
Hukuman fisik pada anak, perlukah?
keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Guru tidaklah sempurna, ada faktor yang menyebabkan sulitnya menghindari metode pengajaran yang menggunakan hukuman fisik.
JAKARTA, Indonesia—Masyarakat baru-baru ini dihebohkan dengan kabar seorang guru SMA dilaporkan ke polisi karena mencubit salah satu siswanya hingga meninggalkan bekas.
Meski kasus tersebut telah diselesaikan secara kekeluargaan, namun kejadian tersebut masih menyisakan pro dan kontra di masyarakat. Beberapa orang tua berpendapat bahwa kekerasan fisik sama sekali tidak diperbolehkan dalam pendidikan anak. Ada pula yang berpendapat bahwa hukuman fisik yang pantas dapat memberikan dampak positif.
Menanggapi kasus guru mencubit siswanya di Sidorajo, Jawa Timur, Oci Muchtar, kepala TK swasta di Jakarta, mengatakan kekerasan fisik, termasuk mencubit, bukanlah metode pendidikan yang tidak disukainya.
“Menurut saya, mencubit termasuk kekerasan fisik. Menurut saya, tidak perlu menggunakan hukuman fisik jika masih bisa bicara. “Memang butuh waktu lama, tapi pertama-tama anak harus paham kenapa dia perlu berubah,” kata Oci kepada Rappler, Senin, 4 Juli.
Saat masih bersekolah, Oci juga pernah mendapat hukuman fisik dari gurunya, namun ia merasa hal itu tidak ada manfaatnya hingga saat ini.
“Aku juga pernah melakukannya sebelumnya pengalaman tangannya dipukul jika tandanya jelek. Saat itu di sekolah menengah, sekitar tahun ’82. “Dan menurut saya, itu kurang memberikan kesan yang baik kepada guru, saya tidak suka dengan gurunya, dan saya tidak suka dengan pelajarannya,” kata lulusan SMP Negeri 78 Jakarta Pusat itu.
Menurut Oci yang sudah hampir 15 tahun menjadi guru dan kepala sekolah, seorang guru harus bisa meninggalkan permasalahan pribadinya saat memasuki kelas agar tidak terbawa emosi berlebihan saat berinteraksi dengan siswanya. Tingkat kesejahteraan guru juga menjadi salah satu faktor yang dapat membuat guru emosional.
“Penyebabnya para guru seperti itu bisa beberapa. Ada faktor tidak terpenuhinya kebutuhannya, masalah pribadi, dan lain sebagainya. “Jadi idealnya ketika mengajar anak, ia meninggalkan masalah pribadinya,” kata Oci yang juga ibu lima anak ini.
Meski demikian, Oci tidak memungkiri bahwa seorang guru bukanlah sosok yang sempurna sehingga tidak semua orang memiliki tingkat kesabaran yang tinggi. Apalagi jika dibarengi dengan sarana dan prasarana pengajaran yang kurang memadai.
“Waktu anak saya kelas 1 SD, muridnya ada 53 orang. Dari luar jendela, urat leher guru terlihat saat dia menjelaskan. Tapi apa lagi yang bisa kamu lakukan?” dia berkata.
Oleh karena itu, menurut Oci, jumlah siswa dalam satu kelas sebaiknya dibatasi jika ingin menerima pembelajaran dengan metode persuasif tanpa hukuman yang melibatkan kekerasan fisik.
“Jumlah siswanya juga harus dibatasi, atau satu kelas harus ada guru pendamping. Anda tidak bisa berbuat banyak, bagaimana cara belajarnya? Bagaimana bisa seorang guru mengajar 50 anak dalam satu ruangan? “Apalagi kalau misalnya ada 10 anak nakal, pasti stres!” ujar Oci.
Lantas apa yang akan dilakukan Oci jika anaknya dicubit guru seperti yang terjadi di Sidoarjo?
“Saya pastinya marah. Tapi sepanjang bisa diselesaikan secara internal, tidak perlu mendatangkan pihak luar, ujarnya. —Rappler.com