Jenderal militer Filipina memilih mengundurkan diri setelah Abu Sayyaf mengeksekusi sandera
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Sandera Kanada John Risdel dieksekusi pada Senin, 25 April, karena pemerintah tidak memenuhi permintaan uang tebusan.
JAKARTA, Indonesia – Komandan Brigade Pasukan Militer di Pulau Sulu, Filipina, Alan Arrojado memilih mundur dari jabatannya pada Selasa, 26 April. Menurut dua sumber Rappler, pengunduran diri Arrojado terkait dengan insiden eksekusi sandera asal Kanada yang dilakukan kelompok milisi Abu Sayyaf.
Berdasarkan informasi dari sumber tersebut, dalam surat pengunduran diri Arrojado disebutkan bahwa alasan pengunduran dirinya terkait perbedaan pendekatan strategis dalam menghadapi ancaman Abu Sayyaf di Pulau Sulu.
Pada Senin sore, 26 April, Abu Sayyaf mengeksekusi seorang sandera asal Kanada, John Risdel, setelah melewati batas waktu pembayaran uang tebusan. Faktanya, Abu Sayyaf telah memperpanjang batas waktu sebanyak dua kali sejak mereka menculik Risdel pada September 2015.
Pria berusia 68 tahun itu diculik bersama tiga orang lainnya saat berada di Pulau Samal di Davao. Saat mengetahui uang tebusan belum diberikan, Abu Sayyaf memenggal kepala Risdel. Mereka kemudian membuang kepalanya yang terbungkus plastik di sudut jalan Pulau Jolo pada Senin malam.
Pembunuhan tersebut memicu kemarahan pihak berwenang di Filipina, Kanada, dan dunia.
Perjalanan karir Arrojado di Pulau Sulu tidak berjalan mulus. Sebelumnya pada tanggal 5 April, ia dipecat sebagai komandan Kelompok Tugas Gabungan Sulu yang bertugas mengawasi seluruh operasi keamanan di provinsi tersebut. Namun, ia tetap diizinkan menjabat sebagai komandan brigade 501.
Pada hari Senin, Presiden Benigno Aquino III memerintahkan Angkatan Bersenjata Filipina untuk segera melakukan operasi militer untuk menyelamatkan keempat sandera. Namun, di mata pengamat teror Wawan Purwanto, langkah Aquino mengumumkan instruksi tersebut tidak tepat.
Padahal, akan lebih aman jika pemerintah Filipina tidak perlu mengumumkannya dan melakukan operasi senyap, kata Wawan yang dihubungi Rappler melalui telepon pada Senin malam, 25 April.
Kondisi 14 sandera asal Indonesia diketahui masih baik. Perusahaan pemilik kapal PT Patria Maritime Lines siap membayar uang tebusan yang diminta Abu Sayyaf sebesar 50 juta peso atau Rp 14,2 miliar.
Meski begitu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo bersikeras membayar uang tebusan.
“Tidak ada hubungannya dengan uang tebusan,” katanya.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini pun mengaku berat menjalankan misi penyelamatan 14 WNI.
“Kami memang ingin para sandera dibebaskan, tapi kami juga harus menyadari bahwa (kejadian penyanderaan) terjadi di negara lain. “Kalau mau ke sana juga harus izin, kalau mau pakai TNI juga harus izin,” kata Jokowi.
Sikap pemerintah Filipina tidak mudah karena jika ingin mengizinkan militer Indonesia masuk, mereka memerlukan persetujuan parlemen. Untuk itu, pekan ini ia berencana menggelar pertemuan antara 3 Menteri Luar Negeri dan Panglima TNI.
Tujuannya untuk membahas patroli bersama sehingga bisa memastikan jalur pelayaran di Filipina selatan aman. – Rappler.com
BACA JUGA: