• November 24, 2024

Jim “Bob” Moffet, bos Freeport yang saya kenal

JAKARTA, Indonesia ̶ Bagi banyak orang, asosiasi isu lingkungan hidup dengan nama James Robert “Jim Bob” Moffett, mantan CEO dan ketua Freeport McMoRan ‘oksimoronatau dua arti yang berlawanan seperti “pertengkaran berbisik”. Pasalnya, tokoh kontroversial ini pernah menyebut PT Freeport adalah pencemar pertambangan Indonesia “setara aku kencing di Laut Arafura”.

Atau komentarnya tentang gunung suci Grassberg as “gunung berapi yang dipenggal secara alami dan kami mengeksploitasi kerongkongan”. Namun bagi saya pribadi, persepsi tersebut tidak semuanya benar.

Mengenal Bos Freeport

Washington DC, AS, Musim Gugur 2002. Saya menghadiri upacara pernikahan Senior VP Vice President PT Freeport Indonesia di Masjid Muhammad Ali di 4th Street NW. Meninggalkan ruangan, saya bergegas kembali ke kantor saya, di Bank Dunia, yang terletak di 1818 Penn Ave.

Tiba-tiba dua orang bertubuh tinggi menghentikan langkahku. Salah satu dari mereka berwajah tampan dengan rambut ala Elvis Presley dan menyapanya :”Dr. Lubis, saya Jim Bob dan ini dr. Jim Miller, bisakah kita bicara sebentar?” Aku kaget karena walaupun aku pernah mendengar nama itu, aku hanya bertemu langsung dengannya.

Jim Miller tertawa:” Kami bertemu ketika Anda berada di BAPEDAL (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan). Anda membuat kami sangat pusing”. Jim Bob yang lebih dikenal dengan sebutan JRM di kalangan PTFI tersenyum tipis :” Saya dengar Anda sekarang bergabung dengan Bank Dunia, tapi apakah Anda tertarik untuk bergabung dengan PTFI suatu hari nanti? Oh, kami ada janji lagi, biar Jim menghubungi Anda lebih lanjut. Terima kasih”. JRM dan Jim kemudian masuk ke dalam mobil. Jim Miller adalah kepala ilmuwan Freeport di New Orleans.

Sebulan kemudian, Jim Miller kembali ke DC dan kami makan siang di Capital Grille, 601 Penn Ave. Restoran mahal ini sering dikunjungi oleh tokoh politik dan bisnis. Dekorasinya sangat Amerika dengan kursi kulit, patung barat Karya Remmington, aroma wiski dan cerutu.

Kami sudah memesan daging panggang, Jim meminta martini. Sambil menunggu pesanan, aku bertanya pada Jim, “Mengapa tawaran itu? Apa pendapat JRM mengenai isu lingkungan? JSaya, sambil menyesap martini, menjawab, “Oh, menurutnya masalah lingkungan sama seperti izin operasional lainnya dan kita harus mengamankannya untuk menjalankan bisnis.”

Saya terkesan dengan jawabannya sungguh-sungguh dan pragmatik. Misalkan Jim berkata: ” Van dia menyukai burung, katak, dan pepohonan”. Maka saya akan menjawab : “Menurutku itu omong kosong….”

Sejak saat itu, setiap kali berangkat ke DC untuk urusan bisnis, Jim selalu mendapat suguhan di Capital Grille dan berdiskusi mengenai isu lingkungan hidup PTFI. Persoalan ini sebenarnya tidak terlalu aneh karena saat di BAPEDAL kami membahas AMDAL.

Tentu saja di sisi yang berlawanan. Setiap sebelum berangkat, Jim tak lupa mengingatkannya akan tawaran JRM. Saat itu, saya bertugas di Bank Dunia di enam negara di kawasan Afrika. Bepergian dan bekerja memang cukup melelahkan secara fisik dan mental.

Pada akhir tahun 2003, Bank Dunia telah menerapkan desentralisasi. Banyak staf yang ditawari atau dipaksa bekerja di daerah tersebut “kesepakatan bersama”, diberhentikan dengan uang pesangon. Saya ditawari pindah ke Abuja-Nigeria. Istri saya berkomentar singkat: “Warga Nigeria hanya pindah ke Tanah Abang.”

Tidak ada kesempatan. Saya segera menghubungi Jim Miller untuk menerima tawaran PTFI sebagai Senior VP SHE (Safety Health and Environment). Jim segera menjawab, “ JRM senang dengan keputusan Anda”.

Bekerja di Freeport Indonesia

Pada pertengahan tahun 2004, saya mengunjungi lokasi tambang PTFI di Tembagapura, Papua. Ini adalah ketiga kalinya dikunjungi. Saya pernah berkunjung ke sana sebagai staf senior di BAPEDAL. Dari mata seseorang spesialis lingkungan hidup, Lokasi tambang PTFI sangat mengesankan.

Dalam rentang waktu kurang lebih 100 km, operasi penambangan ini mencakup 5 zona ekologi mulai dari pantai hingga zona sub-alpin di Puncak Cartenz. Jutaan ton sampah ekor (limbah pertambangan) menimbun Sungai Ajkwa dan ratusan hektar hutan, tapi timbunan ekor juga mendorong ekosistem baru.

Hutan, rawa, dan sungai di sekitarnya masih dihuni oleh berbagai jenis ikan dan satwa liar. Tidak dapat dipungkiri bahwa operasi penambangan mempunyai dampak terhadap lingkungan. Untuk mendeteksi dan memantau polusi. PTFI memiliki laboratorium lingkungan hidup terbaik di Indonesia yang dikelola dan diawasi oleh dr. Wisnu Susetyo.

Departemen Lingkungan Hidup di PT FI juga memiliki staf yang sangat terpilih di bidang ekologi pesisir, toksikologibinatang buas, manajemen lingkungan dan audit lingkungan, dan sejumlah keterampilan terkait lainnya. Beberapa di antaranya merupakan putra-putri Papua.

Tidak hanya di bidang lingkungan hidup, secara umum PTFI merupakan “kawah candradimuka” bagi ahli geologi, ahli metalurgi, sistem manajemenT insinyur, pengacara, antropolog, ahli penyakit tropis dan sebagainya. Banyak “alumni PTFI” yang kini tersebar di industri pertambangan di Indonesia dan dunia. Seperti sekelompok alumni PTFI yang saya temui di Afrika dan Mongolia.

Aspek PTFI sebagai wahana “pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia” jarang diketahui oleh khalayak di Jakarta maupun dunia internasional karena alasan politik atau keamanan. Kini tenggelam dengan skandal transkrip rekaman #papamintasaham.

Jim “Bob” Moffet yang saya kenal

Tak bisa dimungkiri, pemberitaan buruk tentang PTFI juga kerap disebabkan oleh kepribadian Jim Bob yang kontroversial. Terlepas dari kontroversi, apa urusan Jim Bob terkait isu lingkungan hidup PTFI?

Ini adalah pendapat pribadi saya. PertamaJRM memberikan atau menaikkan profil profesi lingkungan hidup ke tingkat “keputusan perusahaan pembuat” Pada saat itu, mungkin hingga saat ini, sangat jarang seseorang yang berlatar belakang lingkungan hidup dapat menduduki jabatan tinggi di perusahaan pertambangan, energi, atau industri. Hanya paling banyak Senior Pengelola.

Dalam kasus PTFI, saya berturut-turut menjabat sebagai SVP, EVP, Direktur dan terakhir Wakil Presiden Direktur selama kurun waktu 4 tahun!

Kedua, posisi tersebut tidak berarti banyak tanpa dukungan anggaran dan kewenangan. Tanpanya, program lingkungan hidup (maupun program lainnya) tidak akan bisa berjalan dengan baik. Dalam hal ini yang mempunyai kekuasaan paling besar adalah CFO (Kepala Bagian Keuangan). Ini adalah aturan permainan perusahaan.

Seringkali saya harus bertengkar dengan akuntan ataupenghitung kacang” apa yang dianggap oleh lingkungan “Pusat biaya” yang tidak produktif apalagi memberikan kontribusi bagi keuntungan perusahaan.

Saat itu, manajemen Freeport McMoRan, induk perusahaan PTFI, didominasi oleh sosok Jim Bob. salah satu pendiri, pemilik dan CEO. Perkataan-Nya adalah hukum. Mungkin karena rekrutmennya yang unik di Washington DC, para manajer di PTFI mengira saya punya “kedekatan” dengan JRM.

Dalam beberapa pertemuan, JRM tak segan-segan memberi perintah bahkan pernah memarahi CFO jika program lingkungan hidup tersendat. Seringkali para CFO di Jakarta, PTFI atau di New Orleans terpaksa mendanai program-program yang “dari kotakmisalnya program repatriasi (pemulangan) atau penyelamatan satwa liar: penyu hidung babi, pademelon (kanguru kerdil) dan pendidikan anak Papua di bidang lingkungan hidup. Yang terakhir menerima penghargaan internasional.

Masalah lingkungan pasca-Jim Bob

Minggu ini saya mendengar bahwa Jim Bob harus mengundurkan diri sebagai ketua dewan direksi Freeport McMoran di bawah tekanan investor baru.

Drama korporasi ini tidak hanya terjadi di PTFI. Ketika sebuah perusahaan menghadapi masalah keuangan, isu lingkungan selalu muncul “prioritas terakhir dan paling tidak”. Inilah yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Dalam kasus perusahaan berskala raksasa seperti pertambangan atau perkebunan kelapa sawit, dampak dan risiko lingkungan hidup juga sangat besar. Jika kepedulian terhadap lingkungan dikorbankan, bencana ekosistem bisa saja terjadi.

Pada tahun 2008, saya keluar dari PTFI, tidak lama setelah JRM tidak lagi menjabat sebagai CEO, namun masih menjabat sebagai ketua dewan direksi. Saya bekerja di Asian Development Bank (ADB) di Manila. Namun hubungan pribadi kami tetap “dekat”.

Pada beberapa kesempatan mengunjungi Washington, saya menelepon JRM. Kalau dia ke Jakarta, saya juga akan minta waktu bertemu. Pada tahun 2014, kami bertemu sekitar 20 menit di sebuah hotel di Kuningan. Kami memikirkan “masa lalu PTFI yang indah” dan sepak bola Amerika.

JRM dulu bermain sebagai menangani untuk Universitas Texas Long Horn. Dia bertanya tentang anak saya, Iliad Lubis, yang juga masih kecil tekel/gelandang bertahan untuk tim Sekolah Menengah Walt Whitman- -Viking di Maryland. Kami jarang membicarakan masalah bisnis atau pekerjaan. Jim Bob, sosok kontroversial dan legendaris ini, terlihat lelah. Saya tidak meminta bagian. – Rappler.com

Dr. Rusdian Lubis, kini konsultan dan dosen pertambangan energi paruh waktu di STC ITB dan PPLHai UI. Mantan Ketua Panel Tinjauan Kepatuhan ADB-Manila; Wakil Eksekutif Ppenduduk / Departemenuty CEO PT Freeport Indonesia, Senior Environmental Specialist, Bank Dunia, Washington DC, DDirektur Amdal BAPEDAL/KLH dan dosen Universitas Hasanuddin dan Eisenhower Fellow, 1990


.

Pengeluaran Sidney