• November 24, 2024

Jelang Sidang ke-27 Dewan HAM PBB, Indonesia Kembali Disoal Soal Hukuman Mati dan Papua

JAKARTA, Indonesia – Delegasi Indonesia hadir sebelum sidang Universal Periodic Review (UPR) siklus ketiga di Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa pada Rabu, 3 Mei. Acara ini dimanfaatkan 193 negara anggota PBB untuk mengoreksi dan meninjau kembali penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di negara asalnya.

Untuk menunjukkan keseriusan pemerintah, delegasi Indonesia dipimpin langsung oleh dua menteri, yakni Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Dalam keterangan tertulis Selasa lalu, Kementerian Luar Negeri menyatakan telah melakukan persiapan matang menghadapi ratusan delegasi dari berbagai negara.

Rabu lalu, total 103 negara meninjau perkembangan HAM di Indonesia. Sesi untuk Indonesia dimulai pukul 14.00 WIB dan berlangsung selama tiga jam ke depan.

Sesuai harapan delegasi Indonesia, ada dua isu yang diangkat oleh sebagian besar negara peserta forum tersebut, yakni penghapusan hukuman mati dan pelanggaran HAM di Papua. Rappler mencatat bahwa hampir setengah dari 103 negara peserta menyerukan penghapusan hukuman mati di Indonesia. Ini termasuk Panama, Portugal, Moldova, Rumania, Slovakia, Korea Selatan, Inggris, Austria, Belgia, Australia dan Brasil.

Khusus dua negara terakhir yang disebutkan, warganya juga dieksekusi karena kasus narkoba. Eksekusi tersebut dilakukan di bawah pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, yang sejak awal melancarkan perang terhadap narkoba. Maka sejak awal pemerintahannya, Jokowi telah menghidupkan kembali hukuman mati bagi pelaku kejahatan tersebut.

“Brasil menyayangkan sikap pemerintah Indonesia yang menghidupkan kembali hukuman mati bagi kejahatan narkoba bahkan berdampak langsung pada warga negara kita. “Untuk itu, kami menyerukan kepada pemerintah untuk menerapkan kembali moratorium dan akhirnya menghapus denda,” kata Eden Clabuchar Martingo, perwakilan tetap Brasil di PBB Jenewa, saat menyampaikan rekomendasinya, Rabu, 3 Mei.

Lalu apa tanggapan pemerintah Indonesia? Yasonna kembali merujuk pada data penyalahgunaan narkoba yang terjadi di Indonesia. Ia mengatakan, setiap tahun 12 ribu orang meninggal karena psikotropika. Sebanyak 4 juta orang di Indonesia kecanduan narkoba.

“Jika Anda atau keluarga Anda menjadi korban penyalahgunaan narkoba, maka Anda akan memahami betapa berbahayanya hal tersebut. “Tidak ada masa depan bagi anak-anak dan remaja,” kata Yasonna menjawab pertanyaan dan kekhawatiran negara-negara tersebut.

Apalagi, kata Yasonna, hukuman mati masih menjadi bagian dari hukum positif Indonesia. Hukuman ini tidak bertentangan dengan hukum internasional lainnya.

Perdebatan tidak hanya terjadi pada tingkat global. Tapi, kata Menteri PDIP, pembicaraan intens juga terjadi di Indonesia.

Kedepannya, Indonesia berniat membatasi penerapan hukuman mati pada masa lalu Pemerintahan Jokowi mengeksekusi 18 terpidana kasus narkoba. Kebanyakan dari mereka adalah orang asing.

“Jika terpidana berbuat baik, hukumannya bisa dikurangi setelah menjalani hukuman 10 tahun penjara. “Hukumannya bisa diubah menjadi penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun,” ujarnya.

Tidak efisien

Sementara itu, di tempat terpisah digelar acara nonton bareng dan diskusi kelompok mengenai sidang UPR di Cikini, Jakarta Pusat. Perwakilan Imparsial, Ardi M. Adipura, mengatakan sejak awal berbagai pihak sudah menyampaikan kepada pemerintah bahwa hukuman mati tidak efektif untuk membuat jera pelaku narkoba.

Ketika negara-negara lain mulai menghapuskan hukuman mati, Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi justru menerapkan kembali hukuman mati.

“Pemerintah harus lebih fokus pada pendekatan pendidikan dan kesehatan untuk mengurangi penggunaan narkoba,” kata Ardi.

Sementara itu, perwakilan Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyatakan pemerintah Indonesia sebenarnya bersedia menerapkan moratorium hukuman mati. Namun saat ini hukuman tersebut masih tertulis dalam KUHP. Bahkan dijadikan dasar dalam melaksanakan hukuman di negara tersebut.

“Dalam pasal 10 KUHP tertulis: ‘pidana terdiri dari tindak pidana berat – hukuman matipenjara, penjara, dan denda – serta pidana tambahan – pencabutan hak tertentu, penyitaan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.’” ujarnya menirukan isi aturan tersebut.

Ia menegaskan, jika sebagian masyarakat ingin menghapuskan hukuman mati di Indonesia, maka diperlukan dorongan dari semua pihak untuk merevisi isi KUHP.

“Untuk itu perlu dorongan dari sesama CSO (Organisasi Masyarakat Sipil) untuk melakukan perubahan undang-undang dalam KUHP,” ujarnya.

Informasi eksklusif?

Sementara isu Papua masih terfokus pada dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat militer. Bahkan, delegasi AS, Jessica Carl, secara khusus mengungkapkan keprihatinannya terhadap pembatasan yang dilakukan otoritas keamanan terhadap kebebasan berekspresi di Papua dan Papua Barat.

“Kami menyadari pemerintah Indonesia gagal menyelesaikan kejahatan yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian dan militer. “Kami juga merekomendasikan agar pemerintah Indonesia segera menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu,” kata Carl kepada delegasi.

Retno menjawab pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa telah terjadi perubahan besar di bawah pemerintahan Jokowi terhadap Papua.

Ada tiga kemajuan yang dilakukan mantan duta besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda terkait isu Papua. Pertamapemerintah menyederhanakan dan memberikan akses luas kepada jurnalis yang ingin memberitakan Papua.

“Hasilnya, kunjungan jurnalis ke Papua meningkat sebesar 41 persen pada tahun 2015. Berbeda dengan tahun 2014,” ujarnya.

Pada tahun 2017, Retno mengaku telah memberikan izin masuk ke Papua untuk 8 orang jurnalis. Kemajuan KeduaPapua dan Papua Barat diberikan status otonomi dan anggaran yang jauh lebih besar dibandingkan provinsi lain, yakni mencapai Rp69,71 triliun.

Ketiga, tiga kasus pelanggaran HAM di Wasior, Wamena, dan Paniai diproses dan diselesaikan Komnas HAM. Berkas tersebut kemudian diperiksa di Kejaksaan Agung dan kemudian dibawa ke Pengadilan Hak Asasi Manusia di Makassar.

Namun menurut lembaga KontraS, belum pernah ada informasi sebelumnya yang menyebut pemerintah sedang menangani ketiga kasus HAM tersebut. Selain itu, ia akan diseret ke Pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc di Makassar.

“Informasi ini bahkan belum pernah didengar oleh para korban. Bagaimana informasi penting ini bisa eksklusif dan disampaikan di Jenewa, jauh dari sumber masalahnya? di Papua?” tanya Koordinator KontraS, Yati Andriyani lewat pernyataan tertulis Rabu lalu.

Selamat datang

Meski mendapat kritik dari 103 negara, sebagian besar juga menyambut baik laporan HAM delegasi Indonesia. Salah satu yang mendapat apresiasi adalah ratifikasi berbagai konvensi internasional terkait hak asasi manusia.

Bagi Retno dan Yasonna yang memimpin delegasi Indonesia, hal tersebut merupakan tanda kemajuan yang dilihat dunia internasional dalam perlindungan hak asasi manusia di Tanah Air. Laporan yang disampaikan delegasi Indonesia memuat capaian 150 rekomendasi yang diterima pada sesi siklus kedua di Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada tahun 2012. Laporan ini dibagi menjadi 13 kelompok.

Pemerintah Indonesia sejak awal berharap sepanjang sidang UPR tidak ada tindakan saling menghakimi dan saling tuding. Direktur Hak Asasi Manusia Kementerian Luar Negeri Dicky Komar mengatakan, forum ini sebaiknya digunakan untuk berdialog dan berbagi pembelajaran daripada hanya menyasar satu negara.

Pada hari ini, Indonesia akan memutuskan negara mana yang akan menerima rekomendasi tersebut. Jika satu rekomendasi diterima, konsekuensinya harus dilakukan pemerintah dalam lima tahun ke depan.– dengan pelaporan oleh Santi Dewi/Rappler.com

Keluaran SGP