• September 21, 2024

ISPA yang disertai diare dan asma bisa merenggut nyawa anak-anak

Dokter mengungkapkan, pasien ISPA berjumlah sekitar 149 orang sejak awal tahun 2015. Jumlah tersebut kemudian meningkat dalam 3 bulan terakhir, ketika asap mulai mencemari udara di Palangkaraya.

PALANKARAYA, Indonesia — Bayi berusia 8 bulan itu batuk-batuk. Anisah juga menderita diare. Ibunya, Simyati (30 tahun), mengurung anaknya di rumahnya di Windu, Kalimantan Tengah.

Bukan karena kejam terhadap anaknya, melainkan karena asap tebal menutupi langit Palangkaraya selama tiga bulan.

Saya khawatir, kata Simyati saat ditemui Rappler, Kamis, 29 Oktober di ruang Flamboya RSUD Doris Sylvanus, khusus anak ISPA (pemeriksaan saluran pernapasan).

Simyati kehabisan akal sebelum akhirnya membawa Anisah ke dokter.

Ia menduga anaknya batuk-batuk karena menghirup asap di sekitar rumahnya. “Saya mau pakai masker, tapi dia tidak mau,” ujarnya. Dia tidak bisa memaksakannya.

Eva Fatimah (17), adik Mahmudah (8), juga mengeluhkan hal serupa. Katanya, adiknya batuk-batuk tanpa henti.

Saat Rappler berkunjung, Mahmudah sedang tertidur pulas. Sebuah kertas ditempel di dinding kamar tidurnya yang bertuliskan: “ISPA, Asupan rendah, Leukopenia.” ISPA merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan akut.

Sudah dua hari Mahmudah dirawat di rumah sakit. Namun belum ada perkembangan yang menggembirakan.

Telapak tangannya bengkak karena infus dan perban. Warna kulitnya pucat.

Mirip dengan Anisah, Mahmudah juga tak mau memakai masker karena tak bisa bernapas. Faktanya, cuaca di Mendawai, tempat asalnya, kurang baik untuk anak seusianya, pekat dengan asap.

Berbeda dengan Anisah dan Mahmudah, Padil Rafael (5) masih terlihat lincah berlari kesana kemari. Dia membawa kamera digital. Tekan tombol berulang kali.

Namun menurut Yulianti (25), anaknya baru bisa tersenyum lebar setelah dirawat selama lima hari. Menurut keterangan dokter, Padil menderita gejala ISPA yang berhubungan dengan asma.

Pasien rawat jalan ISPA meningkat tajam

Kepala Humas RSUD Doris Sylvanus, Dokter Theodorus Saptaatmadja mengatakan, rata-rata keluhan yang dialami anak-anak tersebut adalah batuk, sesak napas, dan sakit kepala. Menurut Theo, hal itu terjadi karena mereka menghirup udara yang bercampur asap.

Theo mengungkapkan, sekitar 149 pasien ISPA telah dirawat sejak awal tahun. Jumlahnya kemudian meningkat dalam 3 bulan terakhir, ketika asap mulai mencemari udara di Kota Palangkaraya.

“Dari total 149 pasien, 65 di antaranya adalah anak-anak berusia 1-4 tahun. Dan jumlah anak yang dirawat karena ISPA dalam tiga bulan terakhir mencapai 28 anak,” ujarnya kepada Rappler.

“Apa yang kami lihat adalah peningkatan kasus rawat jalan. Hingga 28 Oktober, pasien anak yang menjalani rawat jalan ISPA berjumlah 226 orang, ujarnya.

Theo mengaku tak khawatir jika hanya mengidap ISPA, namun ia tak bisa tenang jika sang anak juga mengidap penyakit lain, seperti diare dan asma.

“Kalau gejala ISPA memang terlihat dari gejalanya ada batuk, demam, sesak nafas, sakit tenggorokan, kalau menetap bisa jadi gejala pneumonia. “Tetapi yang kami khawatirkan adalah ISPA disertai dengan penyakit yang sudah ada sebelumnya atau penyakit penyertanya,” kata Theo.

Jika kedua penyakit ini menyerang anak-anak, maka anak tersebut bisa meninggal.

Tidak perlu memakai masker N95

Theo kemudian menanggapi isu anak-anak yang tidak memakai masker. Menurut Theo, anak-anak tidak bisa dipaksa memakai masker, meski jenis maskernya berbeda dengan orang dewasa.

Ia menyarankan, “Yang pertama adalah mengurangi aktivitas di luar ruangan,” ujarnya. Jika ingin memakai masker, gunakan saja masker berwarna hijau yang biasa Anda beli di apotek.

Masker biasa ini cukup membantu anak bernapas. Namun akan lebih baik, kata Theo, jika udara Palangkaraya bisa kembali bersih. “Kemarin dua hari hujan ya, cukup cerah,” ujarnya.

Ia berharap hujan akan turun secara rutin, sehingga anak-anak bisa kembali menghirup udara segar dan tidak lagi terpapar asap.—Rappler.com

BACA JUGA

SDY Prize