• November 26, 2024
Jalannya tindakan penuntutan dari waktu ke waktu

Jalannya tindakan penuntutan dari waktu ke waktu

JAKARTA, Indonesia – Saat ini masyarakat dihebohkan dengan banyaknya upaya menyasar seseorang di media sosial yang kemudian berujung pada intimidasi. Perburuan sewenang-wenang ini menyebabkan para korban mengungsi dari tempat asalnya sehingga mencemarkan nama baik mereka.

Direktur Human Rights Working Group (HRWG) Muhammad Hafiz mengatakan penganiayaan memang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang sudah lama terjadi di seluruh dunia, tidak hanya di Indonesia. Misalnya saja penganiayaan terhadap etnis Yahudi oleh Nazi dan juga penganiayaan terhadap etnis Rohingya di Myanmar, ujarnya, Rabu, 7 Juni di Jakarta.

Di Indonesia, penganiayaan tercatat sejak tahun 1965, dimana orang dengan mudah dibunuh, diadili atau ditahan tanpa pengadilan hanya karena dituduh sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tidak perlu mengecek latar belakang secara pasti, cukup dari bisikan atau laporan palsu saja sasarannya bisa langsung ditangkap dan diadili.

Dalam peristiwa pelanggaran HAM ini, jumlah korban diperkirakan mencapai 500 ribu hingga 3 juta orang.

Hal ini berlanjut pada masa Orde Baru, ketika marak rumor tentang Peter atau penembak misterius yang mengincar orang-orang dengan ciri-ciri tertentu. Kebanyakan dari mereka adalah preman kecil, pelaku berulang kali atau mantan narapidana, dan orang-orang yang dituduh sebagai penjahat.

Orang-orang ini menjadi sasaran para pelaku yang tidak pernah diungkapkan identitasnya, dan kemudian diculik. Sebagian besar korban ditemukan tewas, baik dibunuh secara langsung maupun karena penyiksaan. Jenazah kemudian ditaruh di tempat umum atau dibuang di tempat terlantar. Para algojo langsung menangkap mereka tanpa memastikan apakah targetnya benar-benar bersalah atau tidak.

Tim pencari fakta ad hoc kasus ini mencatat, korban Peter dikabarkan mencapai 2 ribu orang.

Masih dalam waktu dekat, di Jawa Timur sedang dilakukan perburuan terhadap orang-orang yang diduga dukun. Tragedi yang diwarnai unsur mistis ini mendapat perhatian internasional karena pelakunya memakai topeng layaknya ninja.

Berangkat dari ketakutan masyarakat akan pembunuhan akibat ilmu sihir atau ilmu hitam, warga sekitar mulai menyisir dan menangkap orang-orang yang diduga melakukan ilmu hitam. Sayangnya, para korban pembunuhan seringkali melenceng dari tuduhannya. Ada yang kyai, ulama, guru mengaji, aktivis mahasiswa, bahkan jurnalis.

Saat itu, Bupati Banyuwangi menginstruksikan kepada kepala desa, camat, atau camat di wilayahnya untuk mendata orang-orang yang melakukan praktik sihir. Meski disebut-sebut sebagai upaya memberikan perlindungan, daftar yang akhirnya bocor justru menjadi patokan bagi pelaku untuk menghilangkan nama-nama yang ada di dalamnya.

Tak hanya itu, perlawanan warga pun berbalik kepada pelaku pembunuhan yang diketahui merupakan ninja. Ketakutan dan kegelisahan yang melanda warga Banyuwangi saat itu membuat mereka curiga terhadap orang asing yang datang ke wilayahnya. Tak sedikit pula yang ditangkap lalu dipukuli atau dibunuh karena dianggap sebagai ninja pembunuh penyihir hitam.

Tim Pencari Fakta NU mencatat korban pembantaian ini mencapai 253 orang.

Setelah isu dukun santet mereda, perburuan kemudian diarahkan pada kelompok agama minoritas. Sebut saja jemaah Ahmadiyah, Syi’ah dan penganut paham seperti Gafatar.

Sejak tahun 2000, organisasi-organisasi yang mengusung semangat keagamaan tertentu mulai menyasar pengikut Ahmadiyah dan Syiah karena berbeda dan menuduh mereka sesat. Pada tahun 2005, Front Pembela Islam (FPI) menyerang Kampus Mubarak yang merupakan sekretariat Majelis Pengurus Jemaah Ahmadiyah yang berlokasi di Bogor.

Kejadian serupa mulai terjadi di beberapa daerah lain dan mencapai puncaknya pada tahun 2011. Sekelompok orang tak dikenal menyerang sejumlah jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten saat hendak menggelar pertemuan.

Akibatnya, tiga umat paroki tewas dan lima lainnya luka-luka. Diduga penyerangan ini direncanakan karena jumlah massa diperkirakan mencapai 1.000 orang. Polisi setempat yang mengaku mengetahui akan adanya penyerangan, juga tampak mengabaikannya dan hanya mengerahkan personel dalam jumlah kecil.

Sasarannya pun beralih ke kalangan Syiah yang kurang lebih memiliki stigma yang sama dengan Ahmadiyah. Pada Desember 2011, warga Sunni menyerang Dusun Nangkernang yang merupakan pemukiman Syiah. Para penyerang membakar beberapa rumah dan sebuah madrasah, memaksa sekitar 500 warga Syiah mengungsi.

Polisi rupanya membiarkan kejadian tersebut terjadi, hanya menangkap dan menuntut seorang pria Sunni melakukan pembakaran. Setelah itu, warga Syiah kembali menempati dan membangun permukimannya.

Sayangnya, kejadian serupa terulang kembali pada Agustus 2012. Kali ini, satu warga Syiah tewas, 10 orang luka berat, dan sekitar 350 lainnya harus mengungsi lagi. Para penyerang yang menganut aliran Sunni ini mengatakan, warga Syiah hanya bisa kembali ke Nangkernang jika bersedia berpindah aliran.

Hingga saat ini, penganut Syiah masih tinggal di pengungsian di Rumah Susun (Rusun) Jemundo, Jawa Timur tanpa kepastian kapan akan kembali ke rumahnya.

Kebingungan

Perwakilan Gusdurian Network, Alissa Wahid, mengatakan bahwa penganiayaan di Indonesia sebagian besar didorong oleh faktor agama. Pew Research Center pernah mengungkapkan bahwa 95 persen masyarakat Indonesia menganggap agama sebagai faktor yang sangat penting.

“Jadi berbahaya karena sentimen agama kuat. “Kalau dikatakan ofensif dan ada unsur agama, masyarakat cepat bereaksi,” ujarnya.

Apalagi penyebaran provokasi meluas dan terorganisir melalui media sosial. Fakta ini pun membuat polisi dan negara bingung bagaimana menangani para pelanggar. Ada ketakutan di kalangan pihak berwenang bahwa jika mereka bertindak melawan massa atas nama agama, mereka akan dianggap merugikan religiusitas mereka sendiri.

“Polisi takut dianggap jahat, takut menyakiti kelompok agamanya sendiri. “Mereka tidak punya alasan kuat untuk bertindak tegas,” kata Hafiz. Selain itu, dalam kasus tertentu negara sendirilah yang menjadi pelaku penganiayaan.

Meski demikian, baik Alissa maupun Hafiz mengaku sudah ada perbaikan dalam penindakan kasus yang ada saat ini. Baik presiden maupun wakil presiden mengatakan penuntutan harus dihentikan; Sementara itu, pihak berwenang juga telah mengambil tindakan terhadap pelanggar yang diadukan.

Namun, penyelesaiannya tidak akan tuntas bila penggerak massa dan provokator tidak segera ditindak.

Makanya kita dorong mereka mencari celah siapa propagandanya, pelaku utamanya, kaum intelektualnya, apa tujuannya menekan apa, ujarnya.

Insiden yang terus meningkat hingga saat ini patut menjadi pengingat bagi pemerintah akan gawatnya situasi. Penganiayaan yang berkelanjutan dapat menyebabkan genosida terhadap kelompok tertentu. Seperti yang dilakukan Nazi dan etnis Hutu terhadap etnis Tutsi di Rwanda. – Rappler.com

Pengeluaran Sidney