Ikrar persatuan dalam keberagaman: 88 tahun kemudian
keren989
- 0
Pada tanggal 28 Oktober 1928, Sumpah Pemuda diproklamirkan dengan lantang dan bangga, disepakati oleh kelompok pemuda seluruh Indonesia: Pemuda Kaoem Betawi/Pemuda Betawi, Perkumpulan Pelajar Indonesia/Perkumpulan Ilmu Pengetahuan Indonesia, Sumatera Muda, Jawa Muda, Ambon Muda, Pemoeda Indonesia, Pemuda Islam, Pemuda Bataksbond, dan Pemuda Celebes.
Yang mendasari Ikrar tersebut adalah adanya pemahaman yang jelas bahwa meskipun mereka mempunyai perbedaan sejarah, bahasa, pendidikan dan budaya, namun deklarasi ini akan menjadi pengikat yang mempersatukan mereka sebagai putra dan putri Indonesia.
Saat ini, apa yang dimaksud dengan ‘persatuan dalam keberagaman’ di negara berpenduduk 260 juta jiwa, kaya akan budaya, tradisi, dan kepercayaan?
Tantangan yang semakin meningkat
88 tahun kemudian, headline berita tentang kekerasan berdasarkan agama, etnis atau gender menjadi hal biasa.
Karena agama memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari mayoritas penduduk, dimana setiap warga negara diwajibkan oleh undang-undang untuk menyatakan agamanya pada kartu tanda penduduk, maka hal ini telah menjadi sebuah rasionalisasi untuk melakukan diskriminasi dan diskriminasi terhadap mereka yang dianggap sebagai kelompok minoritas. . ?
Setara Institute, sebuah organisasi non-pemerintah yang memantau intoleransi beragama, melaporkan 194 insiden serangan kekerasan terhadap kelompok agama minoritas pada tahun 2015. Mulai dari penghentian paksa renovasi Candi Sapta Darma di Rembang oleh Forum Umat Islam, penolakan terhadap kelompok masyarakat Ahmadiyah di Pulau Bangka, hingga penutupan paksa gereja di Bandar Lampung, Yogyakarta, dan Samarinda.
Kasus-kasus intoleransi ini jelas melanggar hak asasi manusia. Berdasarkan UUD 1645 ((UUD 1945) dan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa hak-hak tersebut dihormati, dipenuhi dan dilindungi.
Namun demikian, dalam menghadapi meningkatnya intoleransi, hanya mengandalkan tindakan kuratif dari pemerintah dan penegakan hukum yang tidak memihak saja tidaklah cukup. Tindakan pencegahan juga harus dilakukan.
Diskriminasi dan intoleransi ada karena dibiarkan saja.
Memerangi intoleransi sejak dini
Kecenderungan untuk melakukan diskriminasi bukanlah suatu hal yang melekat, melainkan hal yang dipelajari. Teori belajar sosial Bandura (1977) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses yang berlangsung dalam konteks sosial, dimana orang belajar satu sama lain melalui observasi, peniruan dan pemodelan.
Dalam hal ini, apakah anak-anak diajarkan untuk menerima keberagaman, dan apa contoh yang bisa diberikan kepada generasi mendatang?
Berita terkini menceritakan tentang orang tua yang menghadapi tantangan dalam mendaftarkan anak mereka di sekolah negeri hanya karena keyakinan agama atau spiritual mereka tidak ada dalam sistem komputer. Ada juga liputan universitas nasional di Solo yang memberikan preferensi penerimaan dan beasiswa bagi pelamar yang bisa menghafal Al-Qur’an.
Favoritisme dalam sistem pendidikan kelompok mayoritas ini tidak semata-mata didasarkan pada agama. Diskriminasi berbasis gender juga sering terlihat di sekolah.
Misalnya, membedakan kegiatan ekstrakurikuler berdasarkan jenis kelamin siswa seperti olah raga untuk anak laki-laki dan ekonomi rumah tangga untuk anak perempuan, atau melarang anak perempuan untuk bergabung dengan tim sepak bola di sekolah.
Penambahan semua contoh diskriminasi ini, baik yang terang-terangan maupun tidak kentara, menciptakan kemungkinan besar terciptanya pola diskriminasi yang otomatis dan tidak disadari dalam keyakinan dan perilaku siswa.
Sekolah sebagai lembaga utama anak untuk mencapai pendidikan dan pembentukan karakter harus memenuhi perannya sebagai wadah untuk menumbuhkan pemahaman dan toleransi dalam rangka penerimaan dan penghargaan terhadap keberagaman, dengan mempraktikkan metode-metode yang sesuai dengan tingkat tumbuh kembang anak.
Beberapa cara praktisnya dapat dilakukan dengan mengunjungi berbagai tempat ibadah untuk mengenalkan siswa pada nilai keberagaman, sesi dialog terbuka dengan tokoh budaya berbeda, atau pertandingan olah raga persahabatan dengan sekolah lain yang berbeda latar belakang agama.
Pemuda untuk persatuan
Pada tahun 1928, Sumpah Pemuda yang diprakarsai oleh para pemuda merupakan sebuah monumental dalam perjalanan Indonesia menuju kemerdekaan.
Saat ini, dengan keterbatasan geografis dan terbatasnya akses terhadap ilmu pengetahuan dan pendidikan, persatuan sangat penting untuk menjamin kelak mereka bisa memimpin Indonesia yang merdeka.
Kini generasi muda jugalah yang mempunyai potensi untuk menghentikan lingkaran setan intoleransi, mengingatkan masyarakat Indonesia bahwa bahkan pada tahun 2016 masih ada kebutuhan yang kuat akan persatuan karena Indonesia menghadapi tantangan untuk memastikan masyarakat yang damai di tengah meningkatnya kelompok radikal. dan kejahatan kebencian.
Contoh pemimpin dalam menumbuhkan toleransi adalah program Sabang-Merauke, yaitu program pertukaran pelajar antar wilayah di Indonesia. Hal ini memberi remaja pengalaman untuk segera tinggal bersama keluarga dari latar belakang yang berbeda.
Memang benar, salah satu cara untuk mempelajari toleransi adalah melalui kesadaran individu: kesempatan untuk mengalaminya, dan kemampuan untuk mendengarkan sudut pandang satu sama lain.
Semangat merangkul dan memberdayakan penerimaan juga dipupuk oleh Majelis Pemuda Nasional (Temu Kebangsaan Orang Muda), yang memfasilitasi dialog antaragama di kalangan pemuda. Bagaimana inisiatif-inisiatif ini menyampaikan makna sebenarnya dari kesatuan dalam keberagaman harus didorong dan disebarkan ke seluruh komunitas.
88 tahun kemudian, sebagian besar pelajar di Indonesia masih hafal ikrar: “Kami putra dan putri Indonesia mengakui tanah air yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra putri Indonesia mengakui bangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia menghormati satu bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.”
Saat ini kita kesulitan untuk memberikan makna pada kata-kata ini. Namun satu hal yang pasti: masyarakat Indonesia pada dasarnya beragam. Hanya toleransi yang dapat menjamin kelangsungan hidup komunitas campuran kita, di setiap sudut negara. – Rappler.com
Anindita Sitepu adalah seorang psikolog yang menjabat sebagai Direktur Program di Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI).