Indonesia-Malaysia sepakat untuk menyelesaikan empat permasalahan besar
- keren989
- 0
Salah satu perjanjian yang dibawa adalah komitmen pemerintah Malaysia untuk melindungi pekerja migran
JAKARTA, Indonesia – Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengunjungi Kuching, Malaysia pada Rabu 22 November untuk bertemu dengan mitranya, Perdana Menteri Najib Tun Razak. Pertemuan yang merupakan bagian dari Forum Konsultasi Tahunan ini telah dilaksanakan sebanyak 12 kali.
Pertemuan yang digelar kemarin menghasilkan kesepakatan untuk menyelesaikan empat permasalahan besar, yakni sengketa perbatasan, perlindungan pekerja migran, keamanan, dan perekonomian. Berdasarkan perjanjian perbatasan tahun 1915, kedua negara memiliki kurang lebih sembilan perbatasan darat, lima di antaranya meliputi wilayah antara Kalimantan Utara dan Sabah.
Empat sengketa lainnya mencakup wilayah antara Kalimantan Barat dan Sarawak. Ketika Presiden Jokowi dan Perdana Menteri Najib bertemu pada tahun 2015, mereka sepakat untuk mempercepat penyelesaian lima sengketa perbatasan darat di wilayah Kalimantan Utara dan Sabah, serta empat sengketa di Kalimantan Barat dan Sarawak.
Bahkan, untuk mempercepat penyelesaian permasalahan perbatasan. Kedua negara menunjuk utusan khusus. Indonesia menunjuk mantan Duta Besar Indonesia untuk Jerman Eddy Pratomo. Sementara Malaysia telah menunjuk mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri, Tan Sri Mohd Radzi Abdul Rahman.
Namun permasalahan sengketa wilayah ini juga menyangkut wilayah laut, salah satunya Laut Sulawesi. Persoalan demarkasi maritim kedua negara masih dicari jalan tengahnya.
Dalam pertemuan kedua pemimpin di Kuching, baik Jokowi maupun Najib mengakui telah ada kemajuan dalam masalah ini.
Kedua pemimpin menyambut baik kemajuan kinerja Utusan Khusus yang berkelanjutan dan memuji upaya yang dilakukan untuk menghilangkan perbedaan antara kedua belah pihak dan mencari solusi demarkasi wilayah laut dan zona maritim lainnya di Laut Sulawesi, demikian bunyi pernyataan bersama. pernyataan kedua pemimpin pada konferensi pers yang digelar kemarin.
Baik Jokowi maupun Najib juga memiliki sikap yang sama terkait Batas Wilayah Laut Sementara (PTSB) di Selat Malaka bagian selatan. Kedua pemerintah juga mendesak diadakannya pertemuan teknis agar perundingan penetapan batas wilayah maritim, khususnya di Selat Malaka, dapat segera diselesaikan.
“Kedua pemimpin menugaskan utusan khusus masing-masing untuk mengambil langkah-langkah menjaga dan mencari berbagai solusi untuk memungkinkan demarkasi perbatasan maritim antara kedua negara,” demikian pernyataan bersama tersebut.
Isu lain yang dinilai penting khususnya bagi Indonesia adalah keberadaan WNI di Malaysia. Seperti diketahui, terdapat kurang lebih 2 juta WNI yang tinggal di negara tetangga. Namun, 1,2 juta di antaranya bekerja di sana tanpa dokumen.
Merekalah yang menjadi incaran pemerintah Malaysia melalui program tersebut pengangkatan kembali. Sebab jika tidak memiliki dokumen, pekerja migran bisa dipenjara dan dideportasi.
Dalam pertemuan konsultasi di Kuching, Jokowi dan Najib sepakat untuk mencari akar permasalahan mengapa pekerja Indonesia tetap bekerja di negara tetangga tanpa memberikan dokumen yang sesuai. Sebab, jika tidak, jumlah TKI yang terjaring program tersebut akan bertambah.
“Kedua pemimpin menunjuk pejabat yang berwenang untuk memulai diskusi guna mencari solusi dan cara terbaik menangani pekerja Indonesia yang tidak berdokumen,” demikian isi kesepakatan bersama kedua pemimpin.
Pemerintah Malaysia juga telah sepakat untuk memberikan perlindungan kepada pekerja migran yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Jokowi juga menyampaikan apresiasinya kepada Malaysia yang telah mengizinkan pembangunan Learning Community Center (CLC).
Tempat ini digunakan untuk anak-anak pekerja migran untuk melanjutkan studi pendidikan. Saat ini, terdapat 19 CLC yang dibangun di kawasan perkebunan.
Menentang kampanye minyak sawit
Kedua pemerintah juga sepakat untuk terus meningkatkan kerja sama dalam menyampaikan keprihatinan terhadap peraturan yang diterapkan oleh Dewan Resolusi Parlemen tentang Kelapa Sawit dan Deforestasi. Baik Malaysia maupun Indonesia menilai ada kampanye yang mendiskreditkan produk kelapa sawit sebagai penyebab deforestasi. Padahal, menurut mereka, masih ada minyak dari tumbuhan lain yang berkontribusi terhadap deforestasi.
“Setiap sikap diskriminatif yang timbul dari resolusi Dewan Eropa tidak hanya akan dianggap sebagai praktik perdagangan yang tidak adil, namun juga akan berdampak pada kehidupan jutaan petani kecil di Indonesia dan Malaysia. “Setiap langkah yang diambil untuk membatasi akses pasar minyak sawit tidak menunjukkan komitmen komunitas global untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan berdasarkan Agenda 2030, khususnya untuk mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan pendapatan ekonomi,” kata kedua pemimpin tersebut.
Isu keempat yang menjadi perhatian kedua pemimpin adalah pertahanan dan keamanan. Beberapa warga negara Malaysia dan Indonesia menjadi korban penculikan kelompok militan Abu Sayyaf di kawasan Sabah.
Oleh karena itu, berdasarkan inisiatif Indonesia pada tahun 2016, Indonesia-Malaysia-Filipina bertemu di Yogyakarta untuk membahas koordinasi patroli wilayah perairan yang dianggap masih rentan. Ada tiga patroli dari tiga negara di kawasan tersebut yang dilaksanakan pada 19 Juni, 12 Oktober, dan 13-15 November.
Melalui patroli terkoordinasi tersebut, diharapkan kedua negara juga dapat mencegah kejahatan transnasional lainnya seperti terorisme, penyelundupan, dan perdagangan manusia.
“Kedua pemimpin menegaskan kembali komitmen mereka untuk mengatasi masalah ini secara efektif. Selain itu, tantangan dan ancaman transnasional terus membayangi keamanan dan stabilitas kawasan. “Metode yang dipilih adalah dengan mengadakan pertemuan trilateral antara ketiga negara untuk membahas masalah keamanan,” kata keduanya. – Rappler.com
BACA JUGA: