
Jokowi mempertimbangkan masukan dari luar saat menunda eksekusi 10 terpidana mati
keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
BJ Habibie, Komnas Perempuan, Amnesty International, Sekjen PBB menyerukan Indonesia menghapuskan atau setidaknya moratorium praktik hukuman mati
JAKARTA, Indonesia – Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan pemerintah Indonesia mendapat masukan dari berbagai pihak sebelum memutuskan menunda eksekusi 10 terpidana mati pada Jumat, 29 Juli.
“Pertama, berbagai masukan yang disampaikan Pak. Habibie, Komnas Perempuan diberikan, dan berbagai masukan dipertimbangkan oleh pemerintah,” kata Pramono kepada wartawan.
Sebelumnya, mantan Presiden BJ Habibie menyurati Presiden Joko “Jokowi” Widodo soal status hukum salah satu terpidana mati Pakistan, Zulfiqar Ali.
Salah satu alasan Habibie meminta penerapan hukuman mati ditinjau ulang adalah karena ada proses peradilan yang tidak tepat.
“Dalam laporan pengacara dan lembaga swadaya masyarakat yang mengkaji hukuman mati, Zulfiqar Ali, warga negara Pakistan, dinyatakan tidak bersalah,” tulis Habibie dalam suratnya.
Pada kesempatan lain, Komnas Perempuan menyatakan persidangan terhadap terpidana mati lainnya, Merry Utami, tidak adil. Berdasarkan temuan Komnas Perempuan, Merry merupakan korban sindikat perdagangan manusia.
Saat ini Merri dan pengacaranya sedang menunggu pengampunan presiden.
(BACA: Mengenal Merri Utami, Terpidana Mati Korban Penipuan Sindikat Perdagangan Manusia)
Sementara itu, sejumlah lembaga dan organisasi internasional juga mengkritik tindakan Indonesia yang masih menerapkan hukuman mati terhadap narapidana narkoba.
Misalnya, Uni Eropa telah meminta Indonesia untuk menghapuskan praktik hukuman mati atau setidaknya memberlakukan moratorium terhadap praktik tersebut. Sementara itu, kata Amnesty International Eksekusi tersebut akan menempatkan Jokowi pada posisi yang salah dalam sejarah.
Hal ini juga didukung oleh pernyataan Ban Ki-moon, Sekretaris Jenderal PBB. Ban mengatakan, berdasarkan hukum internasional, hukuman mati hanya dapat diterapkan pada kejahatan yang sangat serius. “Kejahatan narkoba secara umum tidak termasuk dalam kategori ini,” kata Ban.
Berbagai usulan yang muncul tentunya akan dipertimbangkan oleh pemerintah, karena melakukan hal seperti ini bukanlah hal yang menggembirakan, kata Pramono.
Meski demikian, Pramono menegaskan eksekusi mati tetap diatur undang-undang. Tindakan ini harus dilakukan karena narkoba dapat merugikan generasi bangsa.
Sebab, melakukan hal seperti itu bukanlah suatu hal yang membahagiakan, kata Pramono.
Meski demikian, Pramono menyebut keputusan Jaksa Agung tetap melanjutkan eksekusi terhadap empat terpidana mati tersebut sudah tepat.
Regu tembak mengeksekusi seorang pengedar narkoba Indonesia, Freddy Budiman, dan 3 warga negara asing. Ketiganya adalah Seck Osmane (Senegal), Michael Titus (Nigeria), dan Humphrey Jefferson (Nigeria).
(BACA: Siapa Freddy Budiman? 5 Hal yang Perlu Diketahui)
Lalu kenapa, misalnya Freddy Budiman, salah satunya karena alasan yang bisa dipertanggungjawabkan, katanya.
Freddy diketahui bersalah karena tetap menguasai peredaran narkoba meski sudah mendekam di balik jeruji besi.
Jadi, segala sesuatu yang berlaku, yang mempunyai kekuatan hukum tetap, kemudian dilihat juga tidak ada upaya, katakanlah di antara tanda kutip, untuk melakukan perbaikan, maka kewenangan itu diambil alih oleh Jaksa Agung dan jajarannya, kata Pramono. dikatakan. . —Rappler.com
Baca laporan Rappler tentang eksekusi tahap ketiga: