Indonesia berharap sidang UPR fokus pada pencarian solusi peningkatan hak asasi manusia, bukan politisasi
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Indonesia akan menyampaikan laporan perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) pada sidang Dewan Hak Asasi Manusia ke-27 di Jenewa, Swiss pada Rabu, 3 Mei. Dalam sidang yang diberi nama Universal Periodic Review (UPR), negara-negara anggota yang hadir berhak mengevaluasi implementasi hak asasi manusia di Indonesia dan turut serta memberikan rekomendasi.
Giliran Indonesia yang meninjau kembali kemajuan perlindungan hak asasi manusia setelah mendapat rekomendasi pada siklus kedua lima tahun lalu. Pemerintah Indonesia mengklaim sidang berkala merupakan isu penting. Oleh karena itu, delegasi dipimpin langsung oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly.
Kedua menteri juga didukung tim dari kementerian terkait seperti Kementerian Agama, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, serta Kementerian Sosial. Pemerintah juga melakukan pendekatan kepada beberapa kepala daerah yang banyak disorot terkait isu HAM, antara lain Surabaya, Balikpapan, Lombok Tengah, dan Papua Barat.
“Kehadiran dua menteri dalam sidang tersebut merupakan pertanda yang sangat baik dan kuat atas komitmen pemerintah terhadap peningkatan hak asasi manusia,” kata Direktur Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri, Dicky Komar di Staf Presiden. Kantor (PSO) pada Kamis, 27 April.
Dicky menjelaskan, laporan yang akan disampaikan delegasi Indonesia menjelaskan implementasi dari 150 rekomendasi yang diterima Indonesia pada sidang UPR ke-2 tahun 2012. Rekomendasi tersebut dikelompokkan menjadi 13 kelompok yang dijadikan bahan inti.
“Indonesia juga akan mengalihkan inisiatif-inisiatif yang dilakukan pemerintah yang berada di luar rekomendasi. “Kami berharap ini bisa menjadi ruang untuk berbagi dan mengambil hikmah,” ujarnya.
Setidaknya ada lima isu besar yang diharapkan pemerintah Indonesia dalam UPR sesi ketiga, yaitu isu Papua, pelanggaran HAM masa lalu, kelompok minoritas (termasuk penganut agama dan LGBT), hukuman mati dan kelompok perempuan, anak-anak. dan orang tua.
Dicky menegaskan, forum ini bukanlah ajang di mana negara-negara bisa bersaing satu sama lain menunjuk jari mengenai pembangunan hak asasi manusia. Forum UPR hendaknya dimanfaatkan menjadi forum dialog dan berbagi pembelajaran.
“Indonesia meyakini ketika suatu negara diapresiasi dan didorong untuk terus mempromosikan isu HAM di negaranya, maka menjadi kewajiban dan komitmen negara tersebut untuk terus melakukan hal tersebut,” ujarnya.
Oleh karena itu, ada dua hal penting yang akan disampaikan Indonesia melalui forum UPR sebelum menyampaikan laporan HAMnya. PertamaKemajuan dalam perlindungan hak asasi manusia harus dilihat sebagai implementasi yang berkelanjutan.
“Sidang UPR bukanlah perkara yang selesai satu laporan dan tidak ada tindak lanjutnya. Permasalahan hak asasi manusia merupakan sebuah proses yang panjang dan berkelanjutan. “Yang harus dijamin adalah adanya upaya dan upaya berkelanjutan untuk mengatasi tantangan yang ada, baik tantangan baru maupun tantangan lama,” ujarnya.
Hal Kedua Apa yang dikatakan Indonesia adalah setelah forum tersebut harus dilanjutkan dengan tindakan nyata yang dapat memberikan dampak di lapangan.
Pada akhirnya, 193 negara anggota PBB akan memberikan rekomendasi kepada Indonesia. Dicky kembali meminta negara lain memberikan penilaian proporsional terhadap Indonesia.
“Silakan sampaikan rekomendasi, tapi harus realistis dan bisa dilaksanakan. “Bagaimanapun, forum UPR merupakan mekanisme untuk berbagi pembelajaran dan pengalaman,” ujarnya.
Hukuman mati merupakan isu favorit
Sementara itu, staf ahli Deputi V Kantor Personalia Presiden (PSO), Ifdhal Kasim, memperkirakan Indonesia akan kembali dipertanyakan terkait terus diterapkannya hukuman mati. Di bawah kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, Indonesia mengeksekusi 18 orang karena kasus terkait narkoba. (BA: Hukuman mati, solusi atau jalan keluar)
Rencananya pada sesi hari ini akan ada 93 negara yang akan mengajukan pertanyaan mengenai hal tersebut. Hukuman mati memang menjadi isu yang mengemuka dan paling banyak ditanyakan.
“Tentu saja, sekarang kita tidak bisa berdebat lagi. Yang penting, kami melaporkan bahwa Indonesia akan perlahan-lahan merevisi KUHP mengenai hukuman ini dan malah bergerak menuju moratorium. “Penerapan hukuman mati semakin sulit,” kata Ifdhal di acara yang sama.
Sementara itu, Dicky mengatakan, respons Indonesia terhadap isu ini selama ini belum ada kesepakatan mengenai hukuman ini bahkan di tingkat global.
“Beberapa waktu lalu, Indonesia menjalin kerja sama dan berdiskusi dengan negara lain yang masih menghapuskan hukuman mati. Oleh karena itu, kita sepakat bahwa tidak perlu ada keseragaman, kata Dicky.
Yang terpenting, kata dia, setiap negara bisa memahami posisi dan kebijakan yang berlaku di negara tersebut.
Penyelesaian kasus HAM di Papua
Indonesia juga siap jika dipertanyakan terkait kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Ifdhal memperkirakan isu yang akan dibahas antara lain pelanggaran HAM berat di Wasior (2001) dan Wamena (2003). (BA: Indonesia didesak untuk mengusut pelanggaran HAM di Papua)
Peristiwa Wamena tanggal 4 April 2003 diawali dengan pembobolan gudang senjata Kodim 1702 Wamena yang ditindaklanjuti oleh TNI untuk mengejar terduga pelaku. Namun dalam proses pengejaran, terjadi tindakan kekerasan seperti penangkapan, penyiksaan, pembunuhan terhadap warga sipil dan pembakaran gedung dan klinik setempat.
Sedangkan kasus Wasior yang terjadi pada 13 Juni 2001 disebabkan oleh pembunuhan lima anggota Brimbod dan seorang warga sipil. Personil Polres Manokwari kemudian melakukan penggeledahan dan terdapat dugaan tindak kekerasan berupa pembunuhan, perampasan kemerdekaan, dan penyiksaan di sana.
Ifdhal mengatakan ada perkembangan dalam kedua kasus tersebut. Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan meminta Kejaksaan Agung dan Komnas HAM menindaklanjuti kasus tersebut.
“Kejaksaan Agung sudah mulai menerima hasil penyidikan Komnas HAM. “Jika dulu perkara itu dijadikan satu berkas, kini dipisahkan menjadi berkas tersendiri, Wasior dan Wamena,” ujarnya.
Kejaksaan Agung juga telah membentuk tim untuk mengusut dua kasus pelanggaran HAM berat tersebut.
Sementara untuk kasus pelanggaran HAM sebelumnya terkait peristiwa 1965, Dicky menjelaskan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan telah menyiapkan opsi solusi non-yudisial. Namun, menurutnya, tidak menutup kemungkinan ada opsi lain.
Tentu saja Indonesia akan memilih opsi yang bisa dilaksanakan, ujarnya.
Tidak ada sanksi
Dicky juga menjelaskan, format sidang UPR tidak sama dengan pengadilan pada umumnya. Artinya, jika salah satu dari 150 rekomendasi tersebut tidak berhasil dipenuhi oleh Indonesia, maka tidak akan ada sanksi.
“Jika ada rekomendasi yang dianggap belum lengkap, dapat diajukan ke siklus berikutnya. Apalagi tidak ada mandat mengenai pemberian sanksi, ujarnya.
Namun, jika masalahnya menjadi sangat serius, forum lain disediakan untuk menekankan klaim tersebut.
Selain india, terdapat 13 negara lain yang implementasi HAMnya ditinjau secara sukarela, yaitu Aljazair, Bahrain, Ekuador, Brazil, Finlandia, India, Belanda, Filipina, Maroko, Polandia, Afrika Selatan, Tunisia, dan Inggris. Sidang dapat disaksikan secara langsung melalui Link ini pada pukul 14.30 WIB. – Rappler.com