Ini bukan hanya tentang seks, tapi pahitnya kelangsungan hidup
- keren989
- 0
‘Prenjak’ memenangkan kategori Critics’ Week Cannes Film Festival 2016
JAKARTA, Indonesia — Sebagai seorang ibu muda yang sudah lama ditinggalkan suaminya, Diah (Rosa Winenggar) harus memutar otak untuk menafkahi dirinya dan putra satu-satunya.
Keterbatasan ekonomi dan kewajiban untuk segera membayar sewa kamar kontrakan mendorong Diah melakukan permainan seksual yang tidak biasa dengan Jarwo (Yohanes Budyambara).
Ia menawari korek api Jarwo dengan harga Rp 10.000 per batang agar pria gendut itu bisa mengintip organ kewanitaannya di bawah meja.
“Namun sudah diturunkan peringkatnya (tapi tidak bisa dipegang)”, ucap Diah dengan logat Jawa yang kental.
(BACA: 5 Hal Tentang Film ‘Prenjak’)
Jarwo menyalakan korek api demi korek api agar bisa menikmati tampilan visual alat kelamin Diah. Agar bisa bertahan hidup, perempuan harus mengesampingkan rasa malunya ketika bagian tubuh paling intimnya dilihat oleh laki-laki yang bukan suaminya.
Setelah empat pertandingan selesai dan Diah keluar, penonton mengira permainan seks Diah dan Jarwo sudah selesai. Rupanya sang sutradara membalikkan keadaan, masih “atas nama uang”.
Giliran Jarwo yang meminta Diah melihat kemaluannya, dengan imbalan Rp 60.000 agar Diah punya cukup uang untuk membayar sewa.
Tak dengan korek api yang cepat mati, Jarwo memberikan korek api gas kepada Diah untuk mengintip kemaluannya selama tiga puluh detik.
Diah menyalakan korek api di bawah meja, namun menutup matanya saat Jarwo mulai menghitung. Selama 20 detik pertama ia menghindari melihat kemaluan Jarwo.
Setiap adegan masuk Prenjak dibuat sangat natural dan sederhana, bahkan olok-olok Diah dan Jarwo pun berbahasa jawa”Adapun” terkadang mengundang gelak tawa penonton.
Selama 12 menit adegan konyol dan basi disuguhkan kepada penonton yang penasaran.
Siapa sangka sutradara akan membawa penonton ke suatu tempat? akhir yang langsung menimbulkan rasa yang pahit dan pahit.
Adegan terakhir itu, menurut sutradara Wregas Bhanuteja, menjadi alasan utama juri kategori Semaine de la Critique Festival Film Cannes 2016 memilih filmnya sebagai pemenang.
“Wregas, filmmu sangat puitis dan sederhana. Dari awal kami menonton kami tertawa dan menikmatinya candaan dalam dialog tersebut, namun ketika kami melihat adegan ibu memandikan anaknya, kami sepakat, Itu dia. “Inilah pemenangnya,” kata Wregas menirukan ucapan salah satu juri Festival Film Cannes 2016.
Film ini membutuhkan waktu dua hari untuk syuting dan satu minggu untuk diproses pengeditan berhasil mengalahkan sembilan film lainnya, termasuk film asal Filipina, Prancis, Kanada, Brazil, dan Hongaria.
Leica Cine Discovery Prize yang diterima Wregas dan tim mencatat sejarah baru dalam dunia perfilman Indonesia.
Nyata
Film Prenjak Berdasarkan pengalaman hidup seorang sahabat Wregas yang mengaku membeli korek api yang dijual wanita sekitar tahun 1980-1990 wedang keliling di alun-alun Yogyakarta untuk bisa melihat aurat wanita tersebut.
“Visual cerita ini sangat jelas di kepala saya, sehingga saya bertekad untuk menuangkannya ke dalam film,” kata Wregas.
Untuk memberikan penampilan visual terbaik, Alumni Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini memiliki pemeran pengganti (tubuh ganda). Ia berkolaborasi dengan dua model yang biasa difoto dalam keadaan bugil, dengan syarat tak bisa diungkap identitasnya.
“Film adalah potret kehidupan. Jika tidak ada tembakan genitalia, pengalaman apa yang bisa saya bagikan kepada penonton?” dia berkata.
Meski film pendek kelimanya kerap dianggap vulgar dan sensual, Wregas punya pandangan tersendiri tentang alat kelamin perempuan dan laki-laki, yang baginya merupakan metafora dari sifat keduanya yang saling melengkapi.
PrenjakMenurut Wregas, justru menunjukkan semangat perempuan untuk bertahan hidup dengan tetap menjaga harga diri, meski harus mengesampingkan rasa malu.
Semangat ini digambarkan secara unik dan gila melalui kontes seksual, namun tidak menghilangkan kepekaan dan naluri perempuan.
Masukkan karakter Diah PrenjakSutradara berusia 23 tahun ini juga ingin menunjukkan jati dirinya yang ke-Jawa-an, bahwa masyarakat Jawa cenderung mengubah kesedihan dan kepahitan hidup menjadi lelucon.
“Bencana atau kecelakaan merupakan bagian dari perjalanan hidup yang tidak perlu ditangisi terus-menerus,” ujarnya. —Antara/Rappler.com