HTI dibubarkan karena sering terjadi gejolak pada sistem khilafah
- keren989
- 0
Doktrin “khilafah” diwujudkan melalui berdirinya negara Islam. Hal ini dianggap bertentangan dengan sistem Pancasila.
JAKARTA, Indonesia – Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) mengambil keputusan tegas untuk membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pemerintah menilai ormas ini melanggar UUD 1945 dan Pancasila.
Prinsip (HTI) bertentangan dengan sila Pancasila dan UUD 1945, termasuk mendorong sistem khilafah, kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian, di RS Polri, Kramatjati, Jakarta Timur, Senin, 8 Mei.
HTI diketahui menyebarkan doktrin “khilafah” dengan membentuk negara Islam. Hal ini dinilai bertentangan dengan sistem yang berlaku di Indonesia, karena negara ini berdasarkan Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Tito menjelaskan, posisi Polri adalah memberikan sejumlah tanggal dan fakta mengenai kegiatan HTI yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Fakta-fakta tersebut nantinya akan diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk dibawa ke pengadilan.
“Polri akan memberikan masukan, setelah itu akan dilakukan tindakan hukum oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di Kejaksaan. “Kejaksaanlah yang akan mengajukan gugatan ke pengadilan,” kata Tito.
Mantan Kapolda Metro Jaya ini mengatakan, langkah tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Pasal 70. Namun dalam undang-undang tersebut juga disebutkan bahwa jika ingin membubarkan ormas, harus disertai bukti bahwa pemerintah menjatuhkan sanksi administratif kepada ormas yang bersangkutan. Belum diketahui apakah HTI pernah dikenakan sanksi tersebut.
Meski akan membubarkan ormas yang mengusung ajaran Islam, pemerintah membantah bahwa mereka merupakan ormas anti Islam. Menko Polhukam Wiranto membantah tindakan tersebut merupakan tindakan opresif.
Keputusan ini kami ambil karena untuk menjaga keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, ujarnya lagi.
Dilema demokrasi
Sementara itu, Peneliti Hukum Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Anas Saidi mengatakan keputusan yang diambil pemerintah merupakan dilema dalam sistem negara demokrasi di Indonesia. Di satu sisi, HTI menikmati kebebasan berekspresi dan berpendapat yang diterapkan sejak tahun 1998. Tentu saja, mereka tidak bisa merasakan keistimewaan serupa jika berada di Singapura atau Arab Saudi.
Namun di sisi lain, doktrin yang mereka sebarkan terang-terangan menolak demokrasi, nasionalisme, dan Pancasila.
“Saya sangat sering mendengar pengajaran ini di kampus saya sebelumnya. “Itu bukan hal baru lagi, karena di buku resminya juga disebutkan demikian,” kata Anas yang dihubungi Rappler melalui telepon, Senin 8 Mei.
Ia yakin pemerintah prihatin dengan meluasnya pemahaman tersebut di kalangan anak muda di Indonesia. Mereka berkaca pada video penyebaran dakwah yang terjadi di kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) yang beredar baru-baru ini. Dalam kegiatan pada tanggal 25-27 Maret 2016, peserta simposium nasional Lembaga Dakwah Kampus melakukan deklarasi negara Khilafah Islam Indonesia.
“Jika dakwah ini memprovokasi pelajar, dampaknya bisa jauh lebih berbahaya, padahal HTI sampai saat ini tidak pernah melakukan tindakan kekerasan. Namun potensi kekerasan berbasis agama lebih besar terjadi melalui HTI, ujarnya.
Lalu bagaimana dengan ormas Front Pembela Islam (FPI)? Menurut Anas, FPI sebagai ormas lebih banyak melakukan tindakan kekerasan. Namun ideologi yang diwakili tetap mengklaim Islam Sunni yang menurut syariat sesuai Pancasila dan NKRI.
Jadi, tidak seterbuka HTI, ujarnya lagi.
Menurut Anas, jika HTI tidak menyebut kalimat-kalimat dalam dakwahnya, seperti demokrasi haram, Pancasila sama setan, maka pemerintah cenderung lebih lunak. Sementara mereka kini sadar basisnya semakin kuat sehingga berani menyampaikan ideologi tersebut secara terbuka.
Dulu mereka menyebarkannya melalui berbagai dakwah di kampus-kampus, kata Anas.
Namun pada dasarnya sebagai warga negara Indonesia, menurutnya masyarakat harus mematuhi sistem yang diterapkan di negara yang bersangkutan. Jika mereka tidak setuju dengan sistem yang diterapkan di negaranya, mereka bisa pindah ke negara lain.
“Jika Anda menginginkan sistem yang lebih liberal, Anda mungkin mempertimbangkan untuk pindah ke Inggris. Jika Anda tertarik untuk hidup berdasarkan Syariat Islam, Arab Saudi mungkin bisa menjadi pilihan. Intinya, sesederhana itu,” ujarnya.
Namun, pekerjaan rumah lain yang harus dihadapi pemerintah jika serius menindaklanjuti pembubaran HTI adalah bagaimana mengubah pola pikir masyarakat yang sudah meyakininya. Karena tidak menutup kemungkinan setelah pembubaran ideologi tersebut akan banyak disebarkan oleh gerakan bawah tanah.
“HTI bisa muncul kembali dengan nama lain. Pembubarannya hanya status administratif. Ideologinya sendiri sulit untuk dibubarkan,” ujarnya. – dengan pelaporan oleh Santi Dewi/Rappler.com