• May 7, 2025
Jawaban kedua paslon Pilkada DKI bersifat normatif dan defensif

Jawaban kedua paslon Pilkada DKI bersifat normatif dan defensif

Jawaban yang dilontarkan kedua calon Pilgub DKI cenderung bermain aman.

JAKARTA, Indonesia – Debat publik final Pilkada DKI Jakarta 2017 telah usai. Adu mulut dua paslon calon DKI 1 kali ini bersifat normatif dan ‘damai’ dibandingkan sebelumnya.

Tak hanya suasana perdebatan atau perilaku pendukung paslon, jawaban yang diberikan paslon pada setiap pertanyaan juga cenderung bermain aman.

“Mungkin karena aku sadar waktu terluka Dan pemilih “Saya sudah punya referensinya,” kata salah satu anggota tim panelis debat ini, Gun Gun Heryanto, Rabu, 12 April 2017, di Jakarta.

Gun tidak hanya merujuk pada satu pasangan calon, menurutnya keduanya memainkan strategi yang sama dalam debat kali ini. Mereka tidak perlu lagi melontarkan argumentasi yang ofensif karena 3 debat pada putaran pertama telah membentuk polarisasi pemilih.

Kedua pasangan calon tidak lagi menanggung beban perebutan pemilih, karena waktu pemungutan suara semakin dekat dan mayoritas pemilih sudah menentukan pilihannya. Kali ini mereka sekadar mempertajam ide yang mereka sampaikan dan menunjukkan komitmen.

Beberapa contoh yang ia berikan adalah dari segi birokrasi. Pertanyaan pembuka dari para panelis menyoroti hubungan antara pemerintah provinsi dan DPRD. Ahok dan Djarot masih menjual program transparansi anggaran elektronik Sementara Anies juga menekankan keterlibatan warga.

Jawaban-jawaban tersebut seolah mengulang perdebatan sebelumnya yang membahas persoalan yang sama, tanpa menawarkan sesuatu yang baru.

Terkait transportasi, panelis Yayat Supriatna yang sudah lama berkecimpung di bidang ini juga mengutarakan hal serupa. “Masih normatif, seperti integrasi. “Bagaimana mengintegrasikan konsepnya belum terjawab,” ujarnya.

Ahok menyarankan agar Transjakarta menambah rute dan rute dengan menggandeng armada angkutan umum lain seperti KWK. Namun sarana transportasi lain seperti Metromini masih tidak terpengaruh.

Sementara itu, Sandi menjelaskan mengenai program OK-Otrip yang artinya warga Jakarta hanya perlu membayar Rp 5 ribu untuk menggunakan seluruh angkutan umum di ibu kota. Sisanya akan disubsidi oleh pemerintah. Menurut Yayat, pola subsidi ini masih menjadi pertanyaan.

“Ada kesan menjadikan subsidi sebagai masalah besar, tapi strategi agar subsidi benar-benar murah ini pekerjaan rumah (bagi gubernur),” ujarnya.

Pemerintah provinsi memang memberikan subsidi untuk angkutan umum yang dikelolanya. Namun bagi yang tidak memilikinya, seperti angkutan umum dan lainnya, tetap harus berjuang sendiri.

Bahkan, kata Yayat, bukan hal yang aneh jika mereka memberikan subsidi kepada penumpangnya. Ibarat naik bus umum, kalau masih anak sekolah diturunkan harganya menjadi Rp4 ribu hingga Rp2 ribu, ujarnya.

Bahkan, para panelis berharap akan ada jawaban yang menjawab permasalahan yang lebih luas seperti sikap terhadap transportasi umum berbasis aplikasi. Namun, hal itu juga masih belum tersentuh. Selain karena jumlah pertanyaan yang terbatas, juga karena pasangan calon lebih memilih mengulang-ulang lagu lama.

“Dari awal (debat), kami tidak berani keluar dari konsep lama. “Tidak ada pola baru yang ditawarkan,” kata Yayat.

Keterlibatan warga

Namun Gun menilai debat ini lebih baik dibandingkan Pilkada DKI Jakarta 2012 karena masyarakat lebih terlibat. Perwakilan kelompok masyarakat bahkan bisa bertanya langsung kepada pasangan calon mengenai permasalahan di sekitar mereka.

“Bukan sekedar (menonton) siaran, tapi tampil. “Dan tidak hanya secara simbolis, tapi juga untuk bertanya,” ujarnya. Draf ini bisa menjadi pertimbangan KPU untuk memperbarui aturan mengenai perdebatan.

Menurutnya, munculnya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan langsung dari masyarakat seharusnya menjadikan sesi ini menarik. Melalui interaksi tersebut, pasangan calon dapat mengetahui secara langsung permasalahan apa saja yang menimpa warganya.

Sayangnya, para kandidat terlalu cepat mengetahui proyeksi posisinya dalam kontestasi politik ini, sehingga momen yang seharusnya memanas malah menjadi dingin. Seandainya diadakan sejak debat putaran pertama, keadaan bisa saja berbeda.

“Harus dibiasakan, agar partisipasi masyarakat menjadi bagian dari kompetisi,” ujarnya. – Rappler.com

Togel Sidney