• October 15, 2024

Indonesia semakin tidak ramah terhadap kelompok minoritas

Kasus Syiah dan Ahmadiyah belum usai, kini giliran kelompok minoritas LGBT yang terancam.

Jakarta, Indonesia- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Contras) mengatakan kekerasan yang terjadi terhadap kelompok minoritas lesbian, gay, biseksual, dan transgender dalam beberapa pekan terakhir merupakan tanda bahwa Indonesia semakin tidak ramah terhadap kelompok minoritas.

“Ini adalah sesuatu yang berulang dan kebetulan LGBTlah yang terkena dampaknya saat ini. “Di masa depan, masyarakat rentan akan semakin rentan karena daftar kerentanan semakin hari semakin bertambah,” kata Koordinator Kontras Haris Azhar dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu 24 Februari.

Menurut Haris, kekerasan yang terjadi pada era Susilo Bambang Yudhoyono terus berlanjut bahkan meningkat pada masa pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo. Jadi terus saja, kelompok minoritas masih menjadi sasaran penembakan, ujarnya.

Berapa tingkat kekerasannya?

Berdasarkan catatan Rappler, kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas kerap terjadi, termasuk pembakaran rumah warga Syiah di Sampang pada Agustus 2012.

Komunitas Syiah di Sampang, Madura mendapat intimidasi demi intimidasi sejak tahun 2011. Puncaknya pada 26 Agustus 2012, mereka terpaksa mengungsi ke gedung olahraga di Sampang.

Pada tahun 2013, pemerintah memutuskan untuk merelokasi mereka dari Madura ke sebuah kompleks apartemen di Desa Jemundo, Kecamatan Taman, Sidoarjo. Hingga saat ini, para pengungsi tersebut masih tinggal di Sidoarjo.

Lalu ada kasus kekerasan terhadap anggota Ahmadiyah. Pada tahun 2006, jemaah Ahmadiyah yang tinggal di Ketapang, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi sasaran kemarahan masyarakat. Rumah mereka dirusak dan dibakar. Mereka diusir dan terpaksa mengungsi ke Wisma Transito di Kelurahan Majeluk, Kota Mataram.

Persoalan Syiah dan Ahmadiyah belum terselesaikan. Kasus lain bahkan muncul di Bangka Belitung, yakni pengusiran warga Ahmadiyah secara intoleran oleh jemaah Hizbut Tahrir Indonesia dari negaranya sendiri.

Lalu ada kasus pembakaran musala di Tolikara. Bermula dari beredarnya foto surat yang diyakini dari Badan Kerja Sinode GIDI di media sosial yang melarang umat Islam merayakan Idul Fitri di Karubaga. Surat tersebut tertanggal 11 Juli 2015. Alasan pelarangan tersebut karena pada saat yang bersamaan ada KKR Pemuda GIDI internasional di Karubaga.

Kemudian terjadi kerusuhan saat Idul Fitri yang mengakibatkan pembakaran kios dan musala di tempat tinggal warga Muslim.

Belum lagi penutupan gereja yang belum terselesaikan seperti kasus GKI Yasmin di Bogor.

Kembali ke konstitusi

Menurut Haris Azhar, pemerintah sebaiknya kembali ke konstitusi untuk memediasi kasus kekerasan terhadap kelompok mayoritas. “Yang paling mudah adalah melihat konstitusi. “Bagi semua orang, sesuai dengan konvensi internasional, titik awal yang besar adalah non-diskriminasi, itu fundamental,” ujarnya.

Karena itu perlu untuk melindungi hak asasi manusia. “Setiap orang tidak bisa didiskriminasi atas dasar agama, keyakinan, dan orientasinya,” kata Haris. Orientasi yang relevan mencakup politik dan seksual, termasuk kelompok LGBT.

Bahkan ada yang memanfaatkan kebebasannya untuk memberikan stigma buruk kepada kelompok minoritas.

Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Fajar setuju dengan pernyataan Haris. Menurutnya, masyarakat harus mengembalikan polemik seperti LGBT ke dalam landasan kehidupan bernegara Pancasila.

“Contoh yang bisa kita ambil adalah kasus di Amerika, hampir semua agama menentang LGBT. “Tetapi MA tetap berpegang pada konstitusi, bahwa semua warga negara berhak mendapat perlindungan,” ujarnya.

Menurut Wahyudi, janji Nawacita Jokowi di bidang Hak Asasi Manusia (HAM) harus terwujud jika kembali ke konstitusi, bukan agama. “Karena landasannya harus Pancasila dan Konstitusi,” ujarnya. —Rappler.com

BACA JUGA

Pengeluaran Sydney