalam kasus IPT tahun 1965 melihat hasil ini sebagai upaya pertama untuk memecah kesunyian.

“Masih banyak yang perlu dilakukan sebelum penyelidikan dapat dimulai. “Kita belum selesai, tapi baru mulai,” ujarnya.

Senada, Jaksa IPT 1965 Todung Mulya Lubis menyebut hasil IPT 1965 merupakan tonggak baru dalam upaya pencarian kebenaran.

“Kalaupun tidak ada pengikatan hukum, itu menjadi dasar untuk mencari solusi dan rekonsiliasi. Apalagi karena hasil ini sesuai dengan rekomendasi Komnas HAM, ujarnya.

Dalam hal ini, ia menyayangkan aparat pemerintah yang kurang memahami IPT. “Pemerintah Belanda tidak terlibat dalam IPT. Saya juga setuju untuk mengadakan IPT di Indonesia, namun nyatanya pemutaran film Joshua Oppenheimer diblokir, kata Todung.

Sementara itu, salah satu saksi yang juga Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan, Bejo Untung mengaku senang. “Saya berbahagia atas nama para korban 1965. Semua korban menginginkannya karena kita tidak bisa bergantung pada pengadilan dalam negeri,” ujarnya.

Ia berharap Jokowi setidaknya bisa menyampaikan penyesalannya kepada negara, lalu melakukan rehabilitasi dan rekonsiliasi. Ia pun tak lupa menitipkan pesan langsung kepada Jokowi:

“Kepada Presiden Jokowi, jika ingin menepati janji, ini kesempatan yang baik. “Jangan takut pada jenderal karena hasil IPT merupakan keputusan internasional.” —Rappler.com

BACA JUGA:

SDy Hari Ini