
Jurnalis, aktivis pers mahasiswa mengeluhkan intimidasi
keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Banyak diskusi publik di kampus yang dibubarkan di Malang
MALANG, Indonesia – Jurnalis dan aktivis pers mahasiswa di Malang, Jawa Timur turun ke jalan pada Selasa, 3 Mei untuk mengambil tindakan pada Hari Kebebasan Pers Sedunia.
Tergabung dalam Koalisi Jurnalis dan Persma Malang Raya, keduanya menuntut birokrat kampus, aparat keamanan, dan Pemerintah Kota Malang memberikan akses informasi publik. Mereka juga mengutuk kekerasan dan intimidasi terhadap pers saat menjalankan tugasnya.
Juru Bicara Aksi Hari Istiawan mengatakan, hak masyarakat atas informasi publik di Malang tidak dihormati dengan baik oleh pemerintah.
“Warga kesulitan memantau transparansi anggaran APBD. “Informasi mengenai pelayanan publik juga sulit didapat,” kata Hari.
UU Informasi Publik No. 14 Tahun 2008 menyatakan bahwa setiap masyarakat sipil berhak mengakses informasi publik.
Namun banyak instansi pemerintah di Malang yang masih tertutup terhadap jurnalis dan hal ini menjadi kendala bagi jurnalis.
“Dalam pasal 4 UU Pers, kebebasan pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarkan gagasan dan informasi dijamin oleh negara,” lanjutnya.
Dalam praktiknya, pers di Malang juga rentan terhadap intimidasi dan kekerasan dari aparat. Kasus terakhir terjadi pada Februari 2016, dimana seorang fotografer dan kru Radar Malang dibawa ke Mabes TNI AU di Lanud Abdulrachman Saleh TNI AU saat sedang meliput jatuhnya pesawat Super Tucano di perkampungan warga di Kecamatan Blimbing, Malang. Kota tertutup. Peralatan drone lengkap dengan kamera jurnalis juga disita aparat. Kartu memori dan kartu pers jurnalis dari media yang sama juga disita petugas TNI AU.
“Ini bukti masih banyak PNS yang belum memahami UU Pers dan kerja jurnalis. “Jika ada permasalahan, kita bisa menyelesaikannya sesuai mekanisme UU Pers,” ujarnya.
Siswa merasa terancam
Intimidasi tidak hanya dirasakan oleh jurnalis media arus utama. Aktivis pers mahasiswa di sejumlah kampus di Malang juga banyak menghadapi intimidasi, sensor, dan intervensi dari birokrat kampusnya.
Pada akhir tahun 2015, beberapa diskusi kelompok bertema LGBT di kampus UB dan UIN, misalnya, dibatalkan atas permintaan pihak kampus. Begitu pula dengan intimidasi dan persebaran masyarakat yang menonton film dokumenter Semen Vs Samin di kampus pada tahun yang sama.
“Hampir semua kampus menerapkan sistem sensor terhadap artikel yang akan dimuat di LPM kampus. “Juga intimidasi dan intervensi lainnya,” kata Imam Abu Hanafi, Sekretaris Jenderal Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Malang.
PPMI Malang yang beranggotakan 24 orang Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di berbagai kampus banyak menerima keluhan intimidasi dan bentuk intervensi lain dari para anggotanya.
“Ada dosen yang mengancam akan memangkas nilai anggota LPM jika menulis hal-hal buruk tentang kampus, melaporkan ke orang tuanya, melaporkan ke polisi, bahkan menghentikan anggaran LPM,” lanjutnya.
Selain itu, birokrat kampus cenderung tertutup dan tidak memberikan akses informasi ketika LPM membutuhkan data dan informasi terkait sarana dan prasarana kampus, sarana kampus dan transparansi anggaran.
“Keterbukaan informasi dan transparansi di kampus belum terwujud,” kata Imam.
Untuk mengungkapkan berbagai belenggu kebebasan dalam menjalankan fungsi pers, para peserta aksi berkumpul di Balai Kota Malang dan memberikan orasi secara bergantian. Peserta aksi membawa bola besi dan rantai serta membawa sangkar burung yang dilengkapi kartu pers sebagai simbol belenggu kerja pers, kebebasan berekspresi dan hak atas informasi publik.
Wakil Wali Kota Malang Sutiaji menemui peserta aksi dan berjanji akan membuka akses informasi seluas-luasnya bagi masyarakat Malang. “Pada tahun 2017, Insya Allah masyarakat sudah bisa mengunduh seluruh dokumen publik melalui e-budget di Internet. “Saat ini peraturan daerah masih disusun dalam prolegda (program peraturan daerah),” tegasnya. – Rappler.com