• August 12, 2025

Jangan rusak pilkada dengan isu SARA

JAKARTA, Indonesia — Saat mengumumkan Habibie Festival 2017, mantan Presiden ketiga RI BJ Habibie menceritakan betapa keberagaman adalah kekayaan Indonesia.

Ia sendiri berasal dari ayah dan ibu yang berbeda etnis. “Ayah dan ibu saya menikah pada masa provinsialisme. “Jawa Muda, Ambon Muda itu besar sekali,” ujarnya saat mengumumkan acara festival Habibie di kediamannya di Kuningan, Jakarta Selatan, pada 30 Maret.

Ayahnya orang Bugis Makassar, sedangkan ibunya berasal dari Yogyakarta. Ia menceritakan bagaimana pernikahan orang tuanya dianggap “tidak nyaman” saat itu.

Ia kemudian berpesan kepada masyarakat Indonesia untuk menjaga indahnya keberagaman, mulai dari suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

“Lebih baik disibukkan dengan inovasi dan perkembangan teknologi,” ujarnya sambil tersenyum.

Ahmad Syafii Maarif, pendiri Maarif Institute dan mantan Ketua PP Muhammadiyah saat peluncuran buku Reformasi Doktrin Islam: Jihad, Khilafah dan Terorisme pada 16 Maret juga mengungkapkan keprihatinannya.

“Saya sudah bilang, jangan hentikan hal ini (penodaan agama yang diduga dilakukan salah satu calon gubernur DKI Jakarta). Itu buang-buang energi,” ujarnya.

Isu SARA merebak dalam konteks pemilihan kepala daerah khususnya di DKI Jakarta. Partai Demokrat Warga DKI Jakarta putaran kedua akan digelar pada 19 April 2017, setelah tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen pada putaran pertama.

Paslon nomor urut 1, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni memperoleh suara 17,06%. Paslon 2, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat memperoleh 42,96% suara. Sedangkan pasangan calon nomor urut 3 Anies Baswedan-Sandiaga Uno memperoleh suara 39,97%.

Sejumlah pihak khawatir isu SARA akan melemahkan kualitas demokrasi Indonesia. Direktur Eksekutif Institut SETARA Hendardi mengatakan eksploitasi isu SARA akan “melumpuhkan kewarasan masyarakat”. Dengan kata lain, masyarakat akan menjadi tidak logis, tidak akan memilih berdasarkan kinerja dan prestasi calon mitra.

Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) membuktikan hal tersebut Pendukung kedua pasangan calon terpecah menjadi kelompok agamaetnis, pendidikan dan pendapatan.

SETARA Institute, organisasi kemasyarakatan yang bertujuan mengedepankan keberagaman, mengajak masyarakat untuk peduli dan proaktif dalam meredam isu SARA di Pilgub DKI Jakarta. Presiden keempat Republik Indonesia, Abdurahman “Gus Dur” Wahid sekaligus tokoh Islam Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu pendiri SETARA Institute.

Petisi online di situs web perubahan.orgJangan Rusak Pilkada edisi SARA yang diterbitkan oleh lembaga yang mempunyai keterangan “Berpikir, bertindak, bertahan”. Petisi tersebut ditujukan kepada Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

Dengan adanya keyakinan bahwa “diskriminasi berbasis SARA merupakan salah satu bentuk kejahatan”, diharapkan masyarakat ikut mendorong pemerintah dan Polri untuk meredam persoalan SARA.

Pemerintah memang berusaha meremehkan isu SARA yang bisa memecah belah bangsa. Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memblokir sejumlah situs yang mengandung SARA.

Kapolri Tito juga berkali-kali menyampaikan komitmen Polri dalam meredam isu SARA. Komitmen tersebut dibuktikan dengan ditangkapnya pengguna media sosial yang menyebarkan isu SARA.

Selain itu, Polri juga menurunkan spanduk berisi SARA.

Meski demikian, upaya pemerintah dan Polri tetap perlu diawasi. Kita sebagai masyarakat mempunyai hak untuk berbicara. Padahal, sesuai pasal 27 ayat 3 UUD 1945, sudah menjadi kewajiban warga negara kita untuk bela negara. Negara kita adalah negara Pancasila. Negara yang menjaga keberagaman, Bhinneka Tunggal Ika atau “beragam namun tetap satu”.

Negara Pancasila sudah final, tidak bisa diganggu gugat, kata Musdah Mulia yang mewakili Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP) pada konferensi pers Semiloka’ Indonesia di persimpangan negara Pancasila melawan negara Agama. pada tanggal 8 April.

Seminar ini digelar karena sejumlah organisasi masyarakat merasa prihatin dengan maraknya isu SARA. Meluasnya isu SARA dikhawatirkan akan memecah belah bangsa hingga akhirnya Indonesia menjadi negara yang berdasarkan agama, bukan Pancasila. Panitia semi lokal ingin mendorong masyarakat untuk menjaga keberagaman di Indonesia.

Komunitas Manusia 100 Persen dan Jakarta Good Guide sebagai perwakilan masyarakat sipil juga berinisiatif untuk mendorong masyarakat agar mencintai keberagaman. Mereka menjadi penyelenggara tur jalan kaki sekitar rumah ibadah di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat.

“Kami ingin masyarakat (peserta) ini merasakan dan mengetahui bahwa di daerah sekecil Pasar Baru, terdapat berbagai tempat ibadah berbagai keyakinan…sampai saat ini mereka hidup rukun dan berdampingan. Toleransi, tidak ada kerusuhan, kata Farid Mardhiyanto, pendiri Jakarta Good Guide, pada 25 Maret.

Upaya sejumlah organisasi kemasyarakatan/komunitas juga patut diapresiasi. Mereka ingin semakin banyak masyarakat yang peduli dan bahu-membahu mengurangi isu SARA. Namun menurut Albertus Patty, perwakilan Jaringan Lintas Agama Indonesia (JAII), jumlah masyarakat yang bersuara dan berupaya meredam isu SARA masih belum mencukupi.

“Pemerintah dan Kapolri menegaskan bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia yang tidak dapat diganggu gugat. Yang kurang saat ini adalah dukungan dari mayoritas yang diammasyarakatnya sepi,” kata Albertus dalam jumpa pers Semiloka Indonesia di Persimpangan Jalan: Negara Pancasila vs Negara Beragama, Sabtu, 8 April 2017.

Apakah kamu bagian dari smayoritas jelek?

Ini saatnya Anda berubah. Satu hal sederhana yang bisa dilakukan adalah menandatangani petisi online Di Sini. Ayo jaga keberagaman Indonesia dengan mengurangi isu SARA.

Menurut Anda, adakah hal lain yang bisa dilakukan untuk menjaga keberagaman Indonesia? Coba tulis di kolom komentar. —Rappler.com

togel