Jadikan Pilkada Jakarta 2017 ramah bagi penyandang disabilitas
- keren989
- 0
Perampasan hak politik secara paksa karena disabilitas dapat dihukum.
JAKARTA, Indonesia – Pilkada merupakan perayaan demokratis bagi semua orang yang mempunyai hak pilih. Tak terkecuali penyandang disabilitas, baik fisik maupun mental.
Dalam diskusi bertajuk “Menjadikan Pilkada DKI Jakarta 2017 Inklusif Bagi Penyandang Disabilitas” beberapa pemilih penyandang disabilitas menyampaikan aspirasi dan pengalamannya.
“Masih ada keluarga yang malu mendaftarkan kerabatnya sebagai pemilih,” ujarnya peneliti Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPPR) Muhammad Afifuddin di Jakarta, Rabu, 2 November.
Akibatnya, mereka yang harus cukup umur dan memenuhi syarat memilih tidak bisa menggunakan haknya. Bahkan, saat ini Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta sedang gencar mengajak pemilih penyandang disabilitas untuk berpartisipasi.
Sejumlah pengembangan juga dilakukan, seperti pemberian tanda khusus pada rumah yang menandakan adanya pemilih penyandang disabilitas pada proses pencocokan dan penelitian (coklit). Oleh karena itu, KPUD dapat menempatkan tenaga pendamping pada hari pemilihan serta fasilitas dan formulir khusus bagi penyandang disabilitas sesuai kebutuhan. Salah satunya adalah formulir C3 atau formulir pendamping pemilih tunanetra.
Selain itu, Komisioner KPUD DKI Jakarta Betty Idroos juga mengatakan pihaknya tengah menggelar pelatihan.
Psikososial dikesampingkan
Namun, tampaknya tidak semua penyandang disabilitas mendapat pelayanan. Perhatian serupa tidak dinikmati oleh orang-orang dengan gangguan psikososial atau mental. Ketua Perkumpulan Jiwa Sehat Yeni Rosa Damayanti mengatakan, sejauh ini ada 4 panti jompo di Jakarta Barat dan Timur yang pasiennya belum terdaftar sebagai pemilih.
Total, ada 2.800 orang yang seharusnya bisa mengikuti Pilkada Jakarta 2017 mendatang.
“Itu hanya dari (rumah) negara, bukan rumah pribadi,” kata Yeni kepada Rappler.
Menurut dia, atas permintaan Betty, KPUD berkoordinasi dengan lembaga terkait. Panti Laras Jakarta Barat menyatakan akan mendaftarkan 400 pasiennya; dan untuk Jakarta Timur akan dikoordinasikan lebih lanjut.
Yeni mengaku akan terus mencermatinya. Jika tidak, pihaknya akan menjerat lembaga terkait sesuai pasal 148 KUHP. Di sana tertulis, siapa pun yang menyebabkan seseorang tidak menggunakan hak pilihnya, dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan.
Katanya, hal itu dilakukannya saat Pilpres 2014.
“Bawaslu merespons dan merespons dengan baik laporan kami ke KPUD Jakarta Timur. Namun kasus tersebut dibatalkan dengan alasan yang sengaja dianggap tidak cukup kuat, kata Yeni.
Pengalaman pemilih
Aktivis tunarungu Surya Sahetapy mengungkapkan pengalamannya saat mengikuti Pilpres 2 tahun lalu. Beberapa kesulitan yang ditemuinya saat itu adalah saat dipanggil masuk ke bilik suara.
“Kalau dipanggil, karena penampilan kami tidak berbeda dengan yang lain, tidak ada yang sadar kalau kami punya kebutuhan khusus,” ujarnya melalui penerjemah bahasa isyarat Ratripuspita Jasmine.
Selain itu, lanjutnya, banyak penyandang tunarungu lainnya yang merasa malu atau kesulitan untuk datang ke TPS karena merasa kesulitan saat membutuhkan pertolongan.
Katanya, tidak ada kertas dan pulpen atau spidol bagi pemilih tunarungu yang membutuhkan bantuan. Berbeda dengan tunanetra yang mendapat wujud pendamping khusus. Orang tuli tidak.
Hal ini, lanjut putra Dewi Yull dan Ray Sahetapy ini, membuat penyandang tuna rungu enggan mengikuti pemilu.
Belum lagi fasilitas menjelang hari pemilu. Mereka kesulitan mengakses visi misi dan program kampanye calon terkait karena minimnya penerjemah teks berjalan dan bahasa isyarat.
“Saya mengetahuinya dari percakapan keluarga, seperti ayah dan ibu,” kata Surya. Bagi komunitas tunarungu sendiri, kepentingan politiknya cenderung kecil.
Betty berkata dia akan menjawab pertanyaan ini petugas penghubung tim sukses calon gubernur-wakil gubernur untuk dipertimbangkan. Selain itu, mereka juga menyiapkan fasilitas penerjemahan dan menyiapkan running text untuk debat kandidat.
Ia juga menginstruksikan agar TPS dengan pemilih penyandang disabilitas dibuat dengan pintu dengan lebar lebih dari 1 meter dan tinggi meja pemungutan suara tidak lebih dari 80 sentimeter. Relawan dan pendamping khusus juga akan ditempatkan secara khusus.
Menurut Afifuddin, setiap orang berhak memilih, termasuk penyandang disabilitas.
“Pesta demokrasi ini milik kita semua yang sudah memenuhi syarat, jangan sampai ada yang tidak bisa ikut hanya karena difabel. “Setiap orang berhak menggunakan suaranya,” ujarnya. -Rappler.com