Kami diusir, direlokasi dan ditahan oleh pihak berwenang
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia—Susi, bukan nama sebenarnya, seorang ibu rumah tangga berusia 30 tahun berada di rumahnya di Desa Lempai Jaya, Kalimantan Barat pada 22 Januari. Dia sedang hamil 5 bulan.
Tiba-tiba ada tamu tak diundang. Mereka adalah 32 pejabat pemerintah daerah, polisi, dan tentara. “Mereka meminta kami meninggalkan lahan pertanian kami dalam waktu 24 jam. “Mereka bilang massa akan menyerang kami,” kata Susi kepada peneliti Human Rights Watch (HRW) Indonesia.
Saat itu, Susi tak hanya sedang hamil, tapi juga mengasuh kedua anaknya. Dia terpaksa mengikuti permintaan pemerintah setempat dan petugas polisi.
“Kami tidak punya pilihan selain pergi,” katanya.
Ia kemudian dievakuasi ke kantor bupati dengan menggunakan beberapa bus dan truk dan dibawa ke Kongdam Transport Supply di Pontianak. Sudah ada dua kelompok petani Gafatar di sana yang juga diusir dari Melawi.
Sesampainya di pos pengungsian, ia mencari dokter untuk memeriksakan kehamilannya. Namun tidak ada satu pun bidan yang bisa dilihatnya.
Selain itu, di pengungsian ia harus makan mie instan dan sarden kalengan mentah, yang sebenarnya tidak baik untuk janin. Padahal di rumah biasanya ia mengonsumsi makanan organik yang ia hasilkan di kebunnya sendiri.
“Malnutrisi adalah masalah kita. “Selama perjalanan kami menghabiskan banyak uang untuk membeli makanan tambahan untuk anak-anak,” katanya.
Selain Susi, ada juga Adi, bukan nama sebenarnya, ia tinggal di peternakan Gafatar, Desa Suka Maju, Kalimantan Barat.
Ia pun sempat diskors beberapa hari setelah Susi, yakni pada 26 Januari. “Saya bermalam di gudang semen di Ketapang dan kemudian dibawa ke Semarang (Jawa Tengah) dengan kapal TNI Angkatan Laut,” ujarnya.
Bersama ratusan warga Gafatar, ia diangkut dengan 13 bus menuju kediaman haji di Boyololali. Ada lebih dari 1.600 orang di asrama.
Lalu apa yang terjadi? “Kami wajib mengikuti pelatihan bela negara, pelajaran agama selama tiga hari, termasuk pasal penodaan agama,” ujarnya.
“Mereka juga menugaskan psikiater untuk mengajari kami, dan mencoba membuat kami percaya bahwa kami menderita penyakit mental,” ujarnya lagi.
Dia bahkan tidak diperbolehkan meninggalkan asrama. Gedung yang ditempatinya dijaga oleh polisi, tentara, dan pejabat berbagai kementerian.
Dua pekan kemudian, menurut Adi, sebagian besar anggota Gafatar dimutasi ke provinsi asal mereka.
“Tapi belum termasuk kami, 302 orang dari Sumut. Kami tinggal di sana selama hampir dua bulan. “Pemerintah Sumut bilang mereka tidak punya dana untuk menjemput kami,” ujarnya.
Apakah pemerintah mengabaikannya?
Susi dan Adi hanyalah dua dari ratusan kesaksian yang dikumpulkan peneliti HRW. Dalam penelitian terbarunya, peneliti HRW di Kalimantan Barat dan Timur menemukan fakta bahwa aparat keamanan gagal melindungi anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).
Laporan tersebut menyatakan bahwa sejak Januari 2016, pemerintah Indonesia, pejabat sipil, dan aparat keamanan telah terlibat dalam penggusuran lebih dari 7.000 anggota komunitas agama Gafatar dari rumah dan lahan pertanian mereka di Pulau Kalimantan.
Hal ini tidak dihiraukan oleh jajaran pemerintah ketika pemuda etnis Melayu dan Dayak mengancam, mengusir, menjarah, dan menghancurkan barang-barang milik Gafatar.
Pemerintah kemudian memindahkan anggota Gafatar ke rumah tahanan tidak resmi dan mengirim mereka ke kotanya masing-masing, bukan sebagai perlindungan, melainkan sebagai upaya untuk membubarkan keberadaan Gafatar.
“Beberapa geng etnis dan lembaga pemerintah bertindak atas nama ‘kerukunan beragama’ dan mengabaikan hak-hak dasar keselamatan dan kebebasan beragama anggota Gafatar,” kata Phelim Kine, wakil direktur Asia Human Rights Watch, Rabu, 6 April.
“Lembaga pemerintah dan aparat keamanan tidak berbuat banyak untuk melindungi anggota Gafatar dari pengusiran, pengurungan, dan pengiriman mereka ke daerah asal mereka.”
Polisi dan tentara memang mencegah terjadinya kekerasan fisik terhadap anggota Gafatar, namun hanya mengevakuasi mereka dari Kalimantan ke Jawa, kata puluhan anggota Gafatar kepada Human Rights Watch.
“Pemerintah secara sewenang-wenang menahan, menginterogasi dan mengancam mereka seperti penjahat.” menulis laporannya.
Dari mana semua itu berasal?
Berdasarkan temuan HRW, pengusiran dan penahanan tersebut merupakan tindak lanjut dari gelombang kebencian terhadap anggota Gafatar, yang dimulai oleh laporan berbagai media sejak awal Januari menuding komunitas ini terlibat penculikan dan perekrutan paksa.
Anggota Gafatar sudah ada sejak lama mengira landasan sistem kepercayaannya karena memadukan Islam dengan keyakinan Kristen dan Yahudi, dengan tuduhan “ajaran sesat dan menyesatkan.”
Berbagai pemberitaan media juga menyebut Gafatar punya kecenderungan menciptakan gerakan separatistanpa bukti kuat, dan menciptakan negara yang religius (teokrasi) di Kalimantan. Mereka dituduh diberi label “Syarat pemberian Tuhan semesta alam.”
Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri, menginstruksikan pemerintah daerah pada tanggal 14 Januari untuk seluruh kantor Gafatar tutup.
Pada 24 Maret, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengumumkan Keputusan Bersama (JSC)yang ditandatangani bersama oleh Menteri Agama Lukman Saifuddin dan Menteri Dalam Negeri Kumolo yang memperingatkan “mantan anggota dan pengurus Gafatar” untuk tidak melakukan “…penyebaran, penafsiran, dan kegiatan yang menyimpang dari ajaran dasar Agama Islam.” ” .”
Ancaman hukuman maksimal atas pelanggaran ini adalah lima tahun penjara, berdasarkan pasal pidana penodaan agama tahun 1965.
Di dalam Konferensi pers 24 Maret, Jaksa Agung Prasetyo, “Kami meminta masukan dari semua pihak mulai dari unsur Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, TNI, dan Kejaksaan sendiri. Akhirnya MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan ajaran Gafatar dianggap sesat dan menyesatkan. Kalau dibiarkan bisa menimbulkan keresahan dan beberapa SARA.”
Ribuan orang diusir dari kampung halamannya
Karena tekanan dari pemerintah dan pihak-pihak tertentu, juru bicara Gafatar Farah Meifira mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa 2.422 keluarga, total 7.916 orang termasuk anak-anak, diusir dari Kalimantan Barat dan Timur dari bulan Januari hingga akhir Februari.
Pemerintah Indonesia telah menahan lebih dari 6.000 anggota Gafatar yang diusir secara paksa dari Kalimantan ke enam pusat penahanan tidak resmi di Jakarta, Yogyakarta, Bekasi, Boyolali, dan Surabaya.
“Human Rights Watch tidak dapat memverifikasi secara independen semua informasi ini, namun kami mengunjungi tiga tempat penahanan di Jawa, dalam dua minggu pertama bulan Februari, di mana masing-masing terdapat sekitar 800 anggota Gafatar,” kata laporan tersebut.
Hingga akhir Maret, terdapat lebih dari 300 anggota Gafatar, termasuk 100 anak-anak, yang masih berada di rumah. penahanan Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah. Ada 302 orang mengirim ke kampung halamannya di Sumatera Utara pada tanggal 30 Maret 2016.
Anggota Gafatar mengatakan petugas melarang mereka meninggalkan Rutan kecuali untuk kebutuhan jangka pendek seperti membeli makanan dan kebutuhan lainnya. Mereka bilang pemerintah memberi mereka, “konstruksi agama,” “penyuluhan deradikalisasi,” dan ancaman kriminal penodaan agama.
Di sebuah kamp pengungsi di Boyolali, Jawa Tengah, aparat militer mengindoktrinasi sekitar 1.000 anggota Gafatar mengenai pendidikan.pertahanan Nasional,” sesi setiap hari yang membahas tentang pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan.
Sejak pertengahan Februari, pemerintah telah memecat sebagian besar anggota Gafatar, namun gagal menjalankan mandat undang-undang untuk melindungi hak beragama, hak bergerak, dan hak berkumpul.
Anggota Gafatar mengatakan pemerintah Indonesia tidak membantu pengembalian aset mereka dan memastikan kepulangan mereka ke Kalimantan.
Alih-alih memulangkan anggota Gafatar ke Kalimantan, pemerintah malah melatih mereka di daerah asalnya masing-masing. Pemerintah membuat peraturan mengenai relokasi paksa dan penyerahan anggota Gafatar kepada pemerintah daerah atau anggota keluarganya.
Pemerintah Indonesia harus berhenti mengkriminalisasi komunitas Gafatar, kata Human Rights Watch. SKB anti Gafatar yang melarang Gafatar harus dibatalkan.
Pemerintah juga harus membantu anggota Gafatar untuk kembali ke rumah dan lahan pertanian mereka di Kalimantan, dan memberikan keamanan yang efektif untuk melindungi mereka dari pelecehan dan kekerasan.
Hal ini juga berkaitan dengan pemberian kompensasi yang pantas dan memadai untuk menggantikan berbagai aset yang hilang.
Lembaga penegak hukum juga harus menyelidiki dan mengadili pejabat pemerintah pusat, anggota aparat keamanan dan pemerintah daerah, yang terlibat dalam penggusuran dan berbagai kegiatan ilegal terhadap anggota Gafatar.
Pengabaian terhadap hak asasi anggota Gafatar merupakan salah satu keterlibatan pemerintah Indonesia dalam mendorong tumbuhnya intoleransi atas nama agama di Indonesia, kata Kine.
“Anggota Gafatar, seperti Syiah, Ahmadiyah, dan berbagai gereja Kristen, belajar dari pengalaman pahit bahwa pemerintah dan aparat keamanan yang seharusnya melindungi seluruh warga negara Indonesia, termasuk agama minoritas, justru menunjukkan penolakan terhadap kebebasan beragama.” —Rappler.com
BACA JUGA