Informasi ‘menyerang’ generasi muda seperti virus
- keren989
- 0
Pakar komunikasi dan media ini membahas kekhawatiran Presiden Jokowi terhadap informasi hoax di media sosial
JAKARTA, Indonesia – Upaya hukum untuk membungkam akun media sosial yang dituduh menyebarkan informasi palsu alias lelucon dianggap tidak efektif. “Yang menentang pasti dari media arus utama. “Media harus tegas dalam sikap dan tindakan pihak-pihak yang memproduksi hoax, jangan hanya untuk kepentingan pribadi, apalagi jika dijadikan lahan bisnis, karena bersifat destruktif,” kata Ishadi SK, pakar komunikasi dan media.
Dalam perbincangannya dengan Rappler, Ishadi menyampaikan informasi tersebut lelucon ibarat virus yang menyerang dan menginfeksi arus informasi yang diterima masyarakat, termasuk generasi muda.
“Sepertinya mereka tidak mendapat vaksinasi, tidak mendapat cukup makanan, bimbingan, cara mencerna dan memilih informasi yang tepat,” kata Ishadi yang saat ini menjabat komisaris Trans Media Group.
Menurut Ishadi, informasi yang terverifikasi dan akurat yang dihasilkan media arus utama akan membantu orang tua atau sesepuh dalam keluarga untuk menjelaskan kepada generasi muda, generasi remaja, bagaimana suatu peristiwa terjadi.
Ishadi tidak sependapat dengan pandangan bahwa meningkatnya pengaruh informasi di media sosial menunjukkan menurunnya kepercayaan terhadap media arus utama. “Anak-anak usia 14 tahun ke atas memang merasa mempunyai media sendiri yaitu media sosial. Mereka tidak membaca koran, tidak mendengarkan radio, tidak menonton televisi. “Bagi mereka, informasi datang begitu cepat sehingga mereka tidak punya waktu untuk memilih,” kata Ishadi.
Terkait kecenderungan kalangan terpelajar, bahkan para profesor, yang menyebarkan “informasi dari kelompok berikutnya” yang belum terverifikasi dan beberapa di antaranya terkesan tidak akurat, termasuk informasi tipuan, Menurut Ishadi, hal ini disebabkan dua hal. “Awalnya mereka ikut-ikutan, tapi belum siap. Sebab ada gap dengan kecepatan komunikasi lewat media sosial. Yang kedua ya karena kemudahan media sosial untuk berbagi informasi, kata Ishadi.
Karena perannya yang semakin penting, seperti penjaga gerbang, Konten harus dijaga dengan baik dan dipilih karena penting dan bermanfaat. “Mereka yang berbagi informasi atau memproduksi berita hanya karena semangat popularitas, kemungkinan besar akan terjebak pada penurunan kualitas informasi yang mereka berikan dan itu akan membuat mereka terpuruk,” kata Ishadi.
Fenomena diskusi publik akibat media sosial juga menjadi fokus pidato Presiden Joko Widodo saat memberikan orasi ilmiah pada Dies Natalis ke-60 Universitas Padjadjaran, Senin, 11 September. Dalam pidatonya, Jokowi mengungkapkan sulitnya para pemimpin dunia dalam mengontrol informasi yang berkembang di media sosial. Kesimpulan tersebut ia peroleh setelah mendengar cerita berbagai pemimpin dunia, mulai dari Perdana Menteri Singapura, Malaysia, bahkan Presiden Iran.
“Temui Presiden, Raja, Perdana Menteri, semuanya (bertanya) kepada Presiden Jokowi, media sosial di Indonesia kejam atau tidak? Wah, kalau Indonesia kejam banget, saya jawab, kata Jokowi di Grha Sanusi Hardjadinata.
(BACA: Presiden Jokowi: Banyak Informasi Hoax di Media Sosial)
“Media arus utama bisa dikendalikan tapi media sosial tidak bisa. Jika dia punya platformnya sendiri, mungkin dia bisa. “Tetapi hampir semua negara tidak bisa mengendalikannya, semua orang memberitahu saya,” katanya.
Polisi kini mendalami dugaan penyebaran informasi untuk kepentingan politik oleh kelompok Saracen yang dituduh menyebarkan kebencian melalui media sosial.
Upaya otoritas hukum untuk menangkap pihak-pihak yang dianggap kritis terhadap pemerintah atau kebijakan pemerintah telah menimbulkan protes dari para aktivis. Ada kecenderungan otoritas hukum lebih cepat menangani kasus dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan pihak yang mengkritik pengusaha. Aktivis meminta Presiden Jokowi mencabut pasal dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang digunakan untuk menjerat netizen karena status media sosialnya.
Dari data yang dimiliki SAFEnet hingga Mei 2017, terdapat 192 kasus yang tercatat terkait kasus pencemaran nama baik. Sebanyak 44 persen yang dilaporkan adalah masyarakat biasa, baik pekerja, karyawan, dan ibu rumah tangga.
Dari mereka yang dilaporkan, setidaknya 11 persen adalah aktivis. Sedangkan 69 persen wartawannya adalah pejabat. Sementara di sisi lain, pejabat seperti petinggi polisi, kepala lembaga, dan menteri hanya dilaporkan sebanyak 17 kali.
Catatan SAFEnet juga menyebutkan pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik paling banyak digunakan. Angkanya mencapai 149 kasus – Rappler.com
BACA JUGA: