Ima Matul Maisaroh, perempuan Indonesia pertama yang berbicara di konvensi Partai Demokrat AS
keren989
- 0
MALANG, Indonesia – Nama Ima Matul Maisaroh kini menjadi perbincangan masyarakat di Dusun Krajan, Desa Kanigoro, Malang, Jawa Timur. Sebab, perempuan berusia 36 tahun itu diundang Partai Demokrat Amerika Serikat untuk berbicara pada konvensi yang digelar Selasa, 26 Juli.
Pada kesempatan itu juga, Partai Demokrat akan resmi memilih Hillary Rodham Clinton sebagai calon presiden utama dan Senator Tim Kaine sebagai wakil presiden pada pemilu yang digelar November mendatang. Surat undangan tersebut resmi diterima dari Komite Nasional Demokrat pada Sabtu sore, 23 Juli.
Sudah resmi apa yang akan saya bicarakan #perdagangan manusia masalah di #2016DNC pic.twitter.com/Z8y821sbHx
— Ima Matul (@ImaHope4Freedom) 23 Juli 2016
Ima bisa berbicara di acara bergengsi tersebut karena ditunjuknya Presiden Barack Obama sebagai salah satu dari 10 anggota Dewan Pertimbangan Gedung Putih. Ia secara khusus menangani program-program untuk memerangi perbudakan dan perdagangan manusia, sebuah isu yang juga menjadi perhatian Partai Demokrat.
Sehingga, orang tua dan warga kampung halaman Ima di Desa Kanigoro pun ikut bangga. Namun, jalan yang ditempuh Ima untuk membawanya ke AS sangatlah menyedihkan.
Dihubungi melalui akun Facebooknya, Ima teringat pernah bekerja sebagai buruh migran di Los Angeles pada tahun 1997. Ia memilih menjadi TKI untuk menghidupi dirinya dan keluarganya karena lari dari pernikahan pertamanya yang tidak bahagia.
Harus meninggalkan sekolah
Ima teringat mantan suaminya datang ke rumah orang tuanya untuk menikahinya. Tipikal warga setempat, orang tua Ima tidak bisa menolak permintaan tersebut dan menikahkan putrinya yang baru mulai bersekolah.
“Saat itu, perbedaan usia kami mencapai 12 tahun. Akhirnya saya berhenti sekolah karena menikah dengan orang yang tidak saya kenal. “Rumah tangga kami berakhir sayangnya karena tidak ada cinta,” kata Ima yang dihubungi Senin, 25 Juli melalui akun Facebooknya.
Ima kabur dari rumah suaminya, meski orang tuanya menemukannya lagi. Ia kemudian mengadu nasib dengan mendaftar ke Perusahaan Penyedia Jasa Ketenagakerjaan Indonesia (PJTKI) untuk berangkat ke Hong Kong menjadi pembantu rumah tangga.
Namun, sebelum berangkat, Ima harus magang terlebih dahulu sebagai asisten rumah tangga.
“Saat itu saya sedang pelatihan kerja dengan majikan saya di Malang. Dia punya sepupu di Amerika dan mengatakan dia membutuhkan bantuan. Lalu saya ditawari,” kata Ima.
Ia mengaku puas dengan tawaran tersebut karena dijanjikan gaji sebesar US$150 atau setara Rp1,9 juta. Akhirnya tawaran itu diterima dan orang tuanya harus menebus Ima sebesar Rp600 ribu dari perusahaan PJTKI yang semula ingin mengirimnya ke Hong Kong.
Tidak dibayar dan disiksa selama dua tahun
Menurut informasi dari website lentera indonesia, Ima menginjakkan kaki di Negeri Paman Sam saat berusia 17 tahun. Sendirian, dia memutuskan untuk bekerja di AS untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Diakui Ima, sejak kedatangannya di bandara LAX, hal-hal aneh mulai terjadi. Paspornya dipegang oleh majikannya yang berprofesi sebagai desainer interior.
Selama 2 tahun berada di kediaman majikannya, Ima bekerja lebih dari 12 jam hampir tanpa istirahat. Selain itu, dia disiksa dan dipukuli oleh tuannya hampir setiap hari.
Hanya karena melakukan kesalahan kecil, majikannya memukul dan menampar Ima berkali-kali.
“Sampai saat ini bekas luka di kepala masih terlihat,” kata Ima yang mengaku saat itu belum bisa berbahasa Inggris sama sekali.
Setelah 2 tahun, Ima mengaku tak tahan lagi disiksa. Maka pada tahun 2000, ia bertekad untuk menyisipkan catatan kecil berisi ‘permintaan bantuan’ kepada seorang babysitter yang kebetulan adalah tetangganya. Tetangga tersebut kemudian membantu Ima melarikan diri dari rumah majikannya dan membawanya ke kantor CAST, sebuah organisasi yang menangani korban perbudakan dan perdagangan manusia.
“Saya tidak membawa paspor saat itu,” katanya.
Setelah beberapa bulan tinggal di tempat penampungan tunawisma, Ima akhirnya bisa tinggal di rumah yang layak dan bekerja di CAST.
Tidak bisa menuntut majikan
Ima kemudian menghubungi majikannya dan berpura-pura mengatakan akan kembali ke Indonesia. Untuk tujuan ini, majikan akan mengembalikan paspornya.
Saat itu, ia didampingi agen Biro Investigasi Federal (FBI) saat menemui majikannya di bandara LAX.
“Saya juga dilengkapi alat pendengar untuk merekam semua percakapan,” ujarnya.
Majikan kemudian memberinya tiket sekali jalan dan berjanji akan mengirimkan gajinya setelah Ima tiba di Malang, Jawa Timur. Namun gajinya tidak pernah dikirimkan karena tidak pulang ke kampung halaman.
“Saya baru saja masuk ke ruang bandara lalu keluar lagi,” ujarnya.
Ia pun enggan mengambil tindakan hukum terhadap majikannya yang bertindak kasar karena prosesnya yang agak berbelit-belit. Menurut Ima, berdasarkan sistem hukum yang berlaku di AS, saksi mata harus jelas dan melihat kapan perempuan asal Malang itu mendapat perlakuan kasar.
“Aksi kekerasan itu terjadi di dalam rumah tanpa diketahui banyak orang. Apalagi luka saya tergolong kurang serius, meski ada bekas luka di kepala, ujarnya lagi.
Orang tua Ima di Malang juga berpesan agar putrinya tidak menuntut majikannya karena melakukan kekerasan. Bagi Turiyo, ayah Ima, yang terpenting putrinya selamat.
Ima kemudian mulai menata hidupnya. Alih-alih memilih kembali ke Indonesia, Ima malah menetap di Negeri Paman Sam. Dia disekolahkan selama tiga tahun dan ijazahnya dikirim pulang.
“Sekarang katanya dia kerja kantoran dan tugasnya bantu orang. “Beliau juga rutin bertemu Presiden Obama. Sebagai orang tua, saya bangga dengan prestasi beliau,” kata Alimah, ibu Ima, yang ditemui Rappler di rumahnya.
Ia mengatakan putrinya kerap mudik ke Kanigoro dan mengikuti jadwal liburan ketiga anaknya. Selama di kota, Ima kerap memberikan nasehat kepada adik-adiknya yang ingin mengadu nasib di Amerika.
Ia tidak ingin anggota keluarganya mengalami nasib yang sama jika pergi tanpa keterampilan yang memadai.
“Ima bilang kerja di Amerika susah. Jangan pergi ke sana jika Anda tidak memiliki kemampuan. Memasuki Amerika juga sulit. “Lebih baik bekerja di sini atau di tempat lain seperti Hong Kong,” kata Alimah menirukan kalimat putri sulungnya.
Bukan lagi warga negara Indonesia
Dalam keterangan tertulis KBRI Washington DC disebutkan bahwa Ima bukan lagi warga negara Indonesia dan sudah menjadi warga negara Amerika. Meski begitu, pemerintah terus berkomunikasi dengan Ima bahkan mengundangnya sebagai pembicara pada seminar perlindungan hak-hak perempuan pada tahun 2015. Ima juga memberikan pelatihan kepada staf KJRI Los Angeles pada bulan April 2016 mengenai perdagangan manusia. .
Konjen RI Los Angeles Umar Hadi berkomunikasi dengan yang bersangkutan dan mengucapkan selamat kepada Ima atas kesempatan berbicara pada Konvensi Partai Demokrat, demikian bunyi pernyataan KBRI Washington DC melalui akun Twitter-nya.
Siaran Pers KBRI Washington DC tentang Partisipasi Diaspora Indonesia dalam Konvensi Partai Demokrat AS pic.twitter.com/1baTZeVJX3
— KBRI DC (@KBRIWashDC) 25 Juli 2016
Masalah perdagangan manusia, kata KBRI, juga merupakan kepentingan nasional Indonesia.
“Isu perlindungan terhadap pekerja rumah tangga terkait dengan isu perdagangan manusia merupakan salah satu prioritas kebijakan luar negeri dan kabinet saat ini,” tegas mereka.
Pekerja migran di Amerika sulit dipantau
Kepala Bidang Penempatan Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Malang Sukardi mengatakan, tidak banyak pekerja migran yang berangkat ke AS. Sebab, negara tersebut belum memiliki perjanjian khusus terkait pekerja migran dengan Indonesia. Kabar mengenai Ima tidak tercatat dalam dokumen Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi setempat.
“Kami hampir tidak memiliki data mengenai pekerja migran yang berangkat ke Amerika. Kami juga tidak memiliki data tentang Ima. Ketika dia keluar sekitar tahun 1997, (data) masih belum on line dan tidak serapi sekarang,” kata Sukardi.
Bahkan teroris pun, katanya, belum masuk ke sana, sehingga masuk ke AS bisa jadi jauh lebih mudah dibandingkan sekarang. Pagelaran dan beberapa kecamatan lainnya seperti Gondanglegi, Donomulyo, Kalipare, Sumbermanjing Wetan, Tirtoyudo, Dampit dan Ampelgading dikenal sebagai daerah kantong pekerja migran.
Tujuan favorit mereka adalah Hong Kong dan Taiwan. Mereka terpaksa bekerja di luar negeri, karena kondisi perekonomian yang sulit, kurangnya modal dan tidak tersedianya kesempatan kerja.
Meski begitu, Disnaker tetap berharap jumlah warga Malang yang keluar menjadi TKI terus berkurang. Warga dihimbau untuk menjadi pekerja mandiri atau mencari pekerjaan di dalam negeri dibandingkan keluar negeri.
Sukardi tak menampik, banyak kasus yang menimpa warga Malang saat berada di luar negeri. Sementara itu, Disnaker mengaku tidak bisa berbuat banyak selama berada di luar Indonesia.
Berdasarkan catatan Disnaker, setidaknya 3 TKI yang bekerja di Hong Kong pulang ke rumah dalam keadaan meninggal karena berbagai sebab. Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan, permasalahan paling banyak terjadi pada tahap penempatan, yakni saat berada di luar negeri.
Sedangkan tanggung jawab Disnaker adalah masa pra penempatan yang mencakup berbagai kebutuhan TKI sebelum pemberangkatan dan tahap pasca penempatan ketika TKI sudah kembali ke negara asalnya dan diimbau untuk tidak kembali ke luar negeri. Sedangkan pada tahap penempatan menjadi tanggung jawab BNP2TKI dan Kementerian Luar Negeri, kata Sukardi. – Rappler.com