• November 24, 2024
Hasil putusan sela Ahok: Hakim menolak surat keberatan

Hasil putusan sela Ahok: Hakim menolak surat keberatan

JAKARTA, Indonesia (UPDATED) – Sidang kasus penodaan agama yang diduga dilakukan Gubernur nonaktif Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama kembali dilanjutkan pada Selasa, 27 Desember di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sidang yang mengagendakan putusan sela Majelis Hakim ini berujung pada keputusan yang mengecewakan bagi Ahok dan tim kuasa hukumnya.

Majelis hakim yang beranggotakan 5 orang tersebut menolak nota keberatan yang diajukan Ahok dan tim kuasa hukumnya pada sidang perdana 13 Desember lalu.

“Pengadilan memutuskan 1.) mengajukan keberatan terhadap terdakwa Ir. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan penasihat hukumnya tidak dapat diterima, 2.) menyatakan sah menurut hukum surat dakwaan JPU tertanggal 1 Des 2016 sebagai dasar penyidikan terhadap terdakwa, 3.) perintah untuk melanjutkan penyidikan terhadap terdakwa. perkara atas nama terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagaimana tertulis di atas, dan 4.) penundaan biaya perkara sampai dengan putusan akhir,” kata Dwiarso Budi Santiarto selaku ketua Majelis Hakim dalam sidang putusan sela yang digelar hari ini.

Oleh karena itu, persidangan akan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi.

Sebelumnya pada sidang pertama, 13 Desember, Ahok menyampaikan surat keberatan yang menyatakan tidak ada niat menodai agama dalam pidatonya di Kepulauan Seribu, akhir September lalu.

(BACA: LIVE BLOG: Sidang Dugaan Penodaan Agama Ahok)

Lebih lanjut, jaksa penuntut umum (JPU) menanggapi nota keberatan pada sidang kedua, 20 Desember, dengan meminta hakim menolak keberatan yang diajukan Ahok dan pengacaranya. Jaksa Penuntut Umum juga meminta hakim menyatakan dakwaan yang dibuatnya sah menurut hukum dan menetapkan penyidikan terhadap terdakwa Ahok tetap dilanjutkan.

Lantas apa pertimbangan Majelis Hakim menolak nota keberatan Ahok? Dwiarso menjelaskan, keberatan yang diajukan Ahok dan tim kuasa hukumnya bersifat formal.

“Dalam keberatannya, penasihat hukum tidak mempersoalkan apakah dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti atau tidak. “Baru bisa diketahui setelah seluruh bukti diperiksa,” ujarnya.

Keberatan lain yang dijelaskan Majelis Hakim adalah tudingan proses persidangan terhadap Ahok dilakukan di bawah tekanan masyarakat. Kejanggalan kasus Ahok dinilai tim kuasa hukumnya dimulai dari penetapan status tersangka secara cepat sehingga diduga ada potensi pelanggaran HAM.

“Pengadilan berpendapat bahwa pemeriksaan suatu perkara tidak didasarkan pada tekanan masyarakat, melainkan berdasarkan penyerahan berkas perkara dari jaksa penuntut umum yang meminta untuk didengar dan diadili,” ujarnya lagi.

Akibatnya, Majelis Hakim memutuskan nota keberatan Ahok dan pengacaranya tidak dapat diterima. Oleh karena itu pengadilan memerintahkan sidang lanjutan digelar pada tanggal 3 Januari 2017 di Gedung Kementerian Pertanian di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Sidang akan beragendakan pemeriksaan saksi.

Di akhir sidang yang berlangsung sekitar 1 jam, Ahok dan penasihat hukumnya diberi kesempatan untuk mengajukan upaya hukum jika berbeda pendapat dengan majelis. Namun mantan Bupati Belitung Timur itu meminta waktu mengambil keputusan.

“Yang Mulia Hakim, kami akan mempertimbangkannya,” kata Ahok menanggapi putusan hakim di ruang sidang Kusuemah Atmadja.

Oleh karena itu, persidangan ditutup dan dibuka kembali berdasarkan putusan Mahkamah Agung berdasarkan permintaan jaksa dan polisi.

Korban isu SARA

Tim kuasa hukum Ahok yang menamakan diri Advokasi Bhinneka Tunggal Ika mengaku kecewa dengan putusan sela majelis hakim karena dianggap tidak memperhatikan prinsip keadilan dan penegakan hukum. Mereka menegaskan akan tetap tinggal berdasarkan surat keberatan yang diajukan pada sidang awal.

Dasar hukum yang digunakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan menggunakan pendapat dan sikap keagamaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak tepat dijadikan acuan dan landasan karena pernyataan dan sikap MUI tersebut bukan merupakan sumber hukum positif. . “Selain itu juga tidak mempunyai kekuatan mengikat,” tulis tim kuasa hukum dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 27 Desember.

Jaksa menilai tim kuasa hukum tidak mengungkapkan secara gamblang maksud atau makna perkataan Ahok dan dianggap mencemarkan agama Islam serta menghina ulama.

Faktanya Basuki Tjahaja Purnama sebenarnya menjadi korban isu SARA yang sengaja disebarkan oleh oknum tertentu, tegas mereka.

Meski demikian, menurut salah satu tim kuasa hukum, Sirra Prayuna menilai penolakan pengecualian tersebut merupakan langkah yang wajar meski dinilai mengecewakan. Majelis hakim, kata Sirra, berwenang menentukan apakah nota keberatan tersebut sesuai dengan pokok perkara atau tidak.

Namun hal itu belum tentu menentukan keputusan akhir yang diambil majelis hakim. Sidang hanya membahas hal formil yakni dakwaan jaksa dinilai memenuhi syarat. Sementara untuk urusan materiil, perlu pembuktian lebih lanjut di persidangan, ujarnya.

Ia mengatakan, dalam sidang lanjutan kemungkinan pihaknya akan menghadirkan 5-7 orang saksi. Namun, dia tidak akan hadir di pengadilan minggu depan.

“Kami menunggu giliran setelah jaksa menghadirkan saksinya,” ujarnya.

Lantas bagaimana reaksi Ahok terhadap keputusan sela majelis hakim tersebut? Sirra mengatakan mantan politikus Partai Gerindra itu bisa menerima keputusan majelis hakim hari ini.

“Dia TIDAK Ada masalah. Toh itu masih syarat formal, pasti dia bisa memahaminya, ujarnya.

Terancam hukuman empat tahun penjara

Sama seperti dua sidang sebelumnya, pada sidang ketiga yang digelar hari ini, organisasi keagamaan ikut “mengawasi” persidangan. Mereka bahkan sudah berkumpul di depan gedung eks PN Jakpus sejak pukul 06.00 WIB.

Saat persidangan dimulai pukul 09.00, massa terus berorasi dan menuntut Ahok segera dijebloskan ke penjara. Ahok didakwa melakukan penodaan agama atas ucapannya di Kepulauan Seribu. Saat itu ia mengutip Surat Al Maidah ayat 51 dalam rangka memilih pemimpin.

Oleh karena itu, JPU menilai Ahok melakukan penodaan agama dan penghinaan terhadap ulama dan umat Islam. Ahok kini dijerat pasal 156 dan 156a KUHP.

Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum mengungkapkan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap satu atau lebih kelompok masyarakat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Sedangkan menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara paling lama lima tahun dijatuhkan kepada siapa saja yang dengan sengaja mengungkapkan perasaannya di muka umum atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bermusuhan, kasar, atau memfitnah suatu agama yang dianut di Indonesia.—Rappler.com

lagutogel