• November 18, 2024

Kami tidak ingin menjadi beban negara

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Penyandang disabilitas mengirimkan surat dengar pendapat ke kementerian, namun tidak pernah ditanggapi.

JAKARTA, Indonesia— Hampir semua kelompok minoritas masih mengalami diskriminasi di Indonesia, namun menurut aktivis Aryani Soekanwo, penyandang disabilitas paling menderita dibandingkan kelompok minoritas lainnya.

Menurut Aryani, penyandang disabilitas diabaikan oleh kelompok dunia usaha dan tidak diperhatikan oleh negara.

“Saat ini stigma disabilitas sangat berat. “Kalau HIV/ADIS, banyak yang langsung mendukung perjuangannya, tapi kalau disabilitas, sulit sekali,” kata Aryani. anggota Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia, saat Rappler ditemui di gedung Lembaga Bantuan Hukum Jakarta pada Selasa, 1 Maret.

Aryani menjelaskan berbagai permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas di Indonesia.

Pertama, peraturan. Menurut dia, pemerintah baru meratifikasi konvensi internasional tentang disabilitas pada tahun 2011 melalui undang-undang nomor 19 tahun 2011.

Meski pemerintah sudah mengeluarkan peraturan pelaksanaannya, namun perlindungan terhadap penyandang disabilitas masih minim, bahkan kementerian terkesan acuh tak acuh. “Seperti beberapa kementerian, kami mengirimkan surat untuk audiensi, namun tidak dijawab,” katanya.

Padahal Kementerian merupakan pemegang kewajiban yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011.

Menurut Aryani, pemerintah harus melakukan pendekatan terhadap penyandang disabilitas. “Tapi kalau kita tidak membuka pintunya dulu, bagaimana kita bisa masuk?” dia berkata.

Aryani juga menambahkan, karena diabaikan oleh negara, para penyandang disabilitas berusaha mandiri. Salah satunya Habibie, seorang penyandang disabilitas yang memiliki bisnis online.

“Dia bisa mempunyai bisnis online yang sangat maju, bukan karena didukung oleh pemerintah, tapi karena usaha orang tuanya, usaha orang tuanya,” Aryani.

Kedua, penolakan terhadap dunia perbankan. Aryani mengungkapkan penyandang disabilitas masih belum diterima di dunia perbankan. “Seseorang penyandang disabilitas yang memperoleh gelar magister (S2) dan bekerja di lembaga swadaya masyarakat (LSM) pernah ditolak satu kali saat mengajukan kredit,” kata Aryani.

Bukannya menyalurkan kredit, petugas bank itu malah menjawab, “Kalau punya tabungan, pakai saja,” ujarnya menirukan petugas bank.

“Menjadi nasabah bank saja susah, apalagi mendapat kredit,” ujarnya.

Ketiga, minimnya pelayanan kesehatan. Minimnya pelayanan kesehatan ini paling banyak dirasakan oleh penyandang disabilitas psikososial di daerah karena kurangnya pasokan obat-obatan. “Akibatnya mereka mabuk. “Masyarakat bingung, lalu diborgol,” ujarnya.

Pemberian obat penenang bagi mereka harus bisa menjangkau daerah-daerah terpencil.

Keempat, diskriminasi di bidang pendidikan. Aryani mengatakan, para penyandang disabilitas merasa sedikit lega karena diperbolehkan mengikuti Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN) pada tahun 2014, setelah mendapat protes dari masyarakatnya.

Meski demikian, bukan berarti tidak ada lagi kendala di bidang pendidikan. Menurut Aryani, penyandang disabilitas masih menghadapi kendala yaitu penerimaan penyandang disabilitas di sekolah negeri atau sekolah inklusif. “Itu hanya omongan saja, sebenarnya tidak berhasil. “Implementasinya kurang,” katanya.

Menurut Aryani, dirinya masih menemukan penyandang disabilitas masih ditolak di sekolah inklusif.

Padahal, kata Aryani, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berjanji akan memberikan dukungan kepada penyandang disabilitas. “Di mana janjinya? “Kita tidak boleh hanya menjadi komoditas saat kampanye,” ujarnya.

Ia juga meminta pemerintahan Jokowi memandang penyandang disabilitas bukan sebagai beban negara, melainkan aset. “Kalau kita tidak mendapat pendidikan yang baik, kita tidak bisa bekerja, tentu menjadi beban negara,” ujarnya. —Rappler.com

BACA JUGA

Data Sidney